Tulisan
ini adalah sebuah Janji Pribadi terhadap diri saya sendiri, ketika kondisi
psikis saya sudah mulai normal pasca berpulangnya Ibu saya ke pangkuan-Nya,
maka saya akan mempersembahkan satu tulisan lagi untuk Dia. Saya melihat betapa
besar kebaikan Tuhan di dalam hidup saya, terkhusus saat Ibu saya meninggal
dunia. Saya merasakan bahwa Tuhan sudah mengatur semuanya dengan sangat rapih
dan lembut, mempertemukan saya dengan berbagai pribadi yang tepat, membuat
perencanaan yang bagus, dan mempersiapkan semuanya. Meskipun di beberapa saat
tertentu saya merasa drop dan
seharusnya tidak sanggup menjalaninya sendiri, tetapi saya dikuatkan oleh Tuhan
untuk melewati semuanya.
Seminggu
sebelum Ibu saya meninggal, saya mengalami mimpi buruk. Di dalam mimpi
tersebut, saya sedang berada di rumah tetangga saya yang letaknya tepat di
depan rumah saya dan berada agak tinggi jika dibandingkan dengan rumah saya
(padahal di dunia nyata, rumah kami semuanya memiliki tinggi yang sama persis).
Saat itu saya melihat Ibu saya berada di dalam rumah dan Ayah saya berada di
belakangnya, mereka berdua sedang duduk di dalam rumah. Kemudian ada angin
kencang yang datang dari arah kanan rumah saya dan Ibu saya berteriak memanggil
saya untuk meminta tolong dengan rasa panik, entah kenapa saat itu Ayah saya
tetap tenang. Saya tidak sempat pulang ke rumah karena sedetik kemudian angin
kencang itu menyapu rumah saya dari arah kanan ke kiri. Namun yang habis
terbawa angin hanyalah atap rumah yang berada di atas teras rumah saya yang
terlihat rapuh (karena terbuat dari seng yang ditutupi oleh jerami), rumah saya
tetaplah utuh dan kokoh. Ketika saya terbangun, saya pun langsung mencari tahu
makna mimpi tersebut melalui search
engine di telepon genggam saya. Maknanya sangatlah membuat saya shock, namun saya berusaha untuk tidak
mempercayai mimpi tersebut, karena semestinya saya harus percaya kepada Sang
Pencipta dari pada percaya kepada Bunga Tidur. Mimpi itu hadir ketika Ibu saya
mengalami keluhan terakhirnya yang tidak saya sadari bahwa “waktunya sudah
dekat”. Pada saat tertentu, sekitar dua kali dalam sehari ia merasakan
kedinginan yang amat sangat, bahkan tidak ampuh untuk diberikan dua buah
selimut tebal dan bantal panas untuk mengkompresnya. Di dalam kedinginan tersebut,
ia juga mengalami tremor (badan
gemetar) selama satu jam. Setelah itu ia tenang dan bisa tertidur pulas, bahkan
sampai berkeringat dan mengipasi dirinya sendiri karena terlalu panas. Hal ini
terjadi sekitar empat hari lamanya, Ayah saya sangat setia menjaga dan
merawatnya. Sementara saya terlalu fokus kepada deadline Tugas Akhir saya dan tidak terlalu memperhatikan gejala
yang muncul. Namun demikian, Ayah saya tetap berkoordinasi dengan Kakak saya
sebagai Petugas Medis (Tenaga Terdidik).
Kamis,
17 November 2016, pukul 15.00 WIB. Kami membawa Ibu saya untuk menginap di
rumah Kakak saya agar dirawat lebih intensif dari pada di rumah kami (karena
kami hanyalah Tenaga Terlatih dan bukan Tenaga Terdidik). Kakak saya mulai
menginfusnya kembali, seperti biasa yang ia lakukan di rumah kami. Malam hari,
Ibu saya mengalami gejala yang sama, tremor
itu membuat badannya tidak tenang sehingga infus yang dipasangkan menjadi
terlepas, sama seperti halnya ketika ia diinfus di rumah kami. Ia pun mengalami
kondisi pernapasan yang sesak dan diberikan pernapasan oksigen oleh Kakak saya
melalui tabung oksigen yang dapat dipindahkan. Namun rasa sesak itu masih
bertahan hingga malam hari, gejalanya bertambah, tidak seperti di rumah kami ia
hanya merasakan kedinginan dan tremor.
Tepat pukul 00.00 WIB, kami (saya, Kakak saya beserta dengan suaminya)
membawanya ke Rumah Sakit Swasta yang berlokasi di daerah Cempaka Putih. Rumah
sakit tersebut adalah rumah sakit langganan Ibu saya, karena ia memang hampir
sekali setahun menginap di sana, dan kami sudah terbiasa membawanya ke sana
pada waktu tengah malam karena kondisi yang mendesak. Namun kali ini ia tidak
menginap di kamar yang biasa, Dokter Jaga di Ruangan IGD (Instalasi Gawat
Darurat) menginstruksikan Kakak saya untuk membawa Ibu saya agar dirawat di
Ruang HCU (High Care Unit) lantai 6
karena dokter tersebut melihat kondisi Ibu saya yang terlihat ngos-ngosan. Karena di Ruangan HCU
memiliki alat khusus untuk mengontrol kondisi pasien, mendeteksi gerakan
jantung pasien serta mengalirkan oksigen untuk membantu pernapasannya. Meskipun
kami sudah mengurus administrasi untuk Ruangan Rawat Inap biasa, namun akhirnya
kami mengurus administrasi kembali dan merubahnya ke Ruang HCU. Setelah kami
mengantarkannya ke Ruang HCU tersebut, Kakak saya mengajak saya untuk menginap
di rumahnya saja supaya saya tidak menjadi sakit. Karena Ruang Tunggu HCU
sangatlah dingin dan kami tidak membawa peralatan menginap yang sanggup untuk
menahan dinginnya ruangan tersebut. Lagi pula keluarga pasien tidak diperbolehkan
untuk tidur satu kamar dengan pasien karena sudah ada para perawat yang
menjaganya di Ruang HCU. Sebagai informasi tambahan, suhu Ruangan Rawat Inap
jauh lebih “manusiawi” jika dibandingkan dengan suhu Ruang Tunggu HCU tersebut.
Jumat,
18 November 2016, pukul 09.00 WIB. Saya sampai di Ruang HCU dan beberapa
perawat beserta keluarga pasien di Ruang Tunggu langsung mengatakan bahwa sejak
semalam Ibu saya memanggil-manggil nama saya, para perawat juga mencari
keluarga pasien dari Ibu saya untuk melaporkan bahwa baru saja Ibu saya muntah
dan mereka meminta kami untuk mempersiapkan tissue dan pampers khusus untuk Ibu
saya. Akhirnya saya masuk ke Ruangan HCU dan menjaganya sebentar. Karena saya
tidak enak menjadi satu-satunya pihak keluarga pasien di dalam Ruang HCU, saya
meminta izin kepada Ibu saya agar saya menunggu di luar saja (karena semua
keluarga pasien memang menunggu di luar) tetapi ia menyuruh saya untuk tetap
berada di dalam, hanya keluarga Ibu saya yang terasa diberikan “status khusus”
karena diperbolehkan untuk berada di dalam Ruangan HCU. Siang hari, saya
memberikannya air putih hangat beserta roti sobek (tanpa selai) sebagai
makanannya, karena tadi pagi ia muntah dan tidak mau minum susu yang diberikan
oleh Perawat Ruang HCU. Hari itu ia mengeluhkan badannya pegal-pegal dan itu
membuatnya ingin terus bergerak dengan kondisi pernapasan yang masih ngos-ngosan. Berkali-kali ia meminta
saya agar membantunya untuk duduk, kemudian tidur (dengan posisi badannya
miring ke arah kiri), kemudian ingin duduk lagi, kemudian tidur lagi, kemudian
ia meminta untuk dipijat badannya, begitu seterusnya. Ia kembali mengalami
kondisi badan yang mengigil, tetapi tidak mengalami tremor seperti hari-hari kemarin. Saya menunggunya sambil
mengerjakan Tugas Akhir saya di notebook
yang saya bawa sejak hari Kamis pada saat ke rumah Kakak saya. Namun karena
melakukan double job saya merasa
hasilnya tidak maksimal dan saya memutuskan untuk menjaga Ibu saya saja. Saya
menunggu Kakak saya datang membawa karet kompresan air panas untuk mengurangi
rasa dingin yang dialami Ibu saya. Saat Kakak saya datang, ia memimpin Ibu saya
untuk berdoa. Kakak saya berdoa sambil menangis karena ia tidak pernah melihat
kondisi Ibu saya yang sesak nafas di Ruangan HCU seperti demikian. Saya pun
ikut menitikkan air mata namun berpura-pura tegar dengan melihat-lihat ke arah
lain sebagai pengalihan pikiran. Di sisi lain, saya mengingat dua deadline saya pada esok hari dan dengan
keegoisan serta rasa panik yang teramat sangat, saya memutuskan untuk pulang ke
rumah pukul 16.00 WIB untuk melanjutkan Tugas Akhir saya yang harus dilaporkan
Sabtu besok dan mempersiapkan diri untuk melakukan presentasi di salah satu
Mata Kuliah yang saya ikuti di Semester Terakhir tersebut.
Saya
sampai di rumah sekitar pukul 17.00 WIB dan langsung membeli lauk untuk makan
malam. Memang dalam kondisi seperti ini saya tidak sempat lagi untuk memasak
seperti hari-hari biasanya. Setelah makan dan beristirahat sejenak, tepat pukul
18.30 WIB, Abang saya kembali ke rumah sakit dengan membawa berbagai
perlengkapan untuk menginap di rumah sakit, sehingga saya menjadi seorang diri
di rumah. Saat itu kondisi saya memang sangat tenang dan fokus saat mengerjakan
Tugas Akhir saya di rumah. Namun hal itu hanya berlaku selama 15 menit. Selanjutnya,
tanpa sadar tiba-tiba saya menangis, saya rindu dengan Ibu saya dan saya ingin
ia kembali ke rumah kami. Hal ini bukan yang pertama kalinya, karena di masa
lampau saya pun pernah menangis di rumah saat sendirian karena saya rindu
dengan kondisi Ibu saya yang semestinya berada di rumah, bukan di rumah sakit.
Setelah saya berdoa dengan khusyuk (sambil menangis) untuk kesembuhan Ibu saya,
sekitar pukul 19.30 WIB Ayah saya melaporkan di Group What’s App kami bahwa Ibu
saya dipindahkan ke Ruang ICU (Intensive
Care Unit) dan saya beserta Abang saya harus segera ke sana karena kondisi
Ibu saya sangat kritis. Jantung saya langsung berdetak cepat, saya merasa
bersalah ketika pukul 16.00 WIB tadi meninggalkannya dan saya takut ini adalah
“waktu-Nya” karena Ayah saya mengistruksikan agar kami semua berkumpul di rumah
sakit karena kondisi Ibu saya sedang kritis. Saya yang sedang sendirian di
rumah tidak memiliki pilihan lain, secepat kilat saya menelepon “teman” saya
sambil mematikan komputer dan bersiap kembali ke rumah sakit. Pria Baik itu pun
segera merespon saya dan langsung menuju ke rumah saya. Dalam perjalanan ke
rumah sakit, saya hanya bisa menangis di atas motor yang melaju cepat.
Sesampainya
di rumah sakit, Jam Besuk Pasien memang sudah habis dan Ruangan ICU sudah
ditutup, namun Kakak saya memang sudah meminta izin kepada dokter dan perawat
bahwa masih ada satu anaknya yang belum hadir dan harus melihat Ibu saya.
Dengan diantarkan oleh Satpam Ruang ICU, saya pun berjalan ke dalam Ruang ICU
dengan kondisi tubuh yang gemetar, wajah yang tegang, suasana hati yang cemas,
kondisi jiwa yang shock, dan perasaan
yang berkecamuk karena baru kali ini ada Keluarga Inti saya dirawat di Ruang
ICU dengan kondisi yang sangat kritis. Akhirnya saya melihat Ibu saya tertidur
pulas di atas kasur, dengan kondisi dipenuhi berbagai selang dan kabel (mulai
dari infus yang bercabang, dua buah mesin pendeteksi jantung beserta ventilator
sebagai bantuan pernapasan). Saya pun berdoa sambil menangis, tangan kiri saya
memegang tangan kirinya dan tangan kanan saya memegang dahinya. Saya ungkapkan
padanya bahwa ia harus bertahan, ia harus ikut serta memberikan Ulos Hela saat
saya menikah nanti (sebagai pralambang bahwa orang tua dari pihak keluarga
wanita menyerahkan putrinya kepada pihak keluarga pria). Ia juga harus melihat
saya diwisuda untuk kedua kalinya karena kali ini ia yang menyekolahkan saya
dengan uang tabungannya (yang diprovokasi oleh Kakak saya agar saya melanjutkan
studi karena nilai akademik saya dianggap baik). Saya ingin ia melihat tuaian
yang telah ia tabur, melihat Abang saya dan saya menikah, melihat semua cucu
dari kami anak-anaknya. Setelah selesai berdoa, saya keluar Ruangan ICU karena
waktu yang diberikan hanya 10 menit. Di luar Ruang ICU kami semua berkumpul membentuk
lingkaran dan berdoa secara bergantian. Kami tidak melakukan Doa Penyerahan,
tapi kami melakukan Doa Permohonan. Kami mengungkapkan harapan kami agar Ibu
kami dapat sehat kembali dan pulang ke rumah serta melakukan aktifitasnya
sehari-hari. Setelah itu kami semua pulang dan Kakak saya yang menjaga malam
itu agar ia segera mengetahui perkembangan kesehatan Ibu saya. Dengan statusnya
yang sama dengan para dokter, keluarga kami lagi-lagi mendapatkan status yang
“lumayan”, karena Kakak saya lebih leluasa masuk ke ruangan khusus untuk
berdiskusi dengan dokter yang merawat Ibu saya. Saat kami ingin pulang, Kakak
saya pun dipanggil ke dalam Ruang ICU. Saya sangat khawatir ada kabar buruk
yang kami terima, kami khawatir ini “waktu-Nya”. Wajah saya kembali tegang,
jantung saya berpacu dengan sangat cepat, saya khawatir akan kehilangan Ibu
saya karena saya baru saja melihat ia tertidur dengan ventilator dan itu semua
membuat saya shock. Namun Tuhan masih
memberikan Kesempatan Hidup Kedua bagi Ibu saya, kabar duka tidak datang pada
malam itu.
Setelah
berdoa bersama dan kondisi menjadi lebih tenang, kami pulang ke rumah. Malam
pertama di Ruang ICU, Kakak saya yang menjaga Ibu saya agar pihak keluarga
lebih quick response dalam menanggapi
instruksi dari pihak dokter, Abang Pertama saya ternyata juga menginap di sana.
Dalam perjalanan pulang, Ayah saya bercerita bahwa pada sekitar pukul 19.00
WIB, Ibu saya sempat berhenti bernapas, ia sempat “hilang” karena jantungnya
berhenti memompa dan paru-parunya berhenti bekerja. Namun karena otaknya masih
bekerja, maka otak tersebut masih merespon ventilator yang masuk ke dalam
paru-parunya dan kembali menginstruksikan jantung beserta paru-paru agar
kembali bekerja. Kami bersyukur karena Tuhan sudah menciptakan salah satu bagian
fatal yang sangat kecil namun berperan sangat besar tersebut, sehingga kami
masih bisa merasakan hidup bersama dengan Ibu kami. Kami bersyukur karena Tuhan
sudah menyediakan dokter dan perawat yang siap siaga untuk mengambil tindakan
memasukkan ventilator dan memindahkan Ibu saya ke Ruang ICU yang hanya satu
lantai di bawah Ruang HCU. Kami bersyukur karena Tuhan sudah menyediakan
beberapa keluarga yang stand by di
rumah sakit untuk menjadi saksi bahwa Ibu saya mendapatkan Nyawa Kedua yang
belum tentu didapatkan oleh semua pasien. Setiap saya berdoa di sebelah kirinya
saat Jam Besuk di Ruang ICU pun, saya selalu menorehkan lambang salib di
dahinya. Karena saya bersyukur otaknya masih bekerja untuk merespon ventilator
yang masuk, sekaligus mengingatkan beliau bahwa Tuhan selalu bekerja di dalam
setiap aspek kehidupan beliau.
Sekitar
pukul 22.00 WIB kami sampai di rumah dan saya pun berusaha melanjutkan Tugas
Akhir saya di tengah kondisi jiwa yang sangat labil. Saya tidak berhenti
menangis sambil mengetik, pikiran saya bercabang namun saya harus membuat progress pada Tugas Akhir saya. Seketika
itu juga sahabat saya yang bernama NY menelepon dan menanyakan kabar saya.
Karena dia tahu bahwa saya yang sering merawat Ibu saya sehingga hubungan
interpersonal di antara kami pasti lebih dekat. Sebagai informasi tambahan,
saya memiliki beberapa sahabat dekat di Kampus Kedua, meskipun tidak sebanyak
di Kampus Pertama. Dia adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang memiliki dua anak,
pribadi yang seumuran dengan Kakak kandung saya dan kami pun memiliki chemistry tersendiri. Ia menelepon dan
memberikan motivasi, saya pun tidak bisa menahan tangis. Dia adalah pihak
pertama di Kampus Kedua yang mendengar saya menangis tersedu-sedu, karena
selama Program Belajar Dua Tahun saya belum memiliki kesempatan untuk
menunjukkan sisi rapuh saya di depan mereka. Saya ingat apa yang NY katakan
melalui sambungan telepon :
“Yang
harus lo lakukan sekarang adalah, selama di rumah sakit lo kerjain itu Tugas
Akhir lo sambil jagain Nyokap lo. Lo bawa itu notebook punya lo, kalo ada Jam Besuk lo langsung bisa manfaatin,
lo harus temenin Nyokap lo selama Jam Besuk. Nanti kalo Tugas Akhir lo udah
selesai, lo kirim by email ke gue,
biar gue print dan kasih ke Dosen
Pembimbing lo, karena rumah gue lebih deket ke kampus dari pada lo yang harus
ke kampus. Lo gak usah pikirin punya lo kebanyakan gambar yang harus di print terus printer gue jadi rusak. Lo tenang aja, printer gue hemat tinta dan kertas itu harganya murah. Gak usah
perhitungan, gak usah ada rasa gak enakan. Pokoknya lo harus manfaatin semua
kesempatan yang ada, gue yakin lo pasti bisa. Lo gak “kosong” amat kok, gue tau
kemampuan lo. Besok lo gak usah presentasi, Bapak Dosennya pasti paham kok.
Minta kelompok lain aja yang presentasi, atau bahkan bagian lo di-back up sama temen sekelompok lo.
Pokoknya lo fokus aja jagain Nyokap lo sama kerjain Tugas Akhir lo, udah itu
aja. Semangat Win, demi Nyokap lo, manfaatin semua waktu yang ada”.
Entah
si NY memiliki feeling
tertentu atau memang dia tidak merasakan firasat apapun, yang jelas pemikiran
yang NY utarakan adalah benar, saya harus memanfaatkan semua waktu dan
kesempatan yang ada. Saya berusaha untuk menjalani dua kondisi, menenangkan
diri dari tangisan yang jarang berhenti, mendinginkan pikiran agar Tugas Akhir
saya terselesaikan. Akhirnya saya mengusahakannya sampai pukul 03.00 WIB
kemudian berdoa dan beristirahat. Seperti yang sering NY katakan kepada saya
untuk menenangkan saya, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok,
karena hari besok mepunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah
untuk sehari” (Matius 6:34). Saya bersyukur memiliki sahabat baik seperti NY,
yang menelpon saya di waktu yang tepat dan mengucapkan kata yang sangat mengena
di hati. Saya bersyukur memiliki Dosen Pembimbing yang sangat luar biasa yang
bernama Mam NS, karena beliau sangat mengerti mengenai kondisi psikis
mahasiswinya. Beliau mengatakan, “Take care of your
Mom, it is more important”, kalimat yang singkat namun sangat berarti bagi
saya. Saya juga bersyukur memiliki Dosen Pengajar yang baik dan teman satu
kelompok yang luar biasa hebat karena mereka dapat mem-back up bagian
dari presentasi saya sehingga saya bisa beristirahat di rumah dan membuat progress pada
Tugas Akhir saya agar sore hari saya kembali ke rumah sakit.
Sabtu,
19 November 2016, pukul 15.00 WIB. Saya kembali ke rumah sakit dan bertemu
dengan beberapa saudara dari pihak keluarga Ibu saya yang sedang menjenguk.
Saya pun masuk ke dalam Ruang ICU dan berbicara dengan Ibu saya. Kondisinya
sangat segar, bibirnya memerah, saya melihat kemajuan yang sangat pesat jika
dibandingkan dengan kondisi semalam. Bahkan ia bisa berbicara secara verbal,
namun kami hanya membaca gerakan bibirnya karena ia tidak bisa mengeluarkan
suara akibat terganjal ventilator. Saya tidak merasakan firasat buruk dan
kondisi hati saya mulai tenang. Namun kami sekeluarga tidak berhenti berdoa
agar Ibu kami kembali ke rumah kami dan melakukan aktivitasnya sehari-hari.
Setiap berdoa pun saya menitikkan air mata, karena saya shock merasakan kondisi yang tidak biasa seperti ini. Selama Jam
Besuk, saya berada di dalam menemani Ibu saya, bercerita mengenai apapun agar
otaknya kembali bekerja. Terkadang ia menangguk dan tersenyum, melihat kami
dengan mata yang bersinar dan tetap “berisi”. Karena selama 24 jam di Ruangan
ICU, Ibu saya hanya bisa berkomunikasi dengan pihak keluarga selama Jam Besuk,
yakni pukul 11.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB dan pukul 17.00 WIB sampai
dengan pukul 19.00 WIB. Selebihnya, ia tertidur pulas atau bahkan hanya dapat melihat ke arah atap rumah sakit dengan
posisi tidur yang terlentang.
Minggu,
20 November 2016, pukul 07.00 WIB. Saya mengikuti Ibadah Pagi bersama dengan
Ayah saya agar kami bisa langsung ke rumah sakit dan memanfaatkan semua Jam
Besuk (pukul 11.00 WIB dan pukul 17.00 WIB). Tidak disangka bahwa hari minggu
tersebut adalah Acara Ujung Taon
Parhuriaon, Parningotan di Angka Na Monding. Hari dimana seluruh Gereja
HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di dunia memperingati jemaat gereja yang
terlebih dahulu sudah meninggalkan dunia ini. Di dalam Tata Ibadah, disebutkan
beberapa informasi mengenai mereka yang sudah marujung ngolu (meninggal dunia) seperti nama lengkap, usia
terakhir, alamat rumah, dan wilayah / sektor / wijk tempat tinggal. Saat Acara Parningotanni na Monding dimulai,
semua lagu dan bacaan pun mengarah ke “Kehidupan yang Kekal Setelah Kematian”.
Jemaat diingatkan bahwa suatu saat nanti, semua manusia akan kembali kepada
Pemilik Kerajaan Sorga, hanya saja waktu-Nya yang akan berbeda. Saya tidak bisa
menahan tangis karena mengingat Ibu saya yang sedang tergeletak di Ruang ICU.
Saya bergumam di dalam hati, “Tuhan, tahun depan aku gak mau ada nama Mama di
dalam Buku Ibadah ini. Masih banyak hal yang harus kami tunggu, kasih kami
waktu lebih banyak lagi ya Tuhan”. Ya, saya hanya bisa berdoa dan memohon
kepada Tuhan Pencipta Manusia, tapi saya belum tentu bisa menegosiasikan
kepada-Nya mengenai kapan “waktu-Nya” tiba. Saya hanya bisa berdoa dalam
pengharapan penuh, seperti dalam Kolose 1:23a (“Sebab itu kamu harus bertekun
dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari
pengharapan Injil). Setelah ibadah selesai, kami langsung menuju ke rumah
sakit. Saya langsung memanfaatkan Jam Besuk, membawa Alkitab kecil milik saya
dan Buku Ende (buku nyanyian dalam Bahasa Batak) milik Ibu saya yang tidak
sengaja saya bawa karena tadi pagi terburu-buru ke gereja dan menganggap bahwa
kami mengikuti Ibadah Bahasa Batak (padahal pukul 07.00 WIB adalah Ibadah
Bahasa Indonesia).
Siang
itu seluruh keluarga dari pihak Ayah saya datang menjenguk. Setiap mereka yang
masuk ke dalam Ruang ICU saya minta untuk berdoa, saya pun masih menitikkan air
mata karena Ibu saya tidak menunjukkan kemajuan pesat pada hari kedua di Ruang
ICU. Hari Minggu memang sangat dimanfaatkan untuk datang menjenguk, demikian
juga sahabat saya sewaktu SMA yang bernama LW dan sahabat saya dari Kampus
Pertama yang bernama WS. Kami bertiga dan juga Ayah saya berdoa bersama yang
dipimpin oleh WS di depan Ibu saya. Ibu saya masih merespon kami dengan tatapan
mata yang “berisi” meski tidak tersenyum dan lebih sering menutup mata. Jika
saya perhatikan, kemampuan meresponnya agak menurun dari pada hari kemarin. Ia
lebih banyak menutup mata namun masih bisa mendengar dan terkadang melihat
sekitar, kami menginstruksikan agar ia mengangguk dengan memberikan pertanyaan
sederhana yang hanya bisa dijawab dengan mengangguk atau menggelengkan kepala.
Mengenai
sahabat saya yang bernama WS, sebagai informasi tambahan, saat malam minggu ia
memang menghubungi saya karena ingin melepas rindu sebelum program acaranya
berjalan. Sebagai seorang Asisten Produser ia memang sangat sibuk dan memiliki
waktu yang sangat terbatas. Ia berjanji kepada dirinya sendiri bahwa sebelum
Natal ia harus bertemu dengan teman-teman lamanya, yakni PPM CKWE yang tidak
lain adalah sahabat saya juga. Demikian juga LW yang sedang melanjutkan Program
Belajar Dua Tahun, hari itu ia membawa serta suami dan anaknya, menyempatkan
diri untuk datang ke rumah sakit yang sebenarnya jauh dari rumah mereka. Setelah
Jam Besuk habis, kami bertiga keluar mengantarkan LW kemudian entah kenapa saya
lebih memilih untuk mengobrol berdua dengan WS dibandingkan dengan menjamu
saudara-saudara dari pihak Ayah saya. Mungkin karena WS berdomisili di tempat
yang jauh dan lebih sulit ditemui dari pada saudara-saudara saya, tapi saya
rasa bukan, menurut saya itu adalah rencana Tuhan lainnya. Kenyataannya Tuhan
sudah mempersiapkan WS (untuk yang kesekian kalinya) sebagai alat-Nya untuk
menjadi salah satu Guru Kehidupan saya. Ketika kondisi psikis saya drop karena mengurus Ibu saya semasa
beliau sakit pada masa lampau, WS sering menyemangati saya melalui sambungan
telepon. Kali ini ia menyemangati saya ketika Ibu saya sedang dalam masa yang
(agak) kritis. Entah dia memiliki firasat tertentu atau bahkan merasakan hal
yang biasa saja, yang jelas saya terkejut dengan satu-satunya bahan pembicaraan
kami yang serius, yang membuat saya tidak berhenti menangis. Saya ingat apa
yang WS katakan di sebuah Mini Market di depan rumah sakit itu :
“Twin,
apapun yang terjadi, lo harus percaya bahwa Tuhan Yesus itu baik. Lo percaya
kan kalo Tuhan Yesus itu baik ? Gue sih tetap berdoa supaya Inang cepet pulih,
tapi untuk kedepannya kita gak ada yang tau. Lo harus persiapkan diri lo,
apapun yang terjadi lo harus kuat. Inget, apapun yang terjadi, lo harus kuat”,
katanya memulai percakapan.
“Tapi
masih banyak banget yang harus ditunggu, Nong”, saya meresponnya.
“Lo
mau tunggu sampe kapan, Twin ? Sampe 20 tahun lagi ? Lo gak kasihan sama Nyokap
lo ? Gue tau Nyokap lo itu adalah Wanita Perkasa. Udah lama kan dia sakit,
bahkan waktu kita kuliah dulu pun lo sering jagain dia dan nolak kalo kami ajak
jalan. Gue yakin kalo lo itu bisa jadi Wanita Perkasa kayak Nyokap lo”
“Gue
akan kangen banget sama semuanya kalo hal itu benar-benar terjadi, Nong”
“Lo
pikir gue gak kangen sama Bokap gue ? Kejadiannya udah tiga tahun yang lalu,
tapi gue masih inget tuh waktu dulu dia bersandar di dinding sambil pegangin
dadanya karena sesak. Bahkan tiap ke rumah sakit dan tanpa sengaja lihat
tulisan “Poli Jantung” pun gue ngerasa flashback
ke masa lalu. Ada saatnya lo nangis meraung-raung karena inget semua kejadian
indah kalian, tapi ada saatnya lo dalam kondisi yang sangat tenang. Lo akan
rasain semuanya yang udah pernah gue rasain dan semuanya butuh proses Twin. Gue
yakin lo pasti kuat, kayak Nyokap lo. Banyak berdoa, karena lo hanya bisa minta
kekuatan ke Tuhan Yesus. Gue juga dulu gitu kok, berat banget ditinggalin Bokap
gue secara tiba-tiba, tapi itu yang terbaik untuk Bokap gue. Seharusnya lo
bersyukur Twin, lo dikasih kesempatan dan kepercayaan untuk ngerawat Nyokap lo secara
intensif. Gue juga bersyukur bisa temenin Bokap gue bolak-balik ke rumah sakit
sambil kerjain Skripsi gue. Tapi itulah kesempatan gue buat ngerawat Bokap gue,
dan gue puas udah melakukan itu semua, meski gak terlalu intensif kayak lo
ngerawat Nyokap lo. Bagian gue udah selesai gue kerjain Twin, sisanya Tuhan
akan kerjain bagian-Nya. Kalo isi doa gue yang sekarang, gue bersyukur karena
Bokap gue udah gak ngerasain sakit lagi. Di Surga gak ada penderitaan Twin,
yang ada hanya bersenang-senang memuji Tuhan. Lagian Tuhan udah siapkan
semuanya Twin. Lo inget kan pas Bokap gue meninggal, pas banget ada si DM dan
si CC yang lagi dateng ke kost gue sampe akhirnya mereka yang temenin gue ke rumah
sakit dan bantuin ngurusin semua berkasnya ? Gak ada satupun yang kebetulan di
dunia ini Twin, Tuhan udah siapkan semuanya dan lo gak boleh khawatir. Apapun
yang terjadi, Tuhan Yesus itu baik, lo harus percaya itu”.
Ya,
apa yang WS katakan memang benar. Apapun yang terjadi, saya harus kuat karena Tuhan
Yesus itu sangat baik. Setelah saya mengantarkan WS pulang, saya kembali ke
rumah sakit dan memanfaatkan Jam Besuk pukul 17.00 WIB. Saya memandu Ibu saya
untuk beribadah singkat, yakni berdoa, bernyanyi, dan membaca Alkitab. Meskipun
tidak memiliki latar belakang sebagai Pelayan Tuhan yang formal seperti Sintua
ataupun Pendeta, namun saya nekat memberikan Pelayanan Firman (meski dalam
kondisi psikis yang terguncang dan tangisan yang sering datang). Saya pun
membacakan Alkitab untuknya yang ayatnya saya pilih hanya singkat namun mengena
di hati, tujuannya ialah memberikan pengharapan mengenai kesembuhan kepada Ibu
saya. Kami menyanyi bersama, meskipun Ibu saya hanya memejamkan mata dalam diam
tapi dia mengangguk ketika saya menanyakan apakah dia mengetahui lagu yang saya
nyanyikan. Namun sayang ibadah non-formal tersebut sering terganggu oleh
kedatangan tamu yang lainnya, tetapi tidak apa karena tujuannya adalah sama,
yakni mendoakan kesembuhan bagi Ibu saya. Selama di Ruang ICU memang banyak
saudara yang menjenguk jika dibandingkan saat Ibu saya di Ruang HCU. Setiap
mereka yang menjenguk lagi-lagi saya minta untuk berdoa. Saya pun tidak boleh
egois karena saya tidak lagi memiliki Me
Time Khusus dengan Ibu saya, karena saudara lain pun ingin berbicara dengan
Ibu saya. Ketika Jam Besuk habis, kami pun pulang ke rumah.
Selama
di Ruang ICU, saya merasa bahwa Ibu saya semakin jauh dari saya. Karena selama
kami di rumah, saya dapat bertemu dengannya selama 24 jam non-stop. Sementara
di Ruangan ICU, saya hanya dapat memanfaatkan waktu selama 4 jam dari 24 jam,
itupun diselingi oleh saudara lain yang datang. Namun seharusnya saya sudah
puas merawatnya selama beliau hidup, mengantarnya berjemur setiap pagi,
menyeduh susunya setelah berjemur, mengambilkan makanannya, memandikan dia
setiap sore (jika kondisi badannya tidak kuat untuk mandi sendiri),
mempersiapkan semua obat (pagi 5 jenis, siang 2 jenis, malam 4 jenis) lengkap
dengan suntik insulinnya, mengganti pampersnya setiap hari (jika kondisi
badannya tidak kuat untuk buang air kecil secara normal), mengecek kadar gula
darah dan tensi darahnya, mengantarkannya untuk check up ke Rumah Sakit Pemerintah di daerah Salemba, bahkan
memakaikan baju serta make up setiap
kami pergi. Saya ingat beliau sering mengkomplain saya, “Kau kok kalo dandanin
saya kasar amat sih ? Lembut dikit kenapa kayak Tukang Salon itu”, ujarnya
sambil tersenyum menggoda. Kemudian saya jawab, “Maklum lah Mak, mantan Pekerja
Proyek, jadi sifat laki-nya gak bisa terpendam, hahaha”, jawab saya sambil
berlalu karena saya terburu-buru mengerjakan hal lain. Dia pun sering menggoda
saya ketika saya sedang mematut-matutkan diri di depan cermin, “Udah cantik
kok, tapi sayang bolbol (gemuk)”.
Atau bahkan tertawa sambil berkata, “Ehee,,
Na rittik do ho (Ya ampun, kau udah gila rupanya)” ketika melihat saya
berjoget dangdut di dalam rumah jika Pengamen Dangdut Gerobak sedang lewat di
dekat rumah kami. Sekarang saya sangat rindu dengan suara dan senyumannya.
Ibu
saya memang sangat perhatian kepada saya dan kami anak-anaknya. Beliau akan
berteriak kencang memanggil saya, hanya untuk berkata, “Di TV katanya besok
Hujan Sedang, bawa payung ya”. Ya, akhir-akhir ini beliau selalu menyaksikan
Tayangan Ramalan Cuaca di Stasiun TV Merah milik swasta yang satu group dengan
Kampus Kedua saya. Setiap jam beliau memasang channel tersebut hanya untuk melihat Ramalan Cuaca yang sama setiap
harinya. Beliau juga meyuruh saya mandi dengan menggunakan air panas yang saya
siapkan ketika air panas tersebut masih tersisa setelah saya memandikannya,
beliau berkata, “Supaya sekalian habis airnya, supaya kau gak kedinginan”. Atau
bahkan karena beliau sangat khawatir melihat saya menggunakan daster yang
basah, beliau sampai menyuruh saya untuk mengganti daster sambil menangis,
“Ganti dulu dastermu, supaya gak sakit kau. Nanti kalau kau sakit, siapa lagi
yang ngurus saya ?”. Saya memang sering mengeluh karena hampir 15-30 menit
sekali, beliau memanggil nama saya yang terkadang tidak jelas menginstruksikan
apa, mungkin ia hanya ingin ditemani berbicara, namun saya menolaknya karena
ingin melakukan kegiatan lain. Karena rasa percayanya terhadap saya, sebanyak
apapun penghuni rumah yang ada di sekitarnya, namun yang dipanggil hanyalah
nama saya. Sampai ketika ia mengalami sakit saat membuang air seni pun, ia
hanya memanggil nama saya. Karena terlalu kesal, saya pun berkata, “Jangan
panggil gue mulu kenapa Mak, gue kan bukan Tuhan, gue juga bukan Dokter, mana
gue tau cara nyembuhin Mama ?”. Ya, setiap manusia memang memiliki batas
kesabarannya masing-masing. Saya juga tidak munafik bahwa saya sering memarahi
dan membentak Ibu saya sampai ia berkata, “Kau galak amat sih ? Kalau Mama
mati, kau nangis nanti”. Di mulut saya hanya berkata, “Biarin aja. Ayo ah, lama
banget dari tadi gak jalan-jalan, udah keburu pergi mataharinya nanti. Kalo
besok ujan, gak bisa berjemur, kedinginan pula”. Tapi di dalam hati saya
berkata, “Jangankan nanti, sekarang aja gue udah nangis”, saya bergumam sambil
menghapus air mata tanpa sepengetahuan beliau. Meski sedang marah pun, saya
hanya sebentar merasakan emosi yang meluap itu. Biasanya saya meninggalkan Ibu
saya sendirian selama 10 detik kemudian saya kembali lagi. Karena semarah
apapun saya, saya akan tetap merawat Ibu saya. Sesungguhnya saya tidak bisa
membayangkan bagaimana jika suatu hari nanti beliau berpulang ke pangkuan-Nya.
Sekarang saya sangat rindu dengan teriakan dan omelannya.
Senin,
21 November 2016, pukul 08.00 WIB. Saya enggan untuk mengerjakan progress Tugas Akhir saya, tetapi saya
justru “terpanggil” untuk menuliskan Lagu Rohani Batak yang akan saya nyanyikan
bersama dengan Ibu saya saat Jam Besuk nanti. Saya memilih lagu yang bagus
untuk saya nyanyikan di depannya, dan saya yakin bahwa beliau juga ikut
bernyanyi di dalam hatinya. Sekitar pukul 09.30 WIB Ayah saya memberikan kabar
melalui Group What’s App kami ketika ia sudah sampai di rumah sakit. Ayah saya berkata
bahwa tensi darah Ibu saya semakin menurun menjadi 90/50 mmHg (padahal tensi
darah di hari-hari kemarin sangat normal, setidaknya terendah hanya 100/60 mmHg
yang masih bisa dikatakan di ambang batas normal). Pagi itu saya bersiap ke
rumah sakit, saya ingin segera memanfaatkan Jam Besuk pukul 11.00 WIB. Namun
saya harus menunggu seorang Ibu Asisten Rumah Tangga yang harus membersihkan
rumah saya. Saya pun mengurungkan niat untuk pergi karena Ibu tersebut segera
datang disaat saya sudah rapih mengenakan pakaian yang sering saya gunakan saat
mengantarkan Ibu saya check up ke
Rumah Sakit Pemerintah di daerah Salemba. Saya sengaja untuk menggunakannya
pada hari itu karena saya ingin menggodanya, merangsang otaknya mengenai
pakaian yang sering saya gunakan tersebut. Ibu saya pasti masih ingat ketika
saya sering mengantarkan beliau check up
setiap sebulan sekali, beliau sering mengkomplain saya, “Bajunya ganti kenapa
sih, itu-itu aja, malu dilihat orang kalo bajumu cuma itu”. Ya, saya sering
menggunakannya bukan karena baju saya hanya sedikit, tetapi karena saya nyaman
dengan bahan dan warnanya. Motif casual
yang membuat saya bebas bergerak karena dituntut oleh kondisi administrasi
rumah sakit dan “pasien saya” yang mewajibkan saya harus cekatan dalam
bergerak. Bahkan pada esok hari saya berencana ingin menggunakan seragam beliau
saat ia mengajar, saya akan berpura-pura menjadi Guru SD dan merangsang otaknya
kembali berpikir saat ia menjadi Wanita Perkasa di zamannya. Saya juga
berencana untuk membawakan kopi sachet
yang berasal dari kotoran hewan dan wanginya bukan main, ia selalu minta kepada
saya ketika saya menyeduhnya setiap hari. Ketika ia meminta, saya pun
berpura-pura bahwa isi gelas itu hanyalah air putih (saya sengaja berbohong
agar dia tidak meminum kopi karena takut menaikkan kadar gula darahnya). Tetapi
dia merayu saya sambil tersenyum dan mengedipkan matanya. Beliau berkata,
“Jangan cipoa (bohong), dosa bohongin
orang tua. Mintalah kopinya, sedikiiittt,,, aja”. Saya sengaja menggodanya
dengan hanya mengambil setetes kopi di atas sendok itu kemudian menyodorkannya.
Dia pun berkata, “Agoyamang, songon ilu
ni na mate (Ya ampun, kayak air matanya orang meninggal)”. Hal ini adalah
kalimat kiasan karena mereka yang sudah meninggal tidak mungkin bisa menangis.
Setelah saya suapi satu sendok, dia pasti berkata, “Aduh mek enak bangaatt.. Dikit lagi laahh,,”, lanjutnya sambil merayu
saya. Dan saya pun hanya pergi sambil menggodanya, “Kan udah satu sendok,
katanya dikiitt,,”. Dan kami pun tertawa. Itulah beberapa barang yang saya
rencanakan untuk dibawa agar merangsang otaknya agar aktif kembali.
Siang
itu saya melanjutkan menuliskan beberapa Lagu Rohani Batak dan menyempatkan
diri untuk menonton televisi. Entah kenapa sejak pagi hari saya memiliki feeling tertentu kalau tensi darahnya
akan semakin menurun. Tetapi saya berusaha untuk tenang dan tidak terburu-buru
ke rumah sakit karena Jam Besuk Pagi sudah berakhir dan Jam Besuk Sore masih
lama lagi. Sekitar pukul 14.00 WIB pun saya mulai memesan Transportasi Online
agar saya bisa lebih cepat sampai di rumah sakit. Entah kenapa saya menjadi
lebih pikun hari itu, kunci rumah saya hilang entah kemana, saya lupa
menaruhnya dan saya mencarinya seperti seorang nenek yang mencari gigi
palsunya. Perasaan saya lebih tidak enak lagi, karena saya heran mengapa saya tiba-tiba
menjadi blank yang tidak pernah saya
rasakan. Tapi saya berusaha untuk positive
thinking, mungkin karena fisik dan psikis saya sedang lelah. Saya menolak
diantarkan oleh “teman” saya karena dari perhitungan waktu yang saya lakukan
jalur tersebut akan mengurangi Jam Besuk yang harus saya manfaatkan.
Sesampainya di rumah sakit saya mampir di sebuah warung makan untuk mengisi
perut, saya tidak memiliki feeling
tertentu dan makan dengan tenang. Saya tiba di Ruang Tunggu ICU satu jam
sebelum Jam Besuk. Ketika Jam Besuk tiba, saya membawa serta Alkitab kecil saya
dan Buku Ende yang sering digunakan oleh Ibu saya, tidak lupa turut serta
kertas yang sudah saya tuliskan beberapa Lagu Rohani Batak yang saya kerjakan
tadi pagi. Sesampainya di Ruang ICU, saya kaget melihat alat yang terpasang
sejak Jumat malam itu, karena tensi darahnya hanya 45/18 mmHg. Ibu saya memang
memiliki riwayat hipertensi, sehingga tensi darah 150/100 mmHg atau 140/90 mmHg
sudah biasa saya lihat ketika saya mengecek tensi darahnya di rumah, namun
memang lebih sering berada di batas 120/80 mmHg. Saya pun menangis dan
berbicara banyak hal kepada Ibu saya agar otaknya tetap bekerja, setidaknya
otak tersebut masih mengistruksikan telinga untuk mendengarkan agar ia masih
“ada” di sana. Ayah saya pun menginstruksikan agar semua Keluarga Inti kami
berkumpul di rumah sakit karena kondisi Ibu saya semakin kritis, kami takut
bahwa malam itu adalah “waktu-Nya”.
Saya
melihat kondisi Ibu saya yang (mohon maaf) megap-megap namun bukan sesak nafas.
Saya tidak bisa menahan air mata karena saya tidak pernah melihat Ibu saya
seperti ini. Saya pun lebih banyak berdoa dan berbicara mengenai betapa luar
biasanya dia selama hidupnya. Saya bercerita mengenai perjuangannya saat
menjadi Guru SD, pendatang dari desa yang berhasil hidup di Jakarta bersama
dengan Ayah saya, membantu menyokong ekonomi keluarga dengan segala
perjuangannya dengan menjual ayam negeri dan es bonbon. Saya bercerita mengenai
betapa baiknya dia kepada para tetangga kami, secara refleks membuatkan kopi
dan makanan ringan saat ada kerja bakti di sekitar rumah. Saya juga bercerita
mengenai tetangga kami, seorang Ibu yang sering bersenandung saat ia memandikan
atau menyuapi anaknya, tepat ketika saya menggantikan pampers Ibu saya atau
menyuapi Ibu saya. Dan anehnya, ketika saya selesai melakukan pekerjaan saya,
Ibu tetangga itu pun juga selesai mengerjakan tugasnya. Saya berkata kepada Ibu
saya bahwa saat itu (bahkan hampir setiap hari) Tuhan seolah berkata kepada
saya bahwa pada waktu saya kecil, saya diasuh oleh Ibu saya (sama seperti
tetangga saya yang mengasuh anaknya). Namun sekarang saya harus membalas jasa
kepada Ibu saya dengan merawatnya, dan suatu saat nanti saya juga akan berperan
seperti tetangga saya tersebut. Sekitar pukul 17.30 WIB, Ibu saya mengalami
batuk yang hanya sekali. Tekanan saat batuk tersebut mendorong badannya sedikit
bangkit dari kasur dan tangan kirinya menggenggam erat tangan kiri saya meski
hanya satu detik (karena selama saya menjenguknya, tangan kiri saya selalu memegang
tangan kirinya dan tangan kanan saya selalu memegang dahinya untuk menorehkan
lambang salib di dahinya). Genggaman tangan kiri itulah yang menjadi respon
terakhirnya yang terkuat, meski ia hanya bisa menutup mata dan menitikkan air
mata yang hanya sedikit. Mungkin ini yang Ibu saya sebut “ilu ni na mate (air mata orang meninggal)”, karena kuantitasnya
sangat sedikit (hanya satu atau dua tetes) namun tetap menetes perlahan.
Sekitar
pukul 17.45 WIB Kakak saya datang dan berbicara kepada dokter, dokter itu juga
menghampiri saya namun hanya berkata, “Kami sudah melakukan yang bisa kami
lakukan, obat yang dimasukkan sudah maksimal, sisanya silahkan dibimbing saja”.
Kalimat yang mengandung eufemisme
(penghalusan kata-kata) tersebut sangat membuat saya pasrah. Saya pasrah dengan
angka yang ditunjukkan oleh alat tersebut dan pasrah dengan ekspresi wajah Ibu
saya yang sudah terlihat “di ujung tanduk”. Keluarga Inti kami pun berdatangan,
kami berusaha untuk mengajaknya berbicara secara bergantian agar Ibu saya tidak
“hilang” malam itu. Saat itu saya juga bercerita panjang lebar seolah meracau,
bahkan selama seperempat abad saya hidup, baru kali ini saya dapat mengucapkan,
“Windy sayang Mama, kami semua masih mau merawat Mama”. Keluarga kami bukanlah
pribadi yang manis di mulut, tetapi langsung bertindak. Saya yakin Ibu saya
selama ini pasti dapat melihat rasa sayang yang saya berikan kepadanya, yang
tentunya tidak akan dapat membalas rasa sayangnya kepada kami anak-anaknya.
Saya juga meminta maaf kepada Ibu saya jika kami anak-anaknya sering melakukan
kesalahan, dalam bentuk apapun. Di dalam hati dan pikiran kami anak-anaknya,
Ibu saya tidak memiliki kesalahan apapun pada kami. Baru kali itu saya meracau
sambil menangis, saya sadar mengenai apa saja topik pembicaraan kami. Saya
sampai kehabisan ide untuk menceritakan hal apa lagi agar Ibu saya tetap
mendengarkan saya.
Sekitar
pukul 19.00 WIB saudara saya dari pihak Ibu dan Ayah kembali berdatangan. Kami
pun menyempatkan diri untuk berdoa di Ruang Tunggu, membuat lingkaran kemudian
secara bergantian mengucapkan Doa Permohonan, saya menutupnya dengan Doa Bapa
Kami. Setelah selesai berdoa, tiba-tiba hujan deras turun, namun hanya sekitar
lima detik, kemudian berhenti. Padahal hari itu tidak setetespun hujan turun sejak
pagi atau malam hari, bahkan cuacanya pun tidak mendung, aneh memang. Saya
kembali ke dalam Ruang ICU karena Ibu saya masih bisa dijenguk, malam itu Jam
Besuk sudah tidak berlaku bagi keluarga kami karena para dokter dan perawat
sudah “menyerahkan” Ibu saya kepada pihak keluarga untuk “dibimbing”. Sekitar
pukul 20.00 WIB Ayah saya mengumpulkan kembali semua adik kandungnya untuk
berbagi tugas jika nanti “waktu-Nya” tiba dengan alasan, “Mumpung otak saya
masih fresh, takutnya nanti tidak
bisa berpikir lagi kalau sudah ada “jawaban” yang pasti”. Sepertinya beliau
sudah dapat “membaca kondisi” dan segera melakukan rapat internal dengan
adik-adiknya yang sangat membantu kami dalam urusan Adat dan Pangarapoton, baik
di Rumah Duka Cijantung maupun di Pekuburan. Sekitar pukul 20.30 WIB saudara
dari pihak Ibu mulai berdatangan, yakni anak dari adik kandung Ibu saya, mereka
sangat dekat dengan Ibu saya. Malam itu, semua yang hadir mendoakan Ibu saya,
baik di Ruang Tunggu ICU maupun di dalam Ruang ICU. Salah satu keponakan Ibu
saya pun mengurut-urut kaki Ibu saya sambil berkata, “Mana yang mau didapol (diurut), Mak Tua ? Kaki ini
ajalah ya aku dapol” sambil menangis
dan bergemetar. Saya yakin bahwa mereka juga shock melihat Mak Tua mereka dalam kondisi kritis yang tidak pernah
mereka lihat sebelumnya. Saya pun merasakan degup jantung saya yang semakin
meningkat, saya tidak bisa tenang, saya berjalan cepat ke Ruang Tunggu ICU
kemudian kembali lagi ke Ruang ICU, tanpa jelas tujuannya. Saya merasa bahwa
wajah saya tegang, jantung saya berdegup kencang, tubuh saya gemetar, saya
takut malam ini menjadi “waktu-Nya”. Saya terus mendoakan Ibu saya dan terus
berdiri di sebelah kirinya, saya tidak sempat untuk duduk. Saya lelah dengan
ini semua, saya merasa bahwa saya tidak sanggup, tetapi Tuhan tidak berhenti
menguatkan saya.
Sekitar
pukul 21.00 WIB Kakak Ipar saya (istri dari Abang saya) datang ke Ruang ICU. Ia
juga mendoakan Ibu saya dan menelepon Ibunya untuk mendoakan Ibu saya melalui
sambungan telepon. Ia juga membacakan Mazmur 91 untuk kedua kalinya, setelah
saya membacakannya sekitar satu jam yang lalu. Kami semua hanya bisa berdoa,
bernyanyi, dan membaca Alkitab di hadapan Ibu saya yang menutup mata namun
beberapa kali nampak air matanya mengalir sedikit. Mungkin inilah perjuangan
terakhirnya yang beriringan dengan perjuangan kami semua, kami mengupayakan
apapun agar ia tetap “ada” di ruangan itu. Bahkan Kakak saya berkali-kali
berdoa dan menginstruksikan saya untuk tetap bernyanyi (sebagai back sound doanya) dari Buku Ende nomor
474 yang berjudul “Ingkon Jesus do Donganku” (Hanya Yesuslah Temanku) untuk
mengingatkan Ibu saya bahwa Tuhan Yesus yang selalu berada di sampingnya dalam
kondisi apapun. Kakak Ipar saya juga memasangkan lagu rohani di telepon
genggam-nya, sambil berkali-kali ia mengucapkan Mazmur 91:16 (“Dengan panjang
umur akan Kukenyangkan dia, dan akan Kuperlihatkan kepadanya keselamatan dari
pada-Ku”) sambil mengelus dada Ibu saya. Bahkan kami bertiga sering mengucapkan
“Darah Yesus” yang membuat saya semakin merasakan peperangan iman yang sangat
besar dengan kekuatan lain. Kami bertiga berjuang bersama di Ruangan ICU di
detik terakhir dan saya menyaksikan sendiri bahwa Ibu saya mendapatkan Nyawa
Ketiga. Ketika itu, Kakak saya dan Kakak Ipar saya berada di sebelah kanan Ibu
saya dan membelakangi alat pendeteksi detak jantung. Saya yang selalu berada di
sebelah kiri Ibu saya dapat melihat dengan jelas mengenai tampilan alat
tersebut di sebelah kanan saya dan tampilan jam dinding di sebelah kiri saya.
Sekitar pukul 21.30 WIB, saya melihat garis zig-zag seperti Sandi Rumput di
alat itu terus berjalan dari arah kiri ke kanan. Namun setelahnya sempat muncul
garis lurus sampai di tengah alat itu. Saya semakin shock dan secara refleks berkata, “Tuhan Yesus Kristus” sambil
menarik tangan kiri Ibu saya. Selanjutnya garis zig-zag itu muncul kembali,
menandakan jantung yang masih berdetak dan roh Ibu saya yang masih berada di
dalam tubuhnya. Kakak Ipar saya bertanya, “Kenapa Win ? Mama udah membaik belum
? Alatnya nunjukin apa ?”. Saya hanya berkata, “Gak ada apa-apa Kak” sambil
memasang wajah yang kaku karena shock
dengan apa yang saya lihat. Saya merasa bahwa Ibu saya sudah lelah berjuang,
saya melihat dan membuktikan sendiri mengenai perkataan yang kemarin disebutkan
oleh sahabat saya WS, “Lo gak kasihan lihat Nyokap lo kayak gitu, Twin ?”. Saat
itu saya sadar dan bergumam, “Si Twinong bener, kasihan Mama”. Kami pun pihak
keluarga sesungguhnya sudah sangat lelah berjuang, terutama Kakak saya, Kakak
Ipar saya dan saya sendiri di saat saya melihat alat pendeteksi jantung itu
sudah menunjukkan sebagian dari garis lurus. Sejujurnya saya sudah lelah berdoa
untuk mempertahankan roh itu berada di dalam tubuh Ibu saya. Baru kali itu di
dalam hidup saya, saya merasakan perjuangan iman yang sangat luar biasa. Saya
merasakan betapa lelahnya tarik menarik roh, saya merasa lelah berjuang melawan
kekuatan lain yang lebih besar dari pada kekuatan saya. Dan memang sejak dokter
meminta kami untuk “membimbing” Ibu saya, seluruh doa yang saya ungkapkan
menunjukkan betapa pasrahnya saya malam itu. Saya tidak seperti Kakak saya yang
masih optimis di dalam doanya, namun saya tidak berani untuk mengucapkan Doa
Pelepasan, tapi tetap mengucapkan Doa Permohonan. Semua yang kami (pihak
keluarga) lakukan sejak pukul 17.00 WIB dapat menaikkan tensi darahnya. Saya
menyaksikan sendiri dengan mata kepala saya, angka di alat pendeteksi jantung
itu menunjukkan 60/40 mmHg, setidaknya jauh lebih baik dari pada 45/18 mmHg
ketika pertama kali saya dan Ayah saya masuk ke Ruang ICU saat Jam Besuk Sore.
Selanjutnya
saya ke Ruang Tunggu ICU atas instruksi dari Kakak saya, “Lo berdoa di sana dan
gue berdoa di sini. Gue mau sendirian dulu di sini, tinggalin gue sendirian di
sini”. Saya dan Kakak Ipar saya pun ke Ruang Tunggu ICU dan lagi-lagi saya
hanya bisa berdoa dengan jantung yang bedegup kencang. Sekitar pukul 22.00 WIB
Abang saya tidak sengaja menyenggol kabel stop kontak sehingga menimbulkan
korslet dan mematikan listrik di Ruang Tunggu. Saya benar-benar khawatir
mengenai kondisi di dalam Ruang ICU yang juga mati listrik dan mematikan
ventilator sebagai alat bantu pernapasan bagi Ibu saya, tapi ternyata gangguan
tersebut hanya berlaku di Ruang Tunggu saja karena saya melihat lampu Ruang ICU
tetap menyala. Saya tidak memikirkan adanya genset
(pembangkit listrik buatan) yang pasti dipasang di tempat yang fatal seperti
rumah sakit. Setelah beberapa saat saya berjalan-jalan dalam gelap, Kakak saya
keluar dari Ruang ICU dan menarik tangan saya di dalam kegelapan menuju ke
depan toilet. Saya kaget dan jantung saya semakin berdegup kencang, saya takut
mendengar kabar yang perlahan tapi dapat membuat saya pingsan. Setelah kami
duduk berhadapan di depan toilet yang memang sempit dan sepi, Kakak saya
meminta agar kami berdoa bersama. Dengan matanya yang membengkak dan suara yang
sengau karena terlalu banyak menangis, ia berkata, “Lo aja yang berdoa Dek, gue
gak kuat”. Entah kenapa saya menjadi lebih tenang dari pada Kakak saya saat
itu, mungkin Tuhan sudah mempersiapkan saya sejak hari Minggu ketika sahabat
saya WS berkunjung. Saya dan Kakak saya pun berpegangan tangan dan berdoa,
lagi-lagi saya hanya mengucapkan Doa Permohonan yang cenderung pasrah.
Selanjutnya saya menyuruh Kakak saya untuk berdoa, “Gantian, lo yang doa”. Setelah
kami berdoa, saya kembali menutupnya dengan Doa Bapa Kami. Selanjutnya kami
kembali ke Ruang Tunggu dan tidak lama kemudian lampu di ruangan tersebut
menyala. Kami kembali ke dalam Ruang ICU untuk melihat Ibu kami, tepat pukul
22.30 WIB pihak keluarga diminta untuk benar-benar menunggu di luar dan pihak
rumah sakit berjanji akan mengabari apapun yang terjadi pada Ibu saya. Dengan
kesadaran penuh, saya pun mengecup dahi Ibu saya dan berpamitan sambil berucap,
“Windy tunggu di luar ya Mak, kami semua akan jagain Mamak malam ini”. Kami pun
menunggu di Ruang Tunggu ICU dan mulai beristirahat. Kami benar-benar
mengharapkan mujizat terjadi esok hari.
Sekitar
pukul 22.40 WIB Pendeta dari gereja Kakak saya datang berkunjung untuk berdoa
di hadapan Ibu saya dengan ditemani Kakak saya, kemudian Kakak saya
mengantarkan Pendeta tersebut keluar dari rumah sakit. Tepat pukul 23.30 WIB
Kakak saya membangunkan saya yang sudah tertidur di kursi selama satu jam.
Kakak saya menginstruksikan saya agar pulang dengan Abang Kedua saya. Sedangkan
Ayah saya tetap ingin di sana, ia sudah berada di sana sejak pagi karena ia
bersikukuh bahwa Senin malam ia akan menjaga Ibu saya di rumah sakit dan setiap
hari ia berada di rumah sakit sejak pukul 08.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Saya
akui bahwa Ayah saya adalah sosok yang sangat setia dan bertanggungjawab. Saya
memang berencana untuk menginap di rumah sakit pada malam itu, namun Kakak saya
mengistruksikan kami untuk pulang ke rumah, menjaga kesehatan dan tetap
membantu melalui doa di rumah. Kakak saya berkata bahwa tensi darah Ibu saya
sudah lumayan, yakni 100/60 mmHg, seolah semuanya akan berjalan baik-baik saja
pada malam itu dan mujizat akan terjadi esok hari. Ketika kami sedang
membereskan barang, tepat pukul 00.00 WIB pada Selasa, 22 November 2016 speaker rumah sakit berbunyi memanggil
keluarga Ibu saya. Saya tidak sengaja mendengarkannya sambil menatap lurus ke
depan, garis panjang dan garis pendek di dalam jam dinding di Ruang Tunggu ICU
itu benar-benar menyatu. Dengan terhuyung-huyung setengah sadar pun saya
kembali ke dalam Ruang ICU dan melihat Ibu saya seperti keadaan yang tadi,
tidur dengan biasanya namun alat pendeteksi jantung masih melaporkan garis
zig-zag. Secara refleks kami berdoa bersama. Ayah saya berada di sebelah kiri
Ibu saya dan memegang tangan Ibu saya. Saya berada di bawah Ibu saya sambil
memegang kedua kakinya. Kakak saya berada di sebelah kanan Ibu saya dimana
tangan kirinya memegang kepala ibu saya dan tangan kirinya memegang dada Ibu
saya. Kakak saya pun mengucapkan Doa Pelepasan, “Tuhan, kami serahkan Mama ke
dalam Tangan-Mu, terimalah rohnya di dalam Kerajaan-Mu”. Secara perlahan Ibu
saya menghembuskan nafas terakhirnya, garis lurus nampak perlahan muncul
berjalan di dalam alat pendeteksi jantung itu, dari kiri ke kanan hingga akhir
layar. Saya tidak “memanggilnya” kembali karena semuanya berjalan begitu cepat
dengan kondisi fisik saya yang masih setengah sadar. Dokter pun melihat semua
kejadian itu dan menyinari mata Ibu saya dengan senter miliknya. Ya, “waktu-Nya”
sudah tiba, pupil matanya merespon sangat minim, garis di alat pendeteksi
jantung sudah lurus total, dan semua angka tidak terlihat lagi di alat yang
terpasang. Perjuangan panjangnya sudah berakhir pada subuh hari itu, dan saya
beserta Kakak saya pun secara bergantian mengucapkan terima kasih kepada Ibu
saya karena beliau sudah mau berjuang bersama kami pada malam yang sangat
panjang dan melelahkan itu. Bahkan ketika saudara dari Ibu saya datang kembali
pada subuh hari itu, entah kenapa saya bisa tenang dan dapat menenangkannya,
“Udah Ito, kan waktu Namboru sadar hari Sabtu kemarin itu Ito udah jenguk dan
ngobrol sama Namboru”. Demikian juga ketika saya menelepon Abang Pertama saya
untuk memberitakan kabar duka yang sejak sore kami persiapkan untuk datang
menghampiri kami. “Halo, halo. Hmm,, Udah gak ada”, saya berbicara perlahan dan
hati-hati karena saya takut Abang Pertama saya shock dan mengalami kecelakaan di jalan karena ia sedang dalam
perjalanan mengantarkan istrinya pulang. Namun ia merespon dengan datar dan
kosong, “Ohh,, yaa.. Yaudah”. Saya sudah tenang saat itu, karena saya sudah
rela melepaskan Ibu saya. Saya tidak mau melihat Ibu saya menderita lagi dengan
penyakitnya, saya tidak mau tarik menarik roh lagi dengan Tuhan Sang Pencipta yang
100 % mempunyai Hak Kepemilikan Hidup terhadap Ibu saya. Tuhan tidak
mengizinkan beliau untuk menambah rasa sakitnya melalui HD (Hemodialisa / Cuci
Darah), karena Tuhan sudah menemani Ibu saya yang telah berjuang melawan
penyakitnya selama belasan tahun.
Tuhan
sudah mengatur semuanya, semua waktu yang tepat dengan kehadiran pribadi yang
juga tepat. Tuhan sudah menganugerahkan Nyawa Kedua (saat di Ruang HCU) bahkan
Nyawa Ketiga (saat di Ruang ICU) kepada Ibu saya. Kami menyadari bahwa Tuhan
sudah mempersiapkan psikis kami semua pihak Keluarga Inti dengan menempatkan
Ibu saya di Ruang HCU selama satu hari dan di Ruang ICU selama tiga hari serta
memberikan berbagai kesempatan bagi kami semua. Ibu saya diberikan kesempatan
untuk Peneguhan Iman selama empat hari, kami pihak keluarga pun diberikan
kesempatan untuk menaikkan doa dan pujian kepada Allah Tritunggal, baik ketika
masa kritisnya di Ruang ICU maupun di Rumah Duka Cijantung dan sampai ke Rumah
Baru Ibu saya. Tuhan sudah memberikan kesempatan kepada kami bertiga (Kakak
saya, Kakak Ipar saya, dan saya) berjuang bersama, mempertahankan rohnya tetap
ada, sampai ia benar-benar didoakan oleh Pendeta yang berstatus formal sebagai
Pendeta, tidak hanya kami para jemaat biasa. Saya tidak mengetahui apa yang
Pendeta tersebut doakan karena saya sedang tertidur di Ruang Tunggu ICU. Tetapi
saya bersyukur ketika Doa Penyerahan dipercayakan Tuhan kepada Kakak saya,
pihak Keluarga Inti, bukan kepada Pendeta tersebut. Ibu saya menghembuskan
nafas terakhirnya di depan kami yang merawatnya selama ini dan kami semua
bersyukur diberikan kesempatan untuk berada di sampingnya saat ia berpulang ke
pangkuan-Nya.
Secara
perlahan Tuhan mengambil salah satu anak-Nya untuk kembali kepada-Nya. Tuhan
sudah mengabulkan permohonan kami, menaikkan tensi darah Ibu saya dari 45/18
mmHg ke 100/60 mmHg. Dan kondisi tensi tersebut membuat saya berpikir bahwa Ibu
saya sudah pergi dengan tenang karena beliau memperlihatkan kondisi tensi
darahnya yang baik-baik saja. Tapi satu hal yang saya sadari bahwa segiat
apapun kita meminta dalam doa, Tuhan belum tentu mengabulkan apa yang kita
inginkan, tetapi Dia selalu memberikan apa yang kita butuhkan. Demikian juga
ketika saya merasakan sendirian di rumah selama beberapa hari Ibu saya di rumah
sakit, Tuhan sudah memberikan apa yang saya butuhkan. Sesungguhnya Tuhan sedang
mengajari saya untuk beradaptasi dengan kondisi dimana Ibu saya tidak berada di
rumah seperti hari biasanya. Saya juga diberikan pribadi yang khusus
ditempatkan Tuhan untuk meneguhkan iman saya, yakni NY dan WS serta Dosen
Pembimbing saya (yang bernama Mam NS) yang mengerti kondisi psikis saya saat
itu. Tuhan juga memberikan Pria Baik yang dapat bergerak cepat mengantarkan
saya kembali ke rumah sakit saat Jumat malam dan selalu stand by selama dua hari di Rumah Duka bahkan membantu mengangkat
peti mati Ibu saya. Ketika di Rumah Duka pun saya merasa surprise karena banyak teman saya (dari Kampus Pertama dan Kampus
Kedua) juga datang melayat. Mereka adalah NY, NPSSDU, SR (dari Kampus Kedua
yang sangat jauh), WS, ADK, JAT, EA, OPS, SC, EH, Junior saya yang bernama IS,
Senior saya yang bernama SMM dan Dosen saya yang bernama AOR, serta beberapa
rekan kerja (dari Kampus Pertama). Bahkan Keluarga Inti dan beberapa saudara
dari “teman” saya pun ikut melayat pada malam itu. Seminggu setelahnya banyak
teman SMP dan teman SMA yang berkunjung ke rumah saya. Saya melihat betapa
besar kasih mereka semua kepada saya dan saya bersyukur dipertemukan oleh
mereka. Terlebih lagi ketika PPM CKWE (sahabat saya dari Kampus Pertama)
mengajak saya bertemu di sebuah mall,
mereka benar-benar mengusir kesedihan saya karena sesungguhnya saya merindukan
mereka dan kami tidak memiliki kesempatan untuk berkumpul secara utuh. Dan
salah seorang sahabat (di antara PPM CKWE) memberikan beberapa masukan kepada
saya karena Ibunya terlebih dahulu “berpulang” sekitar empat tahun yang lalu.
Dengan
adanya kejadian ini saya semakin menyadari bahwa Allah adalah Sumber
Pengharapan (Roma 15:13) sekalipun tidak ada dasar untuk berharap tetapi kita
tetap harus berharap dan percaya kepada Dia (Roma 4:18). Dengan kejadian ini
juga, Tuhan telah mengajari saya untuk bermegah dalam kesengsaraan, karena
kesengsaraan menimbulkan ketekunan, ketekunan menimbulkan tahan uji, tahan uji
menimbulkan pengharapan, dan pengharapan tidak mengecewakan karena kasih Allah
telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan
kepada kita (Roma 5:3-5). Dengan adanya harapan yang kami untai dalam setiap
Doa Permohonan, Ibu saya telah mendapatkan Nyawa Kedua dan Nyawa Ketiga, suatu
anugerah kehidupan yang tidak dapat saya prediksi sama sekali. Meskipun pada
akhirnya Tuhan membawanya kembali ke Kerajaan Sorga, tetapi anugerah waktu dan
kesempatan yang Tuhan berikan sangatlah berharga bagi kami. Tuhan sudah
memberikan banyak hal yang kami butuhkan, memberikan waktu dan kesempatan yang
tidak akan datang untuk kedua kalinya. Karena Tuhan tahu apa yang kita
butuhkan, siapa yang harus berada di sekitar kita, dan kapan waktu yang tepat
agar Dia bertindak. Yang dapat kita lakukan hanyalah mengerjakan bagian kita,
karena Tuhan pasti akan mengerjakan bagian-Nya. Terpujilah nama Tuhan.
Semoga bermanfaat.
Tuhan Yesus memberkati.