Jumat, 10 Mei 2013

Kemajuan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, UUD 1945 Dintinjau dari Perspektif Demokrasi (Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan)


Prinsip yang menonjol pada Amandemen Pertama :
1. Prinsip check and balances (mengembalikan kekuasaan membuat UUD ke DPR, pembatasan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden).
Prinsip check and balances adalah pembagian kekuasaan negara secara horizontal ke dalam tiga lembaga negara trias poitica, yaitu legislatif (membuat UUD oleh MPR, DPR, DPRD), eksekutif (menjalankan UUD oleh Presiden, Wakil Presiden, dan kabinetnya), yudikatif (mengawasi jalannya UUD oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi), secara seimbang dan saling mengecek agar tidak ada lembaga negara yang mendominasi lembaga negara lainnya, sehingga rakyat dapat memanfaatkan kondisi ini untuk mengendalikan proses penyelenggaraan negara. Ciri prinsip check and balances adalah kekuasaan pemerintahan terbatas, rakyat mempercayakan kekuasaan kepada wakil rakyat untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, untuk menghindari dominasi kekuasaan oleh sebuah lembaga negara.

Kelebihan prinsip check and balances adalah jika ada UUD yang bertentangan dengan UUD 1945, rakyat dapat pergi ke Mahkamah Konstitusi untuk mencabut UU itu. MK mengadakan pengadilan dan mencabut UUD BHP itu. Legislatif mencakup DPR, MPR, DPD. Jika ada pasal – pasal yang telah ditulis di UU lain tapi bertentangan dengan UUD 1945, maka UU lain tersebut tidak berlaku. MK berhak untuk menentukan berlaku / tidaknya UU di luar UUD 1945. Presiden dan DPR bisa membuat UU, tapi MK yang berhak mengesahkan. Prinsip ini didukung oleh 4 pasal, yaitu pasal 7, pasal 13, pasal 14, dan pasal 20, dimana pada intinya kekuatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi, dan kekuatan DPR ditambah. Dengan demikian prinsip check and balances dapat berlaku.

Pasal 7 : Kekuatan Presiden dan Wakil Presiden dikurangi
Sebelum Amandemen Pertama : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Sesudah Amandemen Pertama : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Setelah Amandemen Pertama, masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden menjadi maksimal selama 10 tahun, yakni 2 periode. Sebelum Amandemen Pertama, masa jabatan maksimal bagi Presiden dan Wakil Presiden tidak ditentukan. Hal inilah yang terjadi pada masa Orde Baru, masa pemerintahan 32 tahun Presiden Soeharto, yakni selama 8 periode. Karena masa jabatan yang terlalu lama, maka terjadi pembusukan politik, dimana Presiden dan Wakil Presiden dapat memadukan kekuatan dan membuat sebuah “tameng” yang digunakan untuk saling menjaga bila ada kesalahan. KKN  pun terjadi secara rapih dan tertutup karena adanya “tameng” tersebut. Presiden dan Wakil Presiden bisa menyusun kekuasaan untuk tetap bertahan di posisinya masing – masing. Dengan dibatasinya kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden ini, lembaga legislatif dan eksekutif bisa mengecek kinerja eksekutif.

Pasal 13 : Kekuasaan Presiden berkurang dalam memberikan grasi, amnesti dan abolisi
Sebelum Amandemen Pertama, pasal 13 ayat 1 (Presiden mengangkat duta dan konsul), ayat 2 (Presiden menerima duta negara lain). Setelah Amandemen Pertama, pasal 13 ayat 1 (Presiden mengangkat duta dan konsul), ayat 2 (Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat), ayat 3 (Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat).

Pasal 14 :  Kekuasaan Presiden berkurang
Sebelum Amandemen Pertama, pasal 14 (Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi). Setelah Amandemen Pertama, berubah menjadi pasal 14 ayat 1 (Presiden memberi grasi, dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung), ayat 2 (Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat).

Pasal 20 : Mengembalikan kekuasaan pembuatan UUD ke tangan DPR
Sebelum Amandemen Pertama :
1. Tiap – tiap undang – undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sesudah Amandemen Pertama :
1. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang – undang.
2. Setiap rancangan undang – undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Sebelum Amandemen Pertama, pasal 3 menyatakan bahwa, “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang – Undang Dasar dan garis – garis besar dari pada haluan negara”, dan pasal 5 menyatakan, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang – undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sesudah perubahan, pada pasal 20 ayat 1 menyatakan bahwa DPR yang memiliki kekuasaan untuk membentuk Undang – Undang. Pada pasal 20 ini, kekuasaan DPR menjadi bertambah, dan menyeimbangkan kekuasaan MPR serta Presiden.


Prinsip yang menonjol pada Amandemen Kedua :
1. Prinsip negara menjamin pemenuhan HAM = Pasal 28 (sebelum Amandemen Kedua) menjadi pasal 28 A – pasal 28 J (setelah Amandemen Kedua).
HAM adalah hak yang dimiliki oleh seorang manusia sejak ia lahir, yang merupakan anugerah Tuhan, yang diberikan kepada setiap manusia karena ia adalah manusia. HAM antara lain hak hidup, hak kebebasan, hak milik, hak mengejar kebahagiaan.

Pasal 28 : Negara menjamin HAM tiap rakyat
Sebelum Amandemen Kedua: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang”. Setelah Amandemen Kedua: pasal 28 A (Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya), pasal 28 B mengenai hak rakyat dalam membentuk keluarga, pasal 28 C mengenai hak rakyat dalam mengembangkan diri.
Rakyat semakin dibebaskan untuk menentukan hidupnya, semakin dibebaskan dan dijamin haknya, karena penambahan pasal dari pasal 28 A sampai 28 J telah menyebutkan secara spesifik mengenai hak – hak yang dimiliki oleh warga negara. Tujuan negara dibuat oleh rakyat adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dan menjamin hak – hak asasi manusia. HAM yang paling mendasar adalah hak untuk hidup. Dengan ini, prinsip HAM mengalami penguatan pada pasal 28 A – pasal 28 J, dimana setiap pasalnya membahas hak asasi tiap warga negara. Pasal 28 A (setelah Amandemen Kedua) sangat mendukung pasal 1 Deklarasi Universal HAM yang berbunyi, “Setiap orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat serta hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan”.

2. Prinsip subsidiaritas = Pasal 28 E ayat 1 – 3
Prinsip subsidiaritas adalah pembagian dan pemisahan fungsi, antara fungsi yang dilakukan oleh negara dengan fungsi yang dilakukan oleh rakyat. Fungsi yang dijalankan oleh negara adalah fungsi – fungsi primer yang menyangkut kesejahteraan rakyat dan pertahanan, fungsi ini tidak bisa diambil alih oleh rakyat karena rakyat tidak memiliki kekuasaan yang cukup. Fungsi yang dilakukan negara adalah fungsi pengadilan, mencetak uang. Fungsi yang dapat dilakukan oleh negara dan rakyat dengan cara bekerjasama ialah keamanan, kesejahteraan. Fungsi – fungsi yang dapat dilakukan dengan baik oleh masyarakat tidak boleh dicampurtangankan oleh negara, seperti penentuan kelulusan sekolah, pemilihan agama, pemilihan tempat tinggal, pemilihan pekerjaan. Sebelum ada negara, masyarakat sudah ada, tapi belum membentuk kekuasaan. Negara dibuat untuk menjaga keadilan, menciptakan kesejahteraan. Negara dan masyarakat mempunyai fungsi masing – masing. Negara membantu masyarakat dan bukan menggantikan posisi / fungsi masyarakat. Negara hanya sersifat subsidier terhadap masyarakat, bukan memonopoli fungsi masyarakat. Negara hanya melengkapi, bukan menggantikan masyarakat. Jika masyarakat mengadakan pengadilan secara pribadi maupun kelompok tersendiri, tanpa diatur oleh undang – undang dan kekuasaan terbatas dari pemerintah, maka rakyat dapat bersifat subjektif dan berat sebelah dalam pengadilan suatu kasus.

Negara Indonesia bukanlah negara totaliter / fasis / agamis / komunis. Masyarakat memiliki hak pribadi dan masyarakat mampu mengatur dirinya sendiri. Negara Indonesia adalah negara demokrasi, maka dari itu Indonesia patut melaksanakan prinsip demokrasi. Kecenderungan negara mengambil alih berbagai fungsi masyarakat yang sering terjadi belakangan ini, tampaknya sedang sedang mengarahkan negara Republik Indonesia menjadi negara totaliter. Seperti halnya Ujian Nasional (UN) di SD, SMP, SMA yang ditentukan kelulusannya dari pemerintah. Penentuan kelulusan pelajar adalah bagian dari fungsi masyarakat. Dibanding dengan pihak manapun (termasuk dari Kementerian Pendidikan Nasional), guru dan sekolah lebih mengetahui pelajar yang  layak lulus dan yang tidak layak lulus. Penerapan standar kelulusan sekolah bisa tidak valid karena banyak pelajar yang “membeli jawaban” agar lulus sehingga mengurangi integritas anak – anak bangsa. Standar kelulusan yang hanya melihat nilai akhir pada 6 mata pelajaran juga tidak adil, karena perjuangan untuk menempuh sekolah selama 3 tahun hanya ditentukan dalam waktu 12 jam (6 mata pelajaran x 2 jam). Pemerintah tidak melihat proses pembentukan karakter yang dialami murid selama 3 tahun bersekolah. Pemerintah juga tidak peduli terhadap gangguan internal dari peserta didik (sakit secara fisik / grogi saat UN) dan gangguan teknologi (kesalahan komputer membaca kertas jawaban peserta didik) sehingga menyebabkan kegagalan kelulusan dan mengulang proses belajar selama 3 tahun kembali. Oleh karena itu Ujian Nasional tidak dibutuhkan. Ujian Nasional menjadi suatu bentuk pengambilalihan fungsi masyarakat oleh negara.

Pasal 28 : Pembatasan hak negara terhadap hak pribadi rakyat
Sebelum Amandemen Kedua : “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang”. Setelah Amandemen Kedua : pasal 28 E ayat 1 (Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali), ayat 2 (Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya), ayat 3 (Setiap orang berhak atas kebebasan, berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat). Setelah Amandemen Kedua, pasal 28 tidak dihapus, melainkan hanya ditambahkan.

3. Prinsip desentralisasi = Pasal 18 (sebelum Amandemen Kedua) menjadi pasal 18, pasal 18 A dan pasal 18 B (setelah Amandemen Kedua).
Prinsip desentralisasi adalah pembagian kekuasaan negara secara vertikal, dimana pemerintah pusat mempercayakan separuh kekuasaannya kepada pemerintah daerah, yang dikenal dengan otonomi daerah. Pembagian kekuasaan ini bertujuan untuk mendekatkan kekuasaan negara kepada rakyat agar rakyat lebih mudah mengendalikan negara sehingga pengaruh rakyat terhadap negara semakin kuat. Pemerintahan daerah adalah mitra yang lebih rendah bagi pemerintahan nasional dalam melayani rakyat. Oleh karena itu dibutuhkan dialog yang terbuka, tulus dan saling mempercayai di antara mereka. Urusan luar negeri, pertahanan, pencetakan uang tidak dapat diserahkan kepada pemerintah daerah. Banyak daerah otonom yang terlalu luas dan atau terlalu banyak penduduk. Kondisi ini merugikan masyarakat karena  mengurangi pengaruh mereka dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Interaksi politik antara negara dengan masyarakat dalam pemerintahan daerah menjadi terhambat.

Fungsi otonomi daerah sebagai jalan dalam partisipasi politik :
  1. Masyarakat di daerah menyadari bahwa pengaruh mereka dalam kehidupan kenegaraan di daerah mereka masing – masing cukup besar dan bermanfaat. Kesadaran masyarakat tentang prosedur kenegaraan akan membuat masyarakat semakin berminat untuk belajar politik dan meningkatkan partisipasi politiknya sehingga masyarakat semakin berdaya. Stabilitas suatu negara demokrasi membutuhkan interaksi antara negara yang kokoh dengan masyarakat yang berdaya.
  2. Optimalisasi pelayanan publik, yaitu pemerintah daerah membuat kebijakan publik yang diharapkan bisa lebih objektif dan penuh solusi, karena yang mengetahui keadaan daerah otonom adalah pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat.
  3. Percepatan dan pemerataan pembangunan akan lebih mudah dengan dilaksanakan, karena kekuasaan negara tersebar ke seluruh wilayah negara. Pemerintah nasional hanya memberi dukungan pada bidang – bidang tertentu saja, sedangkan otonomi daerah memberikan kesempatan kepada semua daerah otonom untuk maju dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat sebagai bagian dari seluruh Rakyat Indonesia.
  4. Rekrutmen politik lokal. Otonomi daerah memberikan seluas – luasnya kepada warga negara di tiap daerah otonom untuk berkompetisi menjadi penyelenggara negara. Proses pencalonan dan pemilihan anggota legislatif dan pimpinan eksekutif di daerah akan menjadi lahan subur bagi tumbuh – kembangnya politisi daerah yang kemudian dapat meningkat menjadi politisi nasional.

Pasal 18 : Otonomi daerah
Sebelum Amandemen Kedua : “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang – undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak – hak asal – usul dalam daerah – daerah yang bersifat istimewa”. Setelah Amandemen Kedua : pasal 18 ayat 2 (Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan), ayat 5 (Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas – luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang – undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat), ayat 6 (Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan – peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan). Dengan demikian, prinsip desentralisasi menguat pada pasal 18 ayat 2, 5 dan 6 setelah Amandemen Kedua.

Prinsip yang menonjol pada Amandemen Ketiga :
1. Prinsip check and balances (mengurangi kekuasaan MPR)
Pasal 1 ayat 2 sebelum Amandemen Ketiga : “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Pasal ini dirubah menjadi : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar”. Pasal ini menunjukkan bahwa sebelum adanya Amandemen Ketiga, hanya MPR yang berdaulat. Namun setelah Amandemen Ketiga, semua lembaga negara bisa berdaulat, sehingga kekuasaan MPR menjadi berkurang. Karena pada Undang – Undang Dasar (Amandemen Pertama) disebutkan bahwa DPR juga berhak untuk membentuk dan membahas UU, sehingga MPR dan DPR memiliki kedudukan yang setara dan bisa saling mengecek.

2. Prinsip Supremasi Hukum (Indonesia adalah negara hukum)
Sebelum Amandemen Ketiga, Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara hukum” tidak tercantum dalam UUD 1945. Dalam sebuah negara, hukum yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia haruslah ditegakkan secara adil. Peraturan hukum harus objektif dan dipegang oleh sebuah lembaga negara dengan mengikuti UU dari negara (peraturan mengenai Hukum Perdata dan Hukum Pidana). Jika tidak ada sebuah lembaga negara yang mengatur proses hukum dan tidak ada peraturan hukum yang jelas, maka rakyat dengan bebas melanggar peraturan dan menentukan sanksi secara subjektif, karena dalam negara demokrasi kedudukan semua warga negara adalah sama (tidak ada yang lebih tinggi / rendah). Interaksi antar sesama rakyat atau interaksi antara rakyat dengan lembaga negara harus diatur dalam hukum yang konkrit, yang dibuat bersama oleh rakyat melalui wakil – wakilnya dan dijalankan oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan aturan hukum dan diberlakukan kepada semua pihak secara sama tanpa diskriminasi. Dalam negara hukum yang demokratis berlaku prinsip supremasi hukum, berarti semua pejabat negara (baik dipilih melalui pemilu atau diangkat) harus bertindak berdasarkan hukum dalam menjalankan kekuasaan yang telah ditentukan. Semua pejabat negara memikul pertanggungjawaban hukum, yaitu pertanggungjawaban pada pengadilan atas pelanggaran hukum yang dilakukannya.

3. Prinsip Kesetaraan Politik
Sebelum perubahan, pasal 6 ayat 1 berbunyi : “Presiden adalah orang Indonesia asli”. Setelah Amandemen Ketiga, pasal ini menjadi : “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah menghianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Setelah mengalami Amandemen Ketiga, Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih tidak harus orang Indonesia asli, (orang tua lahir di Indonesia, menerima kewarganegaraan Indonesia, tinggal dan bertumbuh di Indonesia). Tetapi bisa saja jabatan Presiden dan Wakil Presiden terbuka bagi mereka yang orang tuanya keturunan dari kewarganegaraan lain tetapi calon Presiden dan calon Wakil Presiden ini harus menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah  menghianati negara.

4. Prinsip Pemerintahan Negara Berdasarkan Persetujuan Rakyat
a. Pemilihan Umum
Pemilihan umum adalah sarana  rakyat untuk mencalonkan dan memilih warga negara  terbaik untuk menjadi penyelenggara negara. Warga negara berhak mencalonkan dan  dicalonkan, memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, baik melalui partai politik ataupun tidak. Partai politik adalah alat politik milik warga negara. Alat adalah alat, dan walaupun sangat penting tidak boleh mengurangi hak warga negara. Suatu negara dapat dikatakan demokratis bila di negara tersebut terdapat pemilu yang bebas, adil, kompetitif, berkala. Legitimasi pemerintahan yang dipilih bukan pada keahlian dan kepintaran penyelenggara negara, tetapi pada persetujuan rakyat. Pejabat negara yang dipilih oleh rakyat harus bertanggungjawab kepada rakyat atas tingkah laku mereka, terutama dalam pemenuhan janjinya pada masa kampanye.

Ke dalam UUD 1945 perlu dimasukkan hak warga negara untuk mencalonkan dan  dicalonkan, memilih dan dipilih dalam semua jabatan yang dipilih langsung dalam pemilihan umum, sesuai dengan pasal 28 D ayat 3 (tercantum dalam Amandemen Kedua) yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Partai politik seharusnya dikeluarkan dari UUD karena menghambat pemilihan penyelenggara negara secara independen, seperti yang termuat dalam :
  1. Pasal 6 A ayat 2 (termuat dalam Amandemen Ketiga) : “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
  2. Pasal 22 E ayat 3 (termuat dalam Amandemen Ketiga) yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik” dan ayat 4 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perorangan”.
Peserta pemilu dalam negara demokrasi seharusnya adalah warga negara yang memenuhi persyaratan seperti diatur dalam UU. Karena itu, dalam pemilihan anggota legislatif dan pimpinan eksekutif bukan partai politik, tetapi warga negara. Pemilu di Indonesia lebih baik menggunakan sistem distrik dengan banyak anggota dengan kursi dalam setiap daerah pemilihan antara 3 – 8 kursi. Pemilu dengan sistem seperti ini akan memudahkan rakyat untuk memilih karena hanya memilih nama calon, tidak diikuti oleh pemilihan partai. Penghitungan suara juga lebih mudah karena hanya menghitung perolehan suara calon, tidak menghitung perolehan suara partai. Kemungkinan warga negara terbaik yang terpilih dalam pemilu menjadi lebih besar, pimpinan partai politik juga tidak mempunyai hak dalam mengadakan pergantian waktu anggota legislatif dan partainya.

Fungsi pemilu yang tidak dapat dipisahkan :
  1. Sebagai sarana legitimasi politik (menjadi kebutuhan pemerintah) = keabsahan pemerintah yang sedang berkuasa ditegakkan, demikian juga dengan kebijakan dan program yang dihasilkannya.
  2. Fungsi perwakilan politik (menjadi kebutuhan rakyat) = sebagai mekanisme demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil yang dapat dipercaya untuk duduk dalam pemerintahan.
  3. Sebagai mekanisme sirkulasi elite politik = elite politik berasal dan bertugas mewakili rakyat, jadi elite politik harus memiliki masa jabatan tertentu agar tidak ada “pembusukan politik”, penyalahgunaan kekuasaan, dan terus mampu menyampaikan aspirasi rakyat.
  4. Sebagai sarana pendidikan politik rakyat = bersifat langsung, terbuka, massal, yang diharapkan dapat mencerdaskan masyarakat tentang demokrasi.

Sebelum Amandemen Ketiga, pasal 22 berbunyi :
(1) Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang – undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Setelah Amandemen Ketiga, ditambahkan Pasal 22 tentang Pemilu yang berbunyi :
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang – undang.

b. Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah berbagai bentuk kegiatan warga negara biasa yang bertujuan untuk memilih / menjatuhkan pejabat negara, mempengaruhi pembuatan kebijakan negara, mengawasi kerja pejabat negara. Sifat partisipasi politik ialah individual / kolektif, terorganisasi / spontan, berkelanjutan / sporadis, damai / kekerasan, legal / ilegal, efektif / tidak efektif, mendapat dukungan masyarakat luas / tidak. Bentuk partisipasi politik adalah pemberian suara dalam pemilu, diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan, komunikasi dengan pejabat negara, pengajuan petisi, demonstrasi, mogok, pembangkangan sipil. Pemerintahan semua untuk semua hanya akan terwujud kalau partisipasi politik masyarakat berlangsung luas, mendalam, dan berpengaruh kuat dalam kehidupan kenegaraan. Partisipasi politik masyarakat ditingkatkan untuk memperkuat kendali rakyat atas negara, agar negara melayani seluruh rakyat tanpa terkecuali.




Notes :
Hasil copy paste dari Notes di Facebook "Windy Sitinjak" dengan judul "Kemajuan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga UUD 1945 Ditinjau dari Perspektif Demokrasi (Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan) oleh Windy Sitinjak (Catatan) pada 15 Januari 2012 pukul 12:20"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar