Senin, 01 Agustus 2016

Belajarlah Kepada Padi dan Jadilah Bijak


          Manusia menghadapi berbagai kondisi yang menciptakan banyak perasaan di dalam dirinya. Jika kita merasa sudah menjadi pribadi yang berhasil, memiliki harta yang melimpah, memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, menjabat sebagai Pemimpin di “Kursi Panas” dalam berbagai level, memiliki banyak pengalaman dan terlibat dalam jaringan pertemanan dengan Kumpulan Orang Sukses, maka kita biasanya memiliki sikap “I’m The Winner and You Are Nothing”. Memang tidak semua pribadi mengalami hal ini, namun ada beberapa pribadi yang merasa terlalu bangga (sehingga menjadi sombong) karena sudah naik jabatan, mendapat warisan atau undian besar, naik level dalam jenjang pendidikan, mendapatkan penilaian tertinggi dalam berbagai test, lulus dari universitas ternama dengan predikat yang luar biasa memuaskan atau telah melewati hambatan besar dalam hidupnya yang dia yakini bahwa tidak ada satupun orang lain yang sanggup untuk “lulus” dari hambatan besar tersebut. Bangga adalah sikap yang muncul secara wajar ketika kita menghadapi kondisi tersebut, karena kita menghargai diri kita yang sudah bekerja keras (mengorbankan waktu, tenaga, biaya, atau bahkan mengesampingkan urusan keluarga dan relasi khusus dengan para sahabat) dan kemudian kita berhak untuk memetik Buah Keberhasilan pada akhir perjuangan yang telah kita kerahkan. Tetapi hati-hati jika kita terlalu berlebihan dalam membanggakan diri, sehingga kita menjadi tinggi hati dan lupa daratan.


          Kita pun sudah mengetahui konsep dasar Ilmu Kesombongan melalui Peribahasa Indonesia, “Seperti ilmu padi, makin tua makin merunduk”. Ya, kita harus belajar kepada tumbuhan Bahan Pangan tersebut melalui Ilmu Padi yang kita kenal. Gaya grafitasi menyebabkan malai (untaian butir padi) menjadi merendahkan diri ke tanah (karena sudah terisi butir padi). Namun jika tanaman padi terserang penyakit atau hama, malai bisa menjadi rapuh dan menyebabkan butir padi menjadi gagal terisi, kondisi inilah yang disebut “padi yang kosong”. Malai yang terlanjur rapuh karena sudah terkena hama, tidak bisa berbuat apa-apa karena dirinya sangat lemah, ia menjadi sangat ringan sehingga semakin mudah bergoyang kemanapun angin meniupnya karena butir padi tidak terisi sepenuhnya, kemudian malai tersebut jatuh ke tanah karena sudah terlalu lelah untuk digoyangkan angin dan sudah terlalu rapuh untuk menopang dirinya sendiri (butir padi yang hanya terisi sebagian).


          Kesombongan itu juga sama seperti hama atau penyakit di dalam diri kita. Kita menjadi malai yang “belum terisi penuh” karena dihambat oleh kesombongan yang kita miliki. Percaya atau tidak, orang yang tinggi hati dan merasa dirinya hebat pasti memiliki kecederungan untuk menjadi pribadi yang egosentris (menjadikan diri sendiri sebagai titik pusat pemikiran atau perbuatan; berpusat pada diri sendiri, menilai segalanya dari sudut pandang diri sendiri). Pribadi seperti inilah yang cenderung untuk menutup diri, tidak mau mendengar dan belajar dari individu yang lain karena sudah merasa “Saya ini orang hebat, siapa kamu sampai berhak untuk menasihati saya ?” sehingga ia tidak mengalami perkembangan di dalam hidupnya karena tidak bersedia untuk mempelajari hal-hal baru. Padahal sesungguhnya, manusia tidak ada yang sempurna (no body is perfect) dan hak untuk menasihati atau mengingatkan pun tidak terbatas oleh usia atau jabatan, asalkan nasihat tersebut diberikan dengan maksud untuk saling membangun dan disampaikan dengan cara yang sopan, karena setiap kita sesungguhnya diwajibkan untuk mengingatkan individu lain (1 Tesalonika 5 : 11). Dan meskipun kita menyombongkan diri karena telah menjadi pribadi yang berhasil dalam sebuah bidang keahlian, kita belum tentu berhasil dalam bidang keahlian lain. Karena setiap individu dikaruniai talenta yang berbeda dari Tuhan (Roma 12 : 6 – 8) sehingga tidak ada satupun individu yang sanggup menyelesaikan berbagai perkara di dunia ini tanpa bantuan individu lain yang memang ahli di dalam bidang lainnya. Seperti halnya anggota tubuh yang terletak di tempatnya masing-masing dengan fungsi spesialisasi yang berbeda dari setiap bagian namun tetap saling bekerjasama (1 Korintus 12 : 18).


          Ketika tanaman padi memiliki malai yang belum terisi penuh, itu artinya masih ada padi yang kosong sehingga malai jauh lebih ringan dari ukuran normal. Kita pun demikian, jika “hama” kesombongan terlanjur menggerogoti diri kita, sesungguhnya kita belum “terisi penuh” sehingga kita mudah “digoyangkan angin”. Jika kita menyombongkan diri kita dan menganggap bahwa kita adalah pribadi yang hebat dan kuat, sesungguhnya kita sedang dalam kondisi yang sebaliknya. Karena malai yang masih kosong akan mudah tegak berdiri (menjauhi tanah) akibat ditiup angin, meski hanya semilir angin kecil. Ya, kita kalah oleh semilir angin yang sangat kecil karena pada kenyataannya kita masih sangat ringan dan lemah. Kita menjadi malai yang sangat ringan dan mudah tertiup angin, diombang-ambingkan oleh Keberhasilan Sementara yang telah kita raih. Kemudian setelah beberapa saat, angin yang membuat kita “melayang” pun membuat kita jatuh, malai akan patah pada waktunya ketika ia sudah terlalu sering diterpa angin karena kondisinya sangat rapuh setelah diserang hama. Kita pun demikian, ketika kita terlalu sibuk “diterbangkan angin” (menyombongkan kemampuan kita atau berbagai hal yang kita miliki di dunia ini), sesungguhnya itu hanya sementara. Akan tiba waktunya kita akan jatuh, kembali ke tanah dan melihat realita yang ada bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki kekuatan yang patut untuk kita banggakan, menyadari kondisi bahwa kita tidak terlalu kuat untuk menopang diri kita sendiri karena pada kenyataannya kita hanyalah manusia yang lemah.


          Setiap kita pun (secara sadar ataupun tidak sadar) pernah menjadi “padi yang kosong” karena “hama” kesombongan membuat malai (iman) kita menjadi rapuh. Dan pengajaran dalam Lukas 14 : 11 (“Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan”) menjadi salah satu realitas hidup yang sering kita temukan. Hal ini pun sudah dijelaskan secara eksplisit di dalam Amsal 11 : 2 (“Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati”); Amsal 16 : 18 – 19 (“Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan. Lebih baik merendahkan diri dengan orang yang rendah hati dari pada membagi rampasan dengan orang congkak”); Amsal 18 : 12 (“Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan”); Amsal 21 : 4 (“Mata yang congkak dan hati yang sombong, yang menjadi pelita orang fasik, adalah dosa”); karena Allah sendiri pun sesungguhnya membenci kesombongan atau kecongkakan seperti yang tercantum dalam Amsal 6 : 16 – 19 (“Enam perkara ini yang dibenci TUHAN, bahkan, tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya: mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara”).


          Ingatlah bahwa kita adalah manusia yang berasal dari debu tanah (Kejadian 2 : 7) yang kemudian akan kembali menjadi debu tanah jika waktunya tiba (Pengkhotbah 12 : 7), dan Tuhan telah menciptakan kita seturut dengan gambaran-Nya (Kejadian 1 : 7) agar kita mengusahakan (memanfaatkan sekaligus menjaga kesinambungan hidup) tanah yang telah Tuhan berikan (Kejadian 2 : 5; Mazmur 115 : 16). Sesungguhnya segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan (Mazmur 24 : 1; 1 Korintus 10 : 26; Keluaran 19 : 5), termasuk kita manusia adalah milik Allah (2 Timotius 3 : 17). Sehingga apapun yang kita miliki di dunia ini sesungguhnya adalah milik Tuhan yang dititipkan secara sementara di hidup kita. Meskipun kita merasa bahwa hidup kita akan sangat panjang jika dijalani (sampai puluhan tahun) dan kita memiliki banyak hal selama kita hidup, akan tetapi kita tidak bisa memprediksi berapa kali kita akan terjatuh, baik keterjatuhan sementara (sebagai tanda bahwa kita harus introspeksi diri dan kembali belajar menjadi pribadi yang lebih baik lagi) atau keterjatuhan selamanya (sebagai tanda bahwa perjuangan hidup kita di dunia ini sudah selesai).


          Kita dituntut untuk selalu rendah hati karena Tuhan Yesus sendiri telah memberikan contoh yang demikian. Seperti yang kita ketahui, Yesus adalah Anak Allah yang Kudus karena tidak berasal dari Proses Penciptaan Biologis (Matius 1 : 18). Yesus merendahkan diri dari posisi Anak Allah menjadi posisi manusia (Filipi 2 : 8 – 9) dan Ia pun mengajak manusia agar belajar kepada-Nya agar selalu rendah hati (Matius 11 : 29). Dengan demikian manusia sesungguhnya tidak patut untuk bermegah di dalam dirinya sendiri, tetapi hendaklah manusia bermegah di dalam Tuhan (1 Korintus 1 : 29 – 31; Yeremia 9 : 23 – 24). Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya (1 Petrus 5 : 6).


Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.

Jumat, 15 April 2016

Your Present is Always A PRESENT


          Ide tulisan ini berawal dari sebuah peristiwa di hari Sabtu, 9 April 2016. Ketika saya sedang mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah, tanpa diberikan aba-aba hampir seluruh teman-teman saya di ruangan itu menyanyikan lagu “Happy Birthday”. Saya terkejut dan melihat ke belakang ruangan, saya pikir ada salah satu dari teman kami yang sedang berulang tahun. Namun saya tidak melihat seorang pun teman kami yang sedang dikerumuni sebagai tanda perayaan. Kemudian saya kembali membereskan perlengkapan saya dan seketika itu juga seorang dari mereka maju ke depan kemudian memberikan bingkisan berukuran sedang dan berkata “Ini dari kita semua, maaf ya kalau terlambat kasihnya, semoga lo suka”. Seketika itu juga saya merasa terharu, ingin menangis tapi malu. Ada dua barang dan satu kartu ucapan yang ditulis dan ditandatangani oleh 18 orang, ingin saya baca tapi takut banjir air mata. Kemudian saya membungkusnya kembali agar saya bisa “membereskannya” di rumah. Selama ini saya memang “melayani” mereka tanpa meminta balasan sedikitpun. Meski terkadang saya merasa lelah, namun saya tidak boleh mengeluh karena saya tahu bahwa itu adalah tanggung jawab saya sebagai Pemimpin Kelompok yang mereka tunjuk dan mereka percayakan kepada saya.


          Ketika dalam perjalanan pulang, saya pun berpikir dan bergumam dalam hati, “Mereka baik banget ya ? Perasaan kemaren salah satu dari mereka yang baru pulang dari negeri seberang udah kasih oleh-oleh ke gue. Terus sekarang dapet kado ultah lagi. Meski udah lewat 2 minggu tapi mereka niat buat kasih loh. Kayaknya apa yang gue lakukan ke mereka standart aja deh, gak berlebihan, tapi kenapa mereka bales budinya begitu banget ?”. Karena hal itu, saya pun menjadi flash back ke belakang, pada tahun ini saya mendapatkan tiga hadiah ulang tahun. Pada awal Maret saya mendapatkan sepatu bahan dari Abang saya, seminggu setelah Hari H saya mendapatkan tas dari kekasih saya, dan seminggu setelahnya pun mendapatkan dompet bermerk MC berwarna hijau tosca beserta kemeja wanita dari teman-teman saya tersebut. Ini adalah tahun dimana saya mendapatkan banyak hadiah ulang tahun, karena biasanya saya tidak terlalu heboh ketika menjalani hari ulang tahun dan saya tidak pernah menuntut hadiah ulang tahun karena saya tahu bahwa setiap orang memiliki kebutuhan yang tidak boleh saya “jarah”. Mungkin ketika saya menuntut untuk diberikan sesuatu dari orang lain kemudian pada saat yang sama ternyata orang tersebut sedang membutuhkan uang untuk hal yang lebih penting. Who knows ? Tidak berhenti sampai di situ, saya pun semakin flash back ke belakang, mengingat semua hadiah ulang tahun yang telah diberikan oleh keluarga, sahabat dan teman-teman terkasih.


          Pada tahun 2007 ketika saya mengadakan pesta ulang tahun di rumah yang mengundang beberapa teman gereja, saya mendapatkan sebuah tas bahan berwarna pink dimana ada boneka kucing berwarna hitam di depannya. Sampai saat ini tas tersebut masih ada dan masih saya gunakan. Pada tahun 2010 saya mendapatkan sebuah hand phone bermerk CB82B berwarna putih hijau dari teman satu genk di kampus Cawang karena hand phone saya yang sebelumnya bermerk SE mengalami keretakan fatal pada LCDnya. Ayah saya pun sampai heran mengapa hadiah yang diberikan oleh sekitar 6 orang tersebut sangat “serius” mengingat status mereka hanyalah mahasiswi yang uang jajannya pun terbatas, namun itulah kebaikan mereka yang luar biasa. Mungkin mereka juga memahami bahwa saya membutuhkan sarana untuk menyebarkan informasi sebagai Ketua Kelompok di tempat tersebut, karena itu mereka memberikan hadiah yang luar biasa “wah”. Namun sayang hand phone tersebut sudah dipensiunkan pada tahun 2013 yang lalu karena kerusakan mesin setelah mengabdi selama 3 tahun. Pada tahun 2011 saya mendapatkan hadiah sebuah Notebook berwarna merah bermerk HP dari Abang saya, hingga saat ini Notebook tersebut masih saya gunakan sebagai sarana untuk melihat dan memahami isi dunia. Pada tahun 2012 saya mendapatkan sebuah dompet berwarna pink bermerk MT dari sahabat kampus saya sekitar 3 orang, dan dompet itu baru saja saya pensiunkan dalam masa tugasnya yang sudah 3 tahun mengabdi sebagai benda yang selalu saya bawa kemanapun saya pergi. Pada tahun 2013 saya mendapatkan hand phone bermerk BB berwarna putih dari Abang saya, dan hingga sekarang saya masih menggunakannya sebagai alat komunikasi yang utama, termasuk sebagai sarana dalam menyebarkan informasi sebagai Mantan Ketua Kelompok yang dirasa memiliki jaringan luas karena masih membina relasi dengan teman lainnya, serta sebagai Ketua Kelompok di lokasi yang baru. Di tahun yang sama saya mendapatkan sebuah karikatur lucu yang diberikan oleh sahabat saya sekitar 3 orang, dan hingga sekarang karikatur tersebut masih saya simpan dengan rapih. Di tahun 2014 saya mendapatkan sebuah hand phone bermerk SF berwarna hitam dari seorang sahabat yang tidak ada momen apapun namun tetap memberikan hadiah. Di tahun 2015 saya mendapatkan jam tangan dari Kakak saya, namun jarang saya gunakan karena lebih praktis menggunakan jam di hand phone. Dan sesungguhnya masih banyak lagi pemberian yang saya dapatkan, tidak terbatas pada barang namun juga uang, bahkan waktu, pikiran dan tenaga yang telah mereka berikan kepada saya. Terlebih dari keluarga inti saya yang sudah memberikan banyak hal kepada saya, mulai dari barang, uang, pendidikan moral dan agama, rasa aman dan kekeluargaan. Semua hal yang tidak akan bisa saya setarakan dengan nilai rupiah atau dollar sekalipun.


          Di sini saya tidak bermaksud untuk menyombongkan diri bahwa saya mendapatkan banyak hadiah karena saya adalah pribadi yang dicintai oleh orang banyak. Saya pun menyadari bahwa saya bukanlah seorang bintang yang dipuja oleh banyak orang, bukan pemimpin yang disegani oleh semua bangsa, bukan pribadi yang handal dalam membina hubungan dengan banyak orang. Saya hanyalah pribadi yang datang dari keluarga “menengah ke bawah” yang sadar diri akan status yang tidak membanggakan, pribadi yang mobilitasnya terbatas karena mengemban tugas kekeluargaan, pribadi yang hanya mahir dalam membina hubungan secara privacy dengan beberapa orang saja.


          Saya pun teringat pada perkataan bijak yang mengatakan bahwa “Kamu akan bersyukur ketika kamu menghitung semua yang telah KAMU DAPATKAN dari orang lain, dan kamu akan mengeluh ketika kamu menghitung semua yang telah KAMU BERIKAN kepada orang lain”. Hal ini juga senada dengan lagu Rohani Kristen yang liriknya “Berkat Tuhan mari hitunglah, kau ‘kan kagum oleh kasih-Nya. Berkat Tuhan mari hitunglah, kau niscaya kagum oleh kasih-Nya”. Memang benar adanya prinsip tersebut. Saya juga merasa bersyukur bahwa setiap hadiah dari keluarga, sahabat, dan teman saya tersebut sesungguhnya bukan hadiah yang saya minta secara spesifik kepada mereka, bahkan saya sama sekali tidak memberikan kode tertentu kepada mereka bahwa saya ingin diberikan hadiah. Yang jelas, saya selalu mendapatkan apa yang saya butuhkan, tanpa saya minta kepada mereka bahkan tanpa saya doakan kepada Tuhan. Semua hadiah pemberian tersebut mengalir begitu saja dari tahun ke tahun, tepat seperti yang tertulis dalam Alkitab, “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu !” (Mazmur 34:9a).


          Namun sebenarnya ada fakta yang kita temui ketika manusia memberikan hadiah, ada beberapa hal yang bertolak belakang dengan kondisi ketika Tuhan memberikan hadiah. Ketika manusia memberikan suatu hadiah, maka ia memberikannya di saat tertentu (seperti saat ulang tahun, menikah, kenaikan jabatan, atau bahkan dalam kondisi “ada udang di balik batu”), manusia akan memberikan sesuatu kepada orang lain yang dekat dengan dia atau orang yang sudah sangat baik kepadanya, manusia akan mempertimbangkan segala sesuatu sebelum memberikan hadiah (mulai dari jumlah uang yang harus dikeluarkan, waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan hadiah, jenis dan jumlah barang atau jasa yang akan diberikan, dan masih banyak lagi). Namun Tuhan tidak melihat itu semua, bahkan Ia tetap memberikan hadiah kepada manusia meski dalam kondisi hujan badai sekalipun. Ya, pertolongan yang datang dari pada-Nya merupakan salah satu hadiah yang Tuhan berikan. Namun tidak hanya itu saja, Ia memberikan lebih banyak dari yang kita lihat atau perhitungkan. Bahkan secara tidak sadar kita terkadang tidak bersyukur atas oksigen yang kita hirup setiap detik ketika bernafas, setiap udara pagi yang kita rasakan, setiap kehangatan sinar matahari yang kita nikmati, setiap makanan dan minuman yang kita kecap, setiap kesehatan yang kita peroleh, setiap kebutuhan (Primer, Sekunder, Tersier) yang kita dapatkan, setiap keberhasilan yang kita raih, setiap “virus” senyum dan tawa yang kita dapatkan atau “tularkan” kepada orang lain, setiap Guru Kehidupan (seperti keluarga, sahabat, teman, orang sekitar, bahkan musuh) yang kita temui, bahkan setiap masalah yang kita hadapi (karena pada dasarnya setiap masalah diciptakan untuk membentuk kedewasaan kita). Terkadang kita merasa bahwa hal-hal tersebut adalah aktivitas yang hambar, tawar, datar karena menjadi kebiasaan sehari-hari yang terasa konstan untuk dijalani. Kita pun mulai tidak menyadari bahwa sesungguhnya setiap saat yang kita lalui adalah hadiah (every present is always a PRESENT). Seperti ada tertulis dalam Alkitab “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi, besar kesetiaan-Mu” (Ratapan 3:22-23).


          Kita bahkan tidak menyadari bahwa pada saat-saat tertentu bisa saja nyawa kita terancam dan saat itu juga kita pulang ke Rumah Bapa di Surga, karena kita terlalu berfokus pada aktivitas kita yang terasa monoton saat dilalui sampai tidak sadar bahwa di belakang sana maut batal menjemput kita. Hal ini saya alami saat menyeberangi rel kereta di dekat rumah saya. Sebagai informasi tambahan, di satu sisi, sekitar 50 meter dari Pintu Penyeberangan Orang, terdapat Pintu Rel Kerta Api yang memiliki Palang Penjaga beserta operatornya. Namun di sisi yang lain, sekitar 50 meter dari titik yang sama, rel kereta itu berbelok ke satu sisi sehingga kita sulit untuk melihat datangnya kereta dari arah sana karena Gerbong Besi tertutup oleh pagar rel kereta yang berbentuk menikung. Sekitar dua kali saya mengalami hal ini ketika saya ingin menyeberang rel kereta namun ternyata secara tidak sadar kereta tersebut sudah sangat dekat dengan saya. Saya mengidentifikasi bahwa jika tidak ada kendaraan yang lewat maka Pintu Rel Kereta sudah ditutup yang bermakna bahwa akan ada kereta yang lewat. Saat itu saya melihat bahwa masih banyak kendaraan yang lalu lalang menyeberang rel kereta, saya pikir tidak ada kereta yang akan lewat. Namun saat di tengah penyeberangan rel kereta, saya melihat ke arah yang sebaliknya dan melihat Gerbong Besi sedang menunjukkan “batang hidungnya” di tikungan tersebut, kemudian saya pun mempercepat langkah kaki saya (seperti yang kita ketahui bahwa kecepatan kereta tidak bisa kita hitung secara kasat mata, tiba-tiba sudah dekat dengan kita).


          Di kesempatan lainnya, saya baru sadar bahwa di arah tikungan tersebut ternyata ada kereta yang sedang lewat ketika saya sudah sampai di seberang rel kereta, namun yang mengejutkan bahwa saat itu Gerbong Besi tersebut baru saja berada di belakang saya, mungkin rentang waktu 5 detik antara saya sudah tiba di seberang dan saat itu juga kereta sudah ada di titik tempat saya berdiri. Ditambah lagi ada cerita mistis bahwa beberapa korban sudah merenggang nyawa di sana, entah karena putus asa dalam menghadapi kehidupan atau memang sudah waktunya kembali ke Pangkuan Bapa. Karena itu biasanya para korban tersebut “memanggil” mereka yang masih hidup untuk “menyusul” ke kehidupan mereka. Namun saya selalu bersyukur hingga detik ini saya masih diselamatkan, kembali melihat dengan mata kepala sendiri dan dengan seluruh kesadaran bahwa Hadiah Terbesar dari Tuhan Yesus bukan hanya pengorbanan-Nya di kayu salib untuk menebus dosa manusia. Tetapi hadiah itupun terus menerus menghampiri kehidupan saya baik melalui hadiah yang diberikan oleh orang lain, keindahan hidup yang saya dapatkan, dan yang terutama ialah penyelamatan yang terus menerus Ia lakukan yang telah membuktikan bahwa Dia tetap menjadi Juru Selamat saya di dunia sampai ke Surga kelak.


          Saya juga bersyukur bahwa di dalam hidup ini saya dikelilingi oleh banyak orang baik karena prinsip hidup yang saya buat dan saya yakini bahwa “Orang baik pasti dipertemukan dengan orang baik. Karena pada dasarnya setiap orang adalah baik, diberikan hati nurani yang sama oleh Tuhan dan sama-sama diciptakan serupa dengan gambaran-Nya. Ketika orang baik itu tergoda oleh iblis dan menjadi orang jahat, itu bukanlah kewajiban saya untuk membalas kejahatannya, karena saya bukan Tuhan ataupun malaikat yang bisa mengembalikan hukuman tersebut”. Saya juga meyakini salah satu ajaran di Alkitab, “Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Galatia 6:7b). Oleh sebab itu hadiah yang saya dapatkan mungkin saja buah dari kebaikan yang saya lakukan, namun jika dikurangi dengan kesalahan yang saya perbuat mungkin saja secara perhitungan manusia bahwa saya tidak layak mendapatkan itu semua. Tetapi tidak untuk perhitungan Tuhan, Dia selalu memberikan apa yang saya butuhkan tepat pada waktu-Nya, bahkan sebelum saya memintanya. Oleh sebab itu saya pun patut bersyukur atas semua hadiah yang telah Tuhan berikan selama saya hidup, baik hadiah yang sudah saya sadari bahwa saya telah menerimanya, maupun hadiah yang belum saya sadari bahwa saya sudah memilikinya sejak lama. Maka “Bersyukurlah kepada Tuhan sebab Ia baik ! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya” (Mazmur 118:1) dan “Pujilah Tuhan, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya !” (Mazmur 103:2).


Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.