Sabtu, 13 September 2014

Hidupmu Berharga

          Manusia mana yang tidak memiliki masalah di dalam hidupnya ? Saya jamin 100 % tidak ada manusia yang hidup tenang tanpa ada masalah. Meskipun dia datang dari keluarga yang teramat sangat kaya dan tidak memiliki kesulitan keuangan, dia pasti memiliki masalah lain. Entah seketika usahanya bangkrut atau mengalami pencurian dalam skala besar sehingga hartanya langsung habis. Atau bahkan mengalami masalah psikologis seperti selalu cemas jika hartanya hilang 1 rupiah saja, terlalu memuja harta sehingga menjadi anti sosial dan kikir, hidup berfoya-foya dan menilai segala sesuatu dengan uang, selalu memandang rendah orang lain dan merasa dirinya memiliki kodrat yang jauh lebih tinggi karena memiliki harta yang bisa membeli hukum dan kekuasaan, serta berbagai masalah lainnya.


          Bahkan ada masalah klasik yang biasanya muncul pada keluarga kaya yang mendidik anaknya dengan uang, bukan dengan memberikan perhatian dan kasih sayang, sehingga anak tersebut tumbuh di luar pengawasan orang tua. Mungkin beberapa dari anak tersebut menjadi lebih dekat dengan teman-temannya dari pada  dengan orang tuanya, namun sayangnya anak tersebut berteman dengan orang yang salah sehingga mereka menjadi pecandu dan pengedar narkoba, gemar mabuk-mabukan di club malam serta free sex. Anak tersebut merasa kekurangan kasih sayang dari orang tua sehingga mereka mencari berbagai kesenangan di luar rumah, tidak betah di rumah karena sepi sendiri, tertekan dengan kesulitan yang dihadapi dan tidak memiliki teman berkonsultasi karena orang tua selalu pergi pagi pulang malam demi uang, merasa memiliki berbagai fasilitas mewah yang memanjakan sehingga menjadi tinggi hati dan “lupa daratan”. Serta masih banyak lagi permasalahan lain yang bisa saja dihadapi oleh mereka yang kondisi perekonomiannya jauh di atas normal. Saya tidak menggeneralisir bahwa semua keluarga yang perekonomiannya di atas rata-rata memiliki masalah seperti itu, tetapi ada saja di antara mereka yang memiliki masalah seperti demikian.


          Ada juga individu yang terlihat sangat sempurna pada penampilan luarnya seperti artis dan model. Sebagai public figure mereka harus tampil sempurna karena menjadi pusat perhatian, dan harus menjadi role model yang positif karena dilihat ribuan pasang mata. Bagi para public figure wanita, seperti sudah ada patokan tersendiri bahwa mereka harus memiliki kulit putih bersih dan bersinar, berat badan yang sesuai dengan tinggi badan, wajah oval sempurna dengan mata bulat bersinar, alis tebal teratur, hidung mancung ramping, bibir tipis berlekuk indah, senyum menawan, betis ramping dan putih bersih tanpa stretch marks atau varises meski selalu memakai heels lebih dari 10 cm, cara berjalan yang lemah gemulai meski menggunakan berbagai aksesoris yang merepotkan, tampilan busana indah menawan sesuai dengan tema acara yang mereka kunjungi, dan sebagainya.


          Namun banyak individu lain yang tidak menyadari bahwa untuk mendapatkan penampilan yang sempurna seperti itu, harus menempuh berbagai usaha seperti perawatan wajah dan tubuh secara teratur dengan menggunakan cream, konsumsi obal secara oral ataupun suntik, menjalani akupuntur atau berbagai treatment lainnya, bahkan sampai ke tingkat operasi pada wajah dan tubuh. Masalah yang dihadapi juga berbagai macam, mulai dari biaya pengeluaran untuk perawatan yang belum tentu sama besar dengan pemasukan yang mereka dapatkan, harus mengunjungi salon atau klinik kecantikan secara teratur sehingga membuang waktu dan tenaga yang mereka miliki, untuk beberapa perawatan tertentu pasti menimbulkan rasa sakit tertentu, bahkan efek samping yang muncul dari perawatan tersebut terkadang jauh lebih merugikan dari pada ketika mereka tidak melakukan perawatan (seperti kasus operasi plastik yang gagal sehingga membuat public figure tersebut tampak lebih seram dari pada penampilan aslinya). Memang perawatan tubuh dan wajah sangat penting untuk wanita, tetapi ada beberapa wanita yang terlalu ingin tampil sempurna sehingga merusak “kesempurnaan” yang sebenarnya sudah dia miliki secara alami.


          Ada juga di antara mereka yang memiliki masalah psikologis terkait posisinya sebagai public figure. Rasa takut yang mengganggu ketika citranya harus dipertaruhkan karena menjadi pusat perhatian akibat diterpa gossip tertentu atau harus menderita karena kelalaian yang dilakukannya saat bekerja atau kelalaian di masa lalunya. Merasa tertekan dan tidak nyaman karena selalu dikejar-kejar oleh wartawan yang membutuhkan berita ter-update mengenai kasusnya. Rasa lelah yang teramat sangat karena harus mengadakan konferensi pers di berbagai tempat dan menjadi narasumber untuk mengkonfirmasi berita miring yang menerpanya. Sehingga citranya yang sekarang terlihat tidak tampak sempurna lagi di luar. Ada juga di antara mereka yang tertekan seolah tidak boleh memiliki masalah keluarga atau masalah pribadi karena posisi mereka sebagai public figure yang harus tampil sesempurna mungkin, sehingga takut diketahui oleh masyarakat luas bahwa public figure yang menjadi pujaan dan dambaan ternyata memiliki “borok” yang tidak dapat ditolerir, padahal public figure juga manusia yang tidak luput dari kesalahan dan tidak selalu bebas dari masalah. Di sini saya juga tidak menggeneralisir bahwa semua public figure selalu memiliki masalah, tetapi inilah yang dapat kita lihat dari pemberitaan di berbagai media massa mengenai kehidupan public figure tersebut.


          Dari sana jelas terlihat bahwa semua manusia yang hidup di dunia pasti memiliki masalah, bahkan mereka yang terlihat sempurna pun sebenarnya memiliki masalah yang tidak kita ketahui bahkan tidak kita prediksi. Tingkat kesulitan masalah yang dihadapi setiap manusia pun berbeda-beda sesuai dengan kondisinya masing-masing. Ada yang menghadapi masalah ringan seperti rasa malu yang menerpa seorang karyawan saat dimarahi sang Boss di depan banyak orang karena kelalaian yang telah dia lakukan, atau kerusakan berbagai gadget yang dimiliki padahal aktivitasnya membutuhkan gadget tersebut tetapi ia tidak memiliki masalah keuangan untuk biaya servis, atau mengalami pertengkaran dengan tetangga hanya karena masalah sepele namun dibesar-besarkan. Ada yang menghadapi masalah berat karena akumulasi masalah seperti pertengkaran dengan saudara kandung karena berbeda prinsip ditambah lagi harus menghadapi kekasih yang gemar berselingkuh ditambah terlilit hutang dimana-mana ditambah pemecatan secara sepihak oleh perusahaan, atau akumulasi masalah lain seperti harus menempuh operasi demi bertahan hidup padahal kondisi keuangan tidak memungkinkan dan tidak ada orang lain yang dapat dipinjami uang dalam skala besar.


          Respon manusia dalam menghadapi masalah juga berbeda-beda, ada yang tetap enjoy dan sabar, ada yang merasa terpukul tetapi tetap berusaha bangkit, bahkan ada yang putus asa sampai bunuh diri. Jujur, ketika saya sedang menghadapi masalah berat pun, sempat terlintas di benak saya untuk bunuh diri. Mengambil pisau dan menggeseknya di leher atau di pergelangan tangan sehingga nadi saya putus dan mengalami pendarahan, atau meminum Baygon sehingga tubuh saya keracunan (karena aerosol untuk membunuh serangga berbahaya untuk tubuh manusia), atau duduk di rel kereta dan berharap ada kereta yang menabrak tubuh saya sehingga memisahkan jiwa dari tubuh saya, seperti upaya bunuh diri yang pernah saya lihat di film-film. Namun saya hanya berimajinasi mengenai hal tersebut, belum sampai pada tahap perilaku, bersyukur sekali saya tidak sempat merealisasikan imajinasi buruk saya. Karena akal yang sehat tidak menyuruh kita untuk melakukan hal yang demikian, hanya semangat yang patah yang membuat kita putus asa.


          Lalu saya mengkhotbahi diri saya sendiri, berbicara di dalam hati bahwa, “Lo itu makhluk ciptaan Tuhan, cuma pencipta lo yang bisa ngambil nyawa lo. Hidup lo milik Tuhan, bukan milik lo pribadi, jadi jangan sok-sok-an ngambil keputusan yang merugikan diri lo sendiri. Pikir panjang kalo lo mau berbuat nekat, jangan karena emosi dan putus asa jadi otak lo gak jalan. Karena lo ciptaan Tuhan, harusnya lo menghamba ke Tuhan, bukan ke iblis. Pikiran bunuh diri itu cuma pikiran iblis, mana mungkin Tuhan ngajarin lo untuk ngambil hak-Nya buat ngambil nyawa orang. Mending kalo lo ditabrak kereta terus langsung mati, kalo lo selamat tapi cacat seumur hidup kan makin nambahin masalah, bukan nyelesein masalah. Mending kalo lo nenggak Baygon terus lo langsung mati, kalo keracunan sampe koma berhari-hari di ICU kan buang-buang duit. Inget, peti mati harganya belasan juta, ditambah biaya lahan kuburan sama perawatannya jadi berapa puluh juta tuh biaya buat mati doank ?”. Di saat itu saya memang memarahi diri saya sendiri, tapi tidak apa asalkan saya batal berbuat nekat. Karena logika harus tetap memimpin di tengah emosi yang meluap.


          Sekitar dua tahun yang lalu ketika saya membuka jejaring sosial Facebook dengan akun yang saya miliki, saya pernah menemukan link video yang sangat mengharukan. Sayangnya saya tidak menyimpan link tersebut sehingga tidak bisa saya bagikan dalam artikel ini, dan saya juga tidak menemukan link video tersebut setelah lama mencari di YouTube. Di dalam video tersebut saya melihat kumpulan foto-foto para penderita kanker yang terlihat sangat mengenaskan, namun mereka masih ingin tetap melanjutkan hidupnya meski tidak ada kesempatan untuk hidup. Mereka menginginkan kehidupan di saat kita menginginkan kematian.


          Seperti yang kita ketahui, penyakit kanker bukanlah penyakit ringan yang dapat disembuhkan dalam waktu satu minggu atau perawatan satu bulan kemudian sembuh total. Penyakit kanker adalah salah satu penyakit yang terkenal sebagai “penyakit pencabut nyawa”. Karena setelah selesai operasi pengangkatan sel kanker (yang biasanya berbentuk tumor atau benjolan) serta dipadukan dengan kemoterapi atau terapi lainnya, sel kanker belum tentu musnah, ia bisa aktif kembali kemudian menyebar ke seluruh tubuh lagi dan menyerang bagian lainnya lagi, begitu seterusnya. Wajar saja, karena pada dasarnya sel-sel kanker tersebut adalah sel-sel tubuh kita yang tidak normal (abnormal) yang membelah diri tanpa kontrol, lalu menyebar ke bagian lain dari tubuh melalui darah dan sistem limfe, kemudian menyerang jaringan lain sehingga kemudian tampak menjadi “benjolan” yang disebut “tumor”.


          Kanker memang belum memiliki satu obat khusus seperti layaknya obat diare yang hanya dimakan 2-3 kali lalu langsung sembuh. Pengobatan kanker haruslah dilakukan secara rutin dan berkesinambungan melalui berbagai cara dan beberapa tahap. Dapat kita bayangkan betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk ruang rawat inap, obat-obatan oral yang sekiranya dibutuhkan, jasa operasi, kemoterapi atau terapi lainnya yang tidak akan dilakukan hanya sekali (mungkin dua kali dalam satu minggu selama masa perawatan). Di sini saya tidak akan membahasnya secara medis karena saya juga tidak memiliki latar belakang pendidikan kedokteran atau keperawatan. Yang saya tahu bahwa perawatan kanker tidaklah memakan sedikit biaya. Mari kita mencoba mengestimasikan biaya perawatannya (harga-harga yang tertera hanyalah prediksi) :


Kamar Kelas Dua = Rp 500.000/hari x 10 hari                                   =  Rp    5.000.000
Biaya Visitasi Dokter = Rp 200.000/kedatangan x 10 kali visit         =  Rp    2.000.000
Infus = Rp 20.000 x 3 botol/hari x 10 hari                                          =  Rp       600.000
Biaya Operasi Kanker                                                                         =  Rp   30.000.000
Kemoterapi (obat kanker + alat kesehatan)                                         =  Rp   20.000.000
Jumlah                                                                                                  =  Rp   57.600.000


          Belum lagi ditambahkan dengan biaya check up pasien di kemudian hari setelah operasi dan kemoterapi, lalu biaya transportasi dan biaya konsumsi bagi keluarga pasien karena harus menjaga dan mengantar si penderita kanker, mungkin jika dibulatkan bisa mencapai Rp 70.000.000 (hanya estimasi biaya). Itu pun jika dalam waktu 10 hari pasien dapat dipulangkan ke rumahnya, namun jika pasien tersebut masih membutuhkan perawatan, maka pengeluaran untuk Biaya Opname akan bertambah beserta dengan obat-obatan yang dikonsumsi secara rutin.


          Sama halnya dengan pengidap kanker, penderita penyakit jantung juga membutuhkan banyak biaya untuk pengobatannya. Seperti yang kita ketahui, penyakit jantung adalah salah satu penyakit mematikan yang tentu saja tidak dapat diprediksi mengenai kapan serangan itu akan datang. Ketika pagi hari kita masih melihat si penderita penyakit jantung memasang wajah bahagia dan tertawa bersama kita, tidak dapat di sangka pada siang harinya kita harus melihat tubuhnya terbaring kaku dan pucat akibat serangan jantung yang merenggut nyawanya.


          Para penderita penyakit jantung ini mengalami penyempitan di pembuluh darah jantungnya, yang menghambat peredaran darah yang membawa oksigen ke jantung. Untuk itulah para penderita penyakit jantung membutuhkan alat lain untuk membantu pernapasannya yang disebut dengan cincin / ring / stent. Alat berbahan metal yang tahan karat dan bernilai puluhan juta ini dipasang pada pembuluh darah di jantung yang mengalami penyempitan agar darah di jantung tetap dapat mengalir. Pengeluaran penting yang dibutuhkan pun terdiri dari harga ring, jasa operasi, ruang rawat inap, dan obat yang harus tetap dikonsumsi untuk menghindari penggumpalan darah lain di sekitar jantung atau di dalam ring setelah penderita melakukan operasi pemasangan ring. Mari kita kembali mengestimasikan biaya perawatannya (harga-harga yang tertera hanyalah prediksi) :


Kamar Kelas Dua = Rp 500.000/hari x 10 hari                                   =   Rp     5.000.000
Biaya Visitasi Dokter = Rp 200.000/kedatangan x 10 kali visit         =   Rp     2.000.000
Infus = Rp 20.000 x 3 botol/hari x 10 hari                                          =   Rp        600.000
Biaya Operasi Jantung                                                                         =   Rp   30.000.000
Ring / Stent (satu buah untuk satu lokasi penyempitan)                      =   Rp   50.000.000
Obat Rutin yang harus dikonsumsi pasca operasi                               =   Rp     2.000.000
Jumlah                                                                                                  =   Rp   89.600.000


          Belum lagi ditambahkan dengan biaya check up pasien di kemudian hari setelah operasi, lalu biaya transportasi dan biaya konsumsi bagi keluarga pasien karena harus menjaga dan mengantar si penderita penyakit jantung, mungkin jika dibulatkan bisa mencapai Rp 95.000.000 (hanya estimasi biaya). Itu pun jika dalam waktu 10 hari pasien dapat dipulangkan ke rumahnya, namun jika pasien tersebut masih membutuhkan perawatan, maka pengeluaran untuk Biaya Opname akan bertambah beserta dengan obat-obatan yang dikonsumsi secara rutin. Jika di kemudian hari terdapat penyempitan pembuluh darah di bagian lain pun kita harus mengeluarkan Biaya Operasi dijumlahkan dengan Biaya Ring lalu dijumlahkan dengan Biaya Opname, yang belum tentu harganya sama seperti operasi yang lalu, bisa saja mengalami kenaikan harga yang tidak dapat kita prediksi.


          Hitunglah, berapa ratus juta yang harus kita keluarkan untuk tetap bertahan hidup jika kita atau orang-orang yang kita kasihi terkena salah satu dari beberapa penyakit mematikan tersebut. Tetapi apapun penyakitnya, pasti kita akan berusaha untuk mengobatinya, meski kesempatan untuk hidup terlalu kecil bila dibandingkan dengan jumlah uang yang harus kita keluarkan. Ada yang berusaha untuk meminjam dana dari bank, dari saudara-saudara, bahkan meminta biaya dari Yayasan Kesehatan. Mungkin beberapa dari kita harus menjual barang-barang berharga yang kita miliki, mulai dari simpanan emas batangan, jam tangan dan perhiasan berharga, sebagian tanah dan rumah, atau apapun yang kita miliki, hanya untuk memperpanjang masa hidup selama satu hari atau dua hari dari mereka para pengidap penyakit mematikan yang kita sayangi. Kita rela banting tulang untuk bekerja dan meminjam uang dari sana-sini hanya untuk tetap merasakan hembusan napas dari orang yang kita kasihi. Dan memang benar apa yang dikatakan orang-orang bahwa “HARTA itu bisa dicari, tapi NYAWA tidak akan bisa diganti karena hanya satu”, dan itu yang membuat kita tetap berjuang untuk memperpanjang masa hidup dari orang-orang yang kita kasihi. Itulah bukti yang jelas terlihat bahwa betapa sangat berharganya hidup yang kita jalani sekarang, betapa indahnya hidup bersama orang-orang yang kita kasihi, betapa nilai uang tidak akan sebanding dengan nyawa yang membuat kita tetap hidup meski banyak masalah yang menghimpit.


          Jika kita menginginkan ajal menjemput karena kita sedang putus asa akibat banyak problema hidup yang menghimpit, ingatlah bahwa kita harus tetap bersyukur karena masih bisa bernapas dengan gratis dan tidak diwajibkan untuk mengeluarkan biaya ratusan juta rupiah demi bertahan hidup satu atau dua hari ke depan, seperti para pengidap penyakit di atas. Jika kita ingin menghentikan napas kita untuk selamanya, ingatlah bahwa banyak di antara mereka yang masih ingin bernapas meski sudah tidak diberi kesempatan untuk bernapas. Jika kita ingin cepat merasakan kematian, ingatlah bahwa mereka justru menginginkan hidup yang lebih panjang lagi meski mereka tidak diberikan kesempatan untuk memperpanjang masa hidupnya. Bersyukurlah atas napasmu yang tetap berhembus, bersyukurlah atas nyawamu yang masih menyatu dengan ragamu, bersyukurlah untuk kehidupanmu yang tetap berjalan, karena banyak orang yang menginginkan hal tersebut tetapi mereka harus kembali kepada Sang Pencipta. Ingatlah bahwa hidupmu berharga.


Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.

Selasa, 26 Agustus 2014

The Black Feeling

          Saya pernah mendengarkan suatu statement dari salah satu peramal di televisi yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya setiap orang memiliki Indra Keenam. Hanya saja, beberapa orang di antara mereka lebih peka menangkap sinyal-sinyal dari lingkungannya dan bisa mengasah kemampuan Indra Keenam-nya. Sedangkan sebagian yang lain hanya menerima sinyal-sinyal tersebut sambil lalu dan tidak peka terhadap Indra Keenam-nya”. Entah Indra Keenam atau bukan, yang jelas saya merasakan ada hal yang aneh pada diri saya, dan ini berlangsung selama beberapa kali. Saya lebih suka menyebutnya sebagai black feeling, karena feeling tersebut memprediksikan atau menggambarkan hal yang negatif mengenai orang lain yang tidak saya inginkan, dan saya juga tidak ingin bahwa “kemampuan” itu selalu “membayangi” saya. Black feeling yang saya maksudkan di sini ialah perasaan yang sangat yakin atau men-judge bahwa seseorang akan meninggal saat itu juga. Sesungguhnya saya merasa berdosa saat mengatakan dalam hati, “meninggal”, dan orang yang saya maksudkan benar-benar meninggal. Seolah saya yang menentukan kapan seseorang tersebut akan meninggal, bahkan saya terkesan “menyuruh” agar orang tersebut meninggal. Memang seram, tetapi itulah hal mistis yang pernah saya alami.


          Pertama kalinya saya merasakan black feeling ialah saat Ibu dari salah satu sahabat saya meninggal dunia. Satu minggu sebelum hari “keberangkatan” beliau, saya tahu bahwa beliau sedang sakit dan sudah keluar masuk Rumah Sakit beberapa kali. Dua hari sebelum hari “keberangkatan” beliau, saya sudah mem-planning-kan bahwa besok harus datang menjenguk. Entah kenapa saya sangat ingin menjenguk, dalam batin saya berkata, “Besok lo harus jenguk Nyokap sahabat lo”. Tetapi karena lokasi yang sangat jauh dan tidak ada teman untuk pergi ke sana, akhirnya saya membatalkan “panggilan hati” tersebut. Malam harinya saya bermimpi bahwa saat petang saya menggayuh sepeda ke rumah sahabat saya tersebut karena Ibunya sudah pulang dari Rumah Sakit. Lokasi yang sangat jauh pun saya tempuh tanpa rasa lelah, bahkan secara logika tidak mungkin saya menggayuh sepeda sejauh itu. Dalam perjalanan pergi, saya berpapasan dengan para Senior saya di kampus yang sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sahabat saya tersebut. Kondisinya sangat ramai, namun saya hanya melihat dengan jelas segerombolan Senior saya di kampus. Sampai di rumah sahabat saya, saya pun bertemu wajah dengan Ibu dari sahabat saya. Meski saya tidak mengenal wajahnya dan di dalam mimpi tersebut pun tidak jelas bagaimana wajahnya, namun beliau sangat gembira saat melihat saya datang. Wajahnya yang ramah mempersilahkan saya untuk masuk ke rumah mereka, padahal saya juga belum pernah menginjakkan kaki di rumah tersebut. Dalam mimpi tersebut saya melihat bahwa Ibu dari sahabat saya tersebut sudah segar bugar karena sudah keluar dari Rumah Sakit. Lalu saya terbangun dari mimpi saya yang jalan ceritanya tidak finish tersebut. Keesokan harinya, sekitar pukul 14.00 WIB, saya mendapat telepon dari sahabat saya yang lain, dia mengabarkan bahwa Ibu dari sahabat saya tersebut meninggal dunia. Saat itu saya sangat menyesal karena tidak menjenguk beliau (meski tidak kenal dekat, bahkan belum pernah bertemu sama sekali). Saya mengabaikan “panggilan hati” yang ternyata mengisyaratkan “sesuatu”.


          Saat malam harinya saya datang melayat bersama dengan sahabat-sahabat saya yang lain, saya pun menceritakan mimpi saya kepada sahabat saya yang berduka tersebut. Dia membenarkan bahwa sebenarnya Ibunya sudah sempat pulang ke rumah karena kondisinya sudah sehat, tetapi penyakit beliau kambuh di rumah dan tidak sempat dibawa ke Rumah Sakit kembali. Setelah saya pikir-pikir, mimpi tersebut memang bermakna “sesuatu”. Ternyata kumpulan orang-orang yang datang untuk bersukacita karena Ibu dari sahabat saya tersebut telah pulang dari Rumah Sakit bukan datang untuk merayakan karena beliau sudah pulang ke rumah, tetapi untuk berbela sungkawa karena beliau telah “pulang” ke tempat peristiharahatannya yang terakhir. Dan kedatangan saya dengan bersepeda saat petang dan berpapasan dengan para Senior yang sedang berjalan pulang dari rumah sahabat saya tersebut, mengartikan bahwa saya memang datang saat semua pelayat sudah pulang. Mengingat ada acara lain yang harus kami hadiri sejak siang sampai malam, kami sampai di rumah sahabat saya tersebut sekitar pukul 11 malam.


          Kedua kalinya saya merasakan black feeling ialah saat Ibu dari teman satu kelas saya meninggal dunia. Teman saya tersebut mengganti-ganti Display Picture di Smart Phone-nya selama 4 hari berturut-turut, dan Personal Message-nya dengan kata-kata penyemangat untuk Ibunya, sehingga kami tahu bahwa Ibunya sedang berada di Rumah Sakit. Saat itu saya “mati rasa” dan masa bodoh, di benak saya berkata, “ah, paling Ibunya cuma sakit biasa”. Beberapa hari kemudian salah satu teman sekelas kami mengabarkan bahwa tadi dia sudah menjenguk Ibu dari teman saya tersebut. Teman-teman satu kelas pun segera rapat di Smart Phone untuk menentukan kapan menjenguk beliau, naik kendaraan apa, berkumpul dimana, siapa saja yang ingin ikut, dan lain sebagainya. Jujur, saat saya mendengar kabar bahwa ada teman saya yang lain sudah menjenguk, saya pun merasa ingin menjenguk karena ada “panggilan hati” yang mengisyaratkan “sesuatu”. Kalau boleh jujur, sebenarnya saya adalah orang yang paling cuek ketika mendengar kabar bahwa orang lain sedang sakit dan saya sangat jarang untuk menjenguk orang sakit. Jadi saat pertama kali melihat Display Picture teman saya yang menggambarkan bahwa Ibunya sedang dirawat di Rumah Sakit, saya merasa bahwa tidak ada “sesuatu” yang perlu dikhawatirkan. Pada malam hari saat teman-teman saya rapat di Smart Phone , teman saya mengganti Display Picture lagi, Display Picture yang pernah saya lihat kemarin-kemarin. Di Display Picture tersebut saya melihat bahwa beliau sedang menggunakan Selang Oksigen sambil tertidur dan saya langsung berkata di dalam hati, “meninggal”. Padahal saat kemarin-kemarin teman saya mengganti Display Picture dengan foto tersebut, perasaan saya datar-datar saja, tidak ada “sesuatu” yang patut dikhawatirkan. Setelah 2 jam pembicaraan panjang dalam rapat di Smart Phone pun kami mendengar kabar bahwa beliau sudah “dijenguk Tuhan” sebelum kami menjenguknya.


          Ketiga kalinya saya merasakan black feeling ialah saat Ayah dari senior saya di kampus meninggal dunia. Malam itu ia mengganti Display Picture di Smart Phone-nya dan Personal Message-nya dengan kata-kata penyemangat untuk Ayahnya. Display Picture di Smart Phone tersebut menggambarkan seorang pria yang sedang menggunakan Selang Oksigen sambil tertidur. Entah mengapa saya langsung berkata di dalam hati, “meninggal”. Sekitar 2 jam kemudian saya melihat Personal Message-nya berubah menjadi “Selamat jalan Papa”.


          Pada kasus kedua dan ketiga (Ibu dari teman saya dan Ayah dari Senior saya), saya melihat Display Picture yang sama. Beliau menggunakan Selang Oksigen sambil tertidur di kasurnya, tanpa ada objek gambar yang menjelaskan bahwa beliau sedang tidur di Ruang ICU (Intensive Care Unit) atau tidak. Namun semua orang yang berada di Rumah Sakit pasti tidak selalu mengalami penyakit yang serius jika ia menggunakan Selang Oksigen. Dalam arti, keberadaan Selang Oksigen yang ditempelkan di hidung pasien tidak mengindikasikan bahwa pasien kekurangan udara atau sesak nafas lalu meninggal. Keberadaan Selang Oksigen di hidung pasien juga tidak mengindikasikan bahwa pasien tersebut mengidap penyakit yang parah. Bahkan pasien yang ingin menghirup Oksigen dari tabung meski tidak mengalami sesak juga diperbolehkan, tetapi akan ada tambahan biaya untuk membayar Oksigen tersebut. Dan usia dari beliau (Ibu dari teman saya dan Bapak dari Senior saya) pun tidak mengindikasikan bahwa mereka pantas untuk meninggal di usia demikian, usia 40 tahunan dan 60 tahunan. Karena usia manusia tidak dapat ditentukan oleh siapapun, bahkan anak yang baru lahir satu hari pun bisa meninggal dunia, tidak hanya mereka yang sudah manula yang harus meninggal dunia. Pada kasus kedua dan ketiga pun saya tidak tahu mengenai riwayat penyakit beliau (Ibu dari teman saya dan Bapak dari Senior saya), karena pada dasarnya saya tidak pernah terlibat obrolan serius mengenai penyakit beliau. Tetapi black feeling menghadirkan “kemampuan” yang aneh pada diri saya, meski hanya beberapa kali dan entah sampai kapan.


          Di sisi lain, saya juga mengalami hal yang kontradiktif dengan black feeling. Saat saya mengantarkan Ibu saya ke sebuah Rumah Sakit untuk dirawat inap, para pasien yang baru datang secara otomatis akan ditempatkan di Ruang UGD (Unit Gawat Darurat), kemudian dicek oleh para Tenaga Medis mengenai kondisi dan riwayat sakit pasien, lalu pasien ditempatkan ke kamar inap untuk melanjutkan perawatan. Saat Ibu saya menjalani pemeriksaan, tiba-tiba ada seorang Ibu yang menangis histeris masuk ke dalam Ruang UGD. Ia menggendong anaknya yang masih balita, yang sedang sesak nafas sampai kejang-kejang, sepertinya anak tersebut terkena Step (demam tinggi sampai menimbulkan kejang-kejang). Secara refleks, beberapa Tenaga Medis langsung memberikan pertolongan, mulai dari tabung oksigen dan selangnya, sampai memasukkan jarum untuk infus. Karena pertama kali melihat hal yang demikian, saya pun merasa sangat ketakutan, jantung saya berdegup kencang, ditambah lagi Ibu dari anak tersebut menangis histeris karena sangat takut. Jujur, saya takut anak tersebut tidak tertolong. Namun di dalam hati saya berkata, “Gak”, artinya anak tersebut tidak akan “pulang” saat itu juga, anak itu akan selamat. Benar saja, anak tersebut tidak kejang-kejang lagi setelah 20 menit ditangani oleh Tim Medis. Entah apa yang dilakukan oleh Tim Medis, yang jelas saya sangat bersyukur ketika ritme jantung balita 1 tahun itu sudah kembali normal. Hal lainnya, ketika saya melihat foto dari Senior saya yang masuk ICU (Intensive Care Unit) karena kecelakaan motor sampai beberapa kali operasi tulang, saya tidak merasakan ada “sesuatu” selain rasa kasihan (mengingat Senior saya yang satu itu adalah orang baik-baik). Saya tidak merasakan black feeling meskipun pada faktanya kecelakaan juga dapat merenggut nyawa manusia dengan seketika, tidak hanya penyakit parah saja yang dapat merenggut nyawa manusia. Saya tidak merasakan black feeling meskipun saya mendengar kabar bahwa dia sempat tidak sadarkan diri selama 1 hari, kemudian menjalani 10 jam operasi tulang, membutuhkan transfusi darah, dan beberapa minggu perawatan di Rumah Sakit. Saat saya menjenguk pun dia tidak bisa berbicara, hanya tidur dan mendengar para penjenguk yang berbicara.


          Dari beberapa kejadian di atas, yang saya pergumulkan adalah ada energi yang kuat dan pasti saat saya mengatakan “Gak” dan “Meninggal” di dalam hati saya, seolah ada tekanan feeling yang keluar dari tubuh saya. Namun tidak semuanya “kepulangan” bisa saya prediksi dengan black feeling. Sebagai contoh, Ayah dari sahabat saya tiba-tiba saja meninggal. Memang ternyata beliau mengidap penyakit jantung yang terlambat dideteksi. Semenjak saya mengetahui bahwa beliau sudah berkali-kali keluar masuk Rumah Sakit, saya ingin menjenguk, tetapi  tidak ada “panggilan hati” yang sangat mendesak seolah ingin mengisyaratkan “sesuatu”. Sekitar satu minggu setelah merencanakan untuk menjenguk, kami mendengar kabar bahwa kami harus ke Kabupaten lain untuk melayat beliau, bukan menjenguk beliau. Kondisi yang sama pun berlaku dengan Ibu dari sahabat saya yang sudah pulang ke rumah karena sudah sehat, tetapi akhirnya meninggal di tempat lain dan bukan di Rumah Sakit. Contoh lainnya ialah tetangga saya yang saya kasihi, yaitu Pakde Reno, suami dari Bude Reno. Saya sempat menjenguk ke rumahnya, bukan karena ada black feeling, tetapi karena saya rindu untuk bertemu sekaligus ingin memastikan bagaimana kondisinya karena selama ini saya hanya bisa mendengar kabar yang beredar dari mulut ke mulut.


          Sesungguhnya saya merasa takut dan horror karena black feeling yang saya miliki, lalu saya pun menceritakan kepada Sang Pria Terkasih. Dia hanya menyebutkan satu kalimat sakti, “Jangan melangkahi Tuhan, umur itu kan Tuhan yang tentukan”, saat saya menceritakan hal mistis yang saya alami. Memang benar, umur di tangan Tuhan, hidup dan mati juga sudah diatur oleh Tuhan. Mungkin manusia bisa memiliki black feeling atau firasat atau pertanda, atau indra keenam atau apapun namanya, namun keputusan terakhir berada di tangan Tuhan dan bukan di tangan manusia. Seperti black feeling yang saya alami, itu hanyalah “sinyal” yang saya terima dari lingkungan atau bahkan “sinyal” yang diterima oleh suara hati saya. Bukannya saya yang menentukan bahwa orang tersebut akan meninggal atau harus meninggal saat itu juga. Tetapi saya malah merasa sangat berdosa karena hanya dengan melihat foto, saya bisa menentukan bahwa ia akan meninggal. Apapun namanya, black feeling atau pertanda atau firasat atau indra keenam atau ramalan, saya tidak akan bisa mengubah apa yang sudah Tuhan perintahkan untuk terjadi. Karena black feeling yang saya miliki hanya keluar di detik-detik terakhir, satu minggu bahkan dua jam sebelum beliau-beliau “menghadap” Tuhan. Artinya, ketika saya memiliki firasat, hal itu hanya menginformasikan kepada saya sendiri bahwa beliau-beliau akan dipanggil Tuhan, saya tidak punya wewenang untuk memberitakan kepada orang lain bahwa beliau-beliau akan “berpulang”, bahkan saya tidak dapat menghentikan atau membatalkan maut yang menjemput dengan adanya black feeling. Karena semua yang saya terima hanyalah “berita”, tanpa ada wewenang untuk mengganti “isi berita”.


Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.

Rabu, 25 Juni 2014

“Kado” dari Tuhan

          Saya memiliki 2 orang keponakan, si Kakak dan si Adik. Mereka adalah kedua putri dari Kakak kandung saya. Pada pertengahan Juni kemarin si Adik bertambah usia, secara otomatis si Kakak juga harus mendapat hadiah agar tidak terkesan diskriminatif dan menimbulkan kepahitan tersendiri. Karena mereka masih kecil dan sifat egoisnya masih tinggi, sedikit perbedaan saja dapat membuat iri hati dan saling merebut. Dengan demikian, kami harus memberikan hadiah yang sama persis, mulai dari isi sampai dengan bungkusnya. Namun seiring dengan bertambahnya usia, maka kebutuhan mereka sudah berbeda. Dan mereka mulai belajar untuk mengenal perbedaan akan kebutuhan, tidak hanya mengikuti keinginan mereka saja.


          Si Kakak yang lahir pada akhir tahun 2007 kini berusia 7 tahun, dan si Adik yang lahir pada pertengahan tahun 2009 kini berusia 5 tahun. Karena si Adik ingin sepatu yang menyala saat diinjak, si Kakak pun meminta sepatu multi fungsi yang memiliki roda. Walhasil, saya kembali berkeliling ke sejumlah tempat perbelanjaan untuk mencarinya, seperti pada tahun-tahun sebelumnya saya harus membeli baju dan celana yang berwarna dan bermotif sama namun ukurannya berbeda (agar mereka tidak saling iri hati dan saling merebut), kali ini saya harus kembali menjalani tugas saya sebagai seorang Tante untuk mencari sepatu yang mereka impikan. Setelah saya berkeliling ke 5 tempat perbelanjaan selama setengah hari dan mendapatkan kedua barang yang mereka inginkan, saya pulang ke rumah dan membungkusnya. Esok harinya mereka datang ke rumah kami untuk mengambil hadiah tersebut. Namun hal yang paling unik dari sifat si Adik ialah, dia adalah anak yang Mata Kadoan (bukan Mata Duitan). Meskipun dia sudah diberikan uang sebagai “salam tempel” yang jumlahnya lebih besar dari pada harga kado, namun ia tetap saja menganggap bahwa orang tersebut belum memberikan kado.


          Wajar saja, anak-anak memang suka dengan kado apa pun. Cokelat dan permen dengan harga minim namun dibungkus dengan kertas kado yang indah pun sudah membuat mereka bahagia. Atau bahkan kumpulan snack yang beraneka jenis mulai dari permen, coklat, wafer, bolu, crackers, agar-agar, susu atau teh yang biasa dijadikan sebagai bingkisan saat anak-anak ulang tahun seharga (minimal) Rp 5.000 tiap plastik saja sudah membuat anak-anak bahagia karena packaging-nya yang lucu dan unik, dibungkus dengan plastik beraneka gambar tokoh kartun yang penuh warna ditambah dengan pita berwarna. Mungkin itulah yang menarik dari kado atau bingkisan anak lainnya, karena dibungkus oleh kertas kado yang berwarna-warni dengan segala hiasannya yang unik, atau bahkan bentuknya yang berbagai rupa dan ditumpuk menjadi satu sehingga tampak ramai dan membuat mereka bahagia sekaligus penasaran dengan isinya. Ya, anak-anak memang belum bisa menghitung jumlah materi yang diberikan dalam kado itu, bahkan mereka tidak peduli akan ratusan ribu atau hanya puluhan ribu jika kado tersebut di-uang-kan, yang penting mereka mendapatkan kado dan mereka merasa senang.


          Sesungguhnya saat itu hanya orang tua saya (Ompung dari si Kakak dan si Adik) yang ingin memberikan kado. Biaya untuk membeli kado pun berasal dari orang tua saya meskipun saya yang mencari dan membelinya. Bisa dikatakan, saya hanya memberikan jasa karena keterbatasan materi. Wajar saja, saya belum memiliki pendapatan yang tetap. Hingga tulisan ini saya buat, pekerjaan saya adalah Job Seeker di sebuah rumah tinggal dengan jabatan sebagai Fresh Graduated. Namun demikian, saya tetap berusaha untuk memberikan kebahagiaan kepada mereka melalui jasa-jasa saya, terutama waktu dan tenaga yang saya kerahkan untuk bermain dengan mereka. Mereka adalah anak yang sangat aktif, saya selalu kelelahan saat bermain dengan mereka, apalagi mereka suka sekali digendong. Walhasil, saya menggendong si Kakak di sebelah kanan dan si Adik di sebelah kiri, atau bahkan si Kakak menempel di punggung saya (di-gemblok) dan si Adik di depan saya (di-gendong). Meski penuh peluh, pegal, kamar menjadi berantakan, sampai rambut saya juga ikut berantakan karena “dirombak” oleh mereka, tetapi saya sangat senang bermain dengan mereka dan banyak momen indah saya bersama mereka.


          Saat si Adik bertambah usia tahun ini, saat itu juga istri dari salah satu Abang saya pulang dari tugasnya di negeri lain dan membawakan buah tangan untuk si Kakak dan si Adik seperti biasanya. Kemudian Kakak saya me-request agar saya mem-package buah tangan tersebut dengan kertas kado, anggap saja kado dari Abang saya dan istrinya, agar si Kakak dan si Adik senang. Dan kemudian request-an itu berlanjut, “Sekalian aja lo bungkusin atas nama lo dan si Anak Ketiga, lo kasih apa aja deh, permen satu biji tapi dibungkus kado juga senang itu anak. Sekalian bungkusin atas nama gue ya. Soalnya dia nagih kado dari gue, padahal lo tau sendiri kan gue udah beli kue ulang tahun sama Tiket Bermain yang cukup menguras kantong biar mereka senang. Hahaha,,, Orang tua mana sih yang gak pengen anaknya bahagia ? Lagian gue gak sempat cari kado, sibuk kerja gini, makanya gue minta tolong lo buat cariin sepatu mereka. Thank you ya Dek”.


          Special by request, saat itu saya langsung membelikan barang-barang yang unik dan lucu di toko terdekat sebagai tambahan kado atas nama saya dan Abang saya si Anak Ketiga. Mungkin bukan hadiah yang terlalu serius seperti sepatu atau baju, tetapi semuanya saya lakukan agar si Kakak dan si Adik senang. Sekitar 2 jam kemudian sudah ada 8 kado untuk mereka berdua, 4 kado untuk si Kakak, 4 kado untuk si Adik, harus adil dan merata. Sepertinya tahun ini adalah Tahun Pesta Kado bagi mereka, karena baru kali ini mereka mendapatkan lebih dari 2 kado setiap orang. Dan mereka pun bahagia karena melihat tumpukan kado di meja ruang tamu rumah kami. Itulah kebahagiaan anak-anak yang dapat kita lihat, segala sesuatu tampak indah dan seolah tidak memiliki penderitaan serta kesedihan. Setiap waktu tertawa riang dan semua keinginannya terpenuhi (berdasarkan prinsip “Kebahagiaan sejati bagi para orang tua adalah melihat anaknya berbahagia”).


          Anak-anak yang begitu polos tidak peduli akan jumlah materi jika kado mereka di-uang-kan. Mereka juga tidak peduli akan isi kado yang serius dan mahal, atau isi kado yang murah meski dibungkus mewah. Yang mereka inginkan adalah pemberian yang dibungkus indah. Berbeda dengan orang dewasa, tidak peduli akan packaging, yang terpenting ialah isi kado yang berharga dan berguna. Mendapatkan selembar uang biru bergambar I Gusti Ngurah Rai atau selembar uang merah bergambar Soekarno-Hatta sebagai “salam tempel” saja sudah sangat bahagia meski tidak dibungkus kertas kado atau selembar amplop pun. Orang dewasa akan menerimanya dengan penuh senyum sambil berkata “Lumayan nih, lo tau aja kalo gue lagi butuh “mentahnya”. Suntikan Dana Segar banget nih buat dompet gue yang lagi “koma”. Soalnya ini dompet “nafasnya” udah Senin Kamis, maksudnya cuma “bernafas” di hari Senin dan Kamis aja, hari lainnya megap-megap sesak nafas. Thanks a lot ya, sering-sering aja kayak gini, gue terima dengan senang hati serta tulus ikhlas kok. Hahahahaha…”.


          Itulah perbedaan yang jauh antara anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak masih merasa bahagia meski diberikan sebungkus permen seharga Rp 5.000 dengan dibungkus kertas kado. Tetapi jika hal ini diberlakukan kepada orang dewasa, maka mereka akan berkomentar, “Yaelah, permen goceng doank pake dibungkus. Gak ada yang lebih bagus apa ya hadiahnya ? Baju, jaket, topi, jam, atau hand phone 200 rebuan kek”, terkesan sangat Mata Duitan, bukan ? Wajar saja, orang dewasa sudah memiliki Pemikiran Ekonomis mengenai untung dan rugi, jadi terkesan lebih perhitungan dan tidak mau rugi, meski tidak semua orang dewasa memiliki sifat “selalu ingin untung”.


          Namun ada persamaan antara orang dewasa dan anak-anak, mereka sama-sama suka dengan kado atau hadiah (meskipun orang dewasa lebih mementingkan isi kado dari pada bungkusnya, sedangkan anak-anak tidak terlalu mementingkan isi kadonya). Kita pun demikian, sebagai orang dewasa kita pasti sudah mengenal hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk. Dan “kado” dari Tuhan tidak selalu dibungkus dengan indah, yang terpenting ialah isinya, bukan ? Sebagai contoh, ketika kita dikaruniakan orang-orang yang selalu membuat kita emosi, “bungkus kado” itu sangat buruk, karena kita selalu emosi akibat orang-orang tersebut, mereka membuat kita terus menerus “meledak”. Namun “isi kado”-nya ialah, kita belajar mengenai Ilmu Pengendalian Diri, bagaimana cara kita untuk bersabar menghadapi orang-orang yang menyebalkan, bagaimana cara kita meredam emosi dan menyalurkannya ke hal-hal yang positif, bagaimana cara kita mengatur mood agar selalu bersukacita, dan masih banyak lagi. Atau di saat kita memiliki berbagai persoalan hidup yang terasa berat jika dipikul, “bungkus kado”-nya buruk, bukan ? Namun yang perlu kita sadari ialah, hal itu diberikan Tuhan agar kita kuat, “isi kado”-nya sangat indah. Karena segala sesuatu yang diberikan Tuhan ialah baik, dengan tujuan yang baik, karena Tuhan sendiri pun baik. Tuhan tidak hanya memberikan cobaan agar manusia menjadi pribadi yang kuat, tetapi Ia juga memberikan kekuatan agar manusia tetap kuat dalam menjalani segala perkara.


          Dan di dalam hidup ini kita juga bisa menemukan “bungkus kado yang indah” tetapi “isi kado”-nya tidak. Sebagai contoh, ketika kita tergiur untuk melakukan korupsi, secara otomatis “bungkus kado” itu sangat indah. Bagaimana tidak ? Uang bisa membeli segalanya, termasuk hukum dan kekuasaan. Uang juga bisa membuat perut kenyang dan otak menjadi segar kembali. Tidak hanya itu saja, uang juga bisa membuat kita berada satu tingkat di atas orang lain yang disebut stratifikasi sosial (pengelompokan masyarakat secara vertikal atau bertingkat). Yang kaya berada di tingkat paling atas, sedangkan yang miskin berada di dasar piramid stratifikasi. Namun di sisi lain, “isi kado”-nya sudah kita ketahui buruk. Ketika kita menjadi Hamba Uang, kita akan bersikap money oriented, selalu terobsesi dengan materi bahkan mengerahkan segala cara negatif untuk mendapatannya. Yang ada di otak kita hanyalah “Uang, uang, uang dan uang”, dan prinsip hidup kita adalah “Do it for duit” (baca : du it for duit). Karena menghamba kepada uang, kita menjadi pelit atau kikir, selalu menilai segala sesuatu dengan uang, selalu “menjalankan” segala sesuatu dengan uang dan berprinsip “When my money talks, everybody would be silent” (ketika uang saya sudah berbicara, maka semua orang akan bungkam). Atau ketika kita terlibat Pergaulan Bebas yang selalu mengkonsumsi alkohol dan narkoba secara berlebih serta berhubungan badan dengan banyak orang, kita akan merasa bahagia. Bagaimana tidak ? Narkoba dan minuman keras akan membuat kita terbang melayang melupakan semua problema hidup, membuat kita tidak sadarkan diri untuk sementara (jika digunakan dengan tidak berlebih) atau bahkan untuk selamanya (akibat over dosis). Dan ketika kita sudah terlibat di dalamnya, kita akan sulit keluar dari Jerat Maut tersebut.


          Dengan demikian kita bisa membuktikan bahwa semua yang manis belum tentu baik dan semua yang pahit belum tentu jahat. “Kado” dari Tuhan memang tidak selalu dibungkus dengan indah, tetapi selalu berisi karunia dan anugerah. Karena segala sesuatu yang Tuhan anugerahkan bukanlah kado yang diberikan hanya pada momen-momen berharga tertentu seperti ulang tahun atau kenaikan kelas (seperti halnya 8 kado yang kami berikan kepada si Kakak dan si Adik saat mereka ulang tahun, satu tahun sekali). Tetapi kita mendapat “kado” dari Tuhan setiap hari, bahkan setiap detik, yakni anugerah nafas kehidupan yang berhembus setiap detik. Tuhan juga memberikan “kado” setiap saat, meski kita dalam kondisi terburuk sekalipun. Ketika kita sedang sedih, Tuhan memberikan “kado” berupa penghiburan dan suka cita. Saat kita sedang terpuruk, Tuhan memberikan “kado” berupa pelukan yang menguatkan. Ketika kita sedang emosi, Tuhan memberikan “kado” berupa ketenangan jiwa. Saat kita mengalami kekecewaan, Tuhan memberikan “kado” berupa rasa ikhlas dan pengampunan. Sebab Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.


          Tidak hanya itu saja, Tuhan memberikan “kado” bukan karena kita sudah melakukan suatu kewajiban atau keberhasilan, seperti mendapat Ranking 1 di kelas atau menjadi Juara Bertahan di tingkat Nasional. “Kado” dari Tuhan bukanlah perwujudan dari sikap reward and punishment (jika kita berhasil maka akan mendapat reward, jika kita gagal maka akan mendapat punishment). Tetapi Tuhan tetap memberikan “kado” meskipun kita seharusnya mendapatkan punishment. Ya, Allah Bapa mengutus Yesus Kristus untuk menjadi Juru S’lamat manusia, memikul salib dan mati di Bukit Golgota untuk menyelamatkan manusia berdosa. Memikul salib yang seharusnya kita pikul, menyerahkan nyawa yang seharusnya tidak Ia serahkan. Tetapi karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).


          Semua “kado” dari Tuhan adalah anugerah, pemberian secara cuma-cuma, kasih tanpa pamrih, dan selalu memberi meski kita tidak memberi, bahkan kita sering kali tidak mensyukuri pemberian tersebut. “Kado” dari Tuhan adalah “kado” terindah dari segala kado yang telah kita terima dari manusia di dunia ini, “kado” yang tidak bisa dinilai dengan uang, “kado” yang diberikan setiap detik sejak kita menghirup nafas pertama sampai menghembuskan nafas terakhir. Karena Allah adalah Sumber Kasih yang memberikan hal-hal baik, dengan tujuan yang baik karena Dia sendiri adalah Pribadi yang baik dan sumber dari segala yang baik.


Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.