Kamis, 19 Januari 2017

Semua yang Terbaik Berasal dari Tuhan



Tulisan ini adalah sebuah Janji Pribadi terhadap diri saya sendiri, ketika kondisi psikis saya sudah mulai normal pasca berpulangnya Ibu saya ke pangkuan-Nya, maka saya akan mempersembahkan satu tulisan lagi untuk Dia. Saya melihat betapa besar kebaikan Tuhan di dalam hidup saya, terkhusus saat Ibu saya meninggal dunia. Saya merasakan bahwa Tuhan sudah mengatur semuanya dengan sangat rapih dan lembut, mempertemukan saya dengan berbagai pribadi yang tepat, membuat perencanaan yang bagus, dan mempersiapkan semuanya. Meskipun di beberapa saat tertentu saya merasa drop dan seharusnya tidak sanggup menjalaninya sendiri, tetapi saya dikuatkan oleh Tuhan untuk melewati semuanya.


Seminggu sebelum Ibu saya meninggal, saya mengalami mimpi buruk. Di dalam mimpi tersebut, saya sedang berada di rumah tetangga saya yang letaknya tepat di depan rumah saya dan berada agak tinggi jika dibandingkan dengan rumah saya (padahal di dunia nyata, rumah kami semuanya memiliki tinggi yang sama persis). Saat itu saya melihat Ibu saya berada di dalam rumah dan Ayah saya berada di belakangnya, mereka berdua sedang duduk di dalam rumah. Kemudian ada angin kencang yang datang dari arah kanan rumah saya dan Ibu saya berteriak memanggil saya untuk meminta tolong dengan rasa panik, entah kenapa saat itu Ayah saya tetap tenang. Saya tidak sempat pulang ke rumah karena sedetik kemudian angin kencang itu menyapu rumah saya dari arah kanan ke kiri. Namun yang habis terbawa angin hanyalah atap rumah yang berada di atas teras rumah saya yang terlihat rapuh (karena terbuat dari seng yang ditutupi oleh jerami), rumah saya tetaplah utuh dan kokoh. Ketika saya terbangun, saya pun langsung mencari tahu makna mimpi tersebut melalui search engine di telepon genggam saya. Maknanya sangatlah membuat saya shock, namun saya berusaha untuk tidak mempercayai mimpi tersebut, karena semestinya saya harus percaya kepada Sang Pencipta dari pada percaya kepada Bunga Tidur. Mimpi itu hadir ketika Ibu saya mengalami keluhan terakhirnya yang tidak saya sadari bahwa “waktunya sudah dekat”. Pada saat tertentu, sekitar dua kali dalam sehari ia merasakan kedinginan yang amat sangat, bahkan tidak ampuh untuk diberikan dua buah selimut tebal dan bantal panas untuk mengkompresnya. Di dalam kedinginan tersebut, ia juga mengalami tremor (badan gemetar) selama satu jam. Setelah itu ia tenang dan bisa tertidur pulas, bahkan sampai berkeringat dan mengipasi dirinya sendiri karena terlalu panas. Hal ini terjadi sekitar empat hari lamanya, Ayah saya sangat setia menjaga dan merawatnya. Sementara saya terlalu fokus kepada deadline Tugas Akhir saya dan tidak terlalu memperhatikan gejala yang muncul. Namun demikian, Ayah saya tetap berkoordinasi dengan Kakak saya sebagai Petugas Medis (Tenaga Terdidik).


Kamis, 17 November 2016, pukul 15.00 WIB. Kami membawa Ibu saya untuk menginap di rumah Kakak saya agar dirawat lebih intensif dari pada di rumah kami (karena kami hanyalah Tenaga Terlatih dan bukan Tenaga Terdidik). Kakak saya mulai menginfusnya kembali, seperti biasa yang ia lakukan di rumah kami. Malam hari, Ibu saya mengalami gejala yang sama, tremor itu membuat badannya tidak tenang sehingga infus yang dipasangkan menjadi terlepas, sama seperti halnya ketika ia diinfus di rumah kami. Ia pun mengalami kondisi pernapasan yang sesak dan diberikan pernapasan oksigen oleh Kakak saya melalui tabung oksigen yang dapat dipindahkan. Namun rasa sesak itu masih bertahan hingga malam hari, gejalanya bertambah, tidak seperti di rumah kami ia hanya merasakan kedinginan dan tremor. Tepat pukul 00.00 WIB, kami (saya, Kakak saya beserta dengan suaminya) membawanya ke Rumah Sakit Swasta yang berlokasi di daerah Cempaka Putih. Rumah sakit tersebut adalah rumah sakit langganan Ibu saya, karena ia memang hampir sekali setahun menginap di sana, dan kami sudah terbiasa membawanya ke sana pada waktu tengah malam karena kondisi yang mendesak. Namun kali ini ia tidak menginap di kamar yang biasa, Dokter Jaga di Ruangan IGD (Instalasi Gawat Darurat) menginstruksikan Kakak saya untuk membawa Ibu saya agar dirawat di Ruang HCU (High Care Unit) lantai 6 karena dokter tersebut melihat kondisi Ibu saya yang terlihat ngos-ngosan. Karena di Ruangan HCU memiliki alat khusus untuk mengontrol kondisi pasien, mendeteksi gerakan jantung pasien serta mengalirkan oksigen untuk membantu pernapasannya. Meskipun kami sudah mengurus administrasi untuk Ruangan Rawat Inap biasa, namun akhirnya kami mengurus administrasi kembali dan merubahnya ke Ruang HCU. Setelah kami mengantarkannya ke Ruang HCU tersebut, Kakak saya mengajak saya untuk menginap di rumahnya saja supaya saya tidak menjadi sakit. Karena Ruang Tunggu HCU sangatlah dingin dan kami tidak membawa peralatan menginap yang sanggup untuk menahan dinginnya ruangan tersebut. Lagi pula keluarga pasien tidak diperbolehkan untuk tidur satu kamar dengan pasien karena sudah ada para perawat yang menjaganya di Ruang HCU. Sebagai informasi tambahan, suhu Ruangan Rawat Inap jauh lebih “manusiawi” jika dibandingkan dengan suhu Ruang Tunggu HCU tersebut.


Jumat, 18 November 2016, pukul 09.00 WIB. Saya sampai di Ruang HCU dan beberapa perawat beserta keluarga pasien di Ruang Tunggu langsung mengatakan bahwa sejak semalam Ibu saya memanggil-manggil nama saya, para perawat juga mencari keluarga pasien dari Ibu saya untuk melaporkan bahwa baru saja Ibu saya muntah dan mereka meminta kami untuk mempersiapkan tissue dan pampers khusus untuk Ibu saya. Akhirnya saya masuk ke Ruangan HCU dan menjaganya sebentar. Karena saya tidak enak menjadi satu-satunya pihak keluarga pasien di dalam Ruang HCU, saya meminta izin kepada Ibu saya agar saya menunggu di luar saja (karena semua keluarga pasien memang menunggu di luar) tetapi ia menyuruh saya untuk tetap berada di dalam, hanya keluarga Ibu saya yang terasa diberikan “status khusus” karena diperbolehkan untuk berada di dalam Ruangan HCU. Siang hari, saya memberikannya air putih hangat beserta roti sobek (tanpa selai) sebagai makanannya, karena tadi pagi ia muntah dan tidak mau minum susu yang diberikan oleh Perawat Ruang HCU. Hari itu ia mengeluhkan badannya pegal-pegal dan itu membuatnya ingin terus bergerak dengan kondisi pernapasan yang masih ngos-ngosan. Berkali-kali ia meminta saya agar membantunya untuk duduk, kemudian tidur (dengan posisi badannya miring ke arah kiri), kemudian ingin duduk lagi, kemudian tidur lagi, kemudian ia meminta untuk dipijat badannya, begitu seterusnya. Ia kembali mengalami kondisi badan yang mengigil, tetapi tidak mengalami tremor seperti hari-hari kemarin. Saya menunggunya sambil mengerjakan Tugas Akhir saya di notebook yang saya bawa sejak hari Kamis pada saat ke rumah Kakak saya. Namun karena melakukan double job saya merasa hasilnya tidak maksimal dan saya memutuskan untuk menjaga Ibu saya saja. Saya menunggu Kakak saya datang membawa karet kompresan air panas untuk mengurangi rasa dingin yang dialami Ibu saya. Saat Kakak saya datang, ia memimpin Ibu saya untuk berdoa. Kakak saya berdoa sambil menangis karena ia tidak pernah melihat kondisi Ibu saya yang sesak nafas di Ruangan HCU seperti demikian. Saya pun ikut menitikkan air mata namun berpura-pura tegar dengan melihat-lihat ke arah lain sebagai pengalihan pikiran. Di sisi lain, saya mengingat dua deadline saya pada esok hari dan dengan keegoisan serta rasa panik yang teramat sangat, saya memutuskan untuk pulang ke rumah pukul 16.00 WIB untuk melanjutkan Tugas Akhir saya yang harus dilaporkan Sabtu besok dan mempersiapkan diri untuk melakukan presentasi di salah satu Mata Kuliah yang saya ikuti di Semester Terakhir tersebut.


Saya sampai di rumah sekitar pukul 17.00 WIB dan langsung membeli lauk untuk makan malam. Memang dalam kondisi seperti ini saya tidak sempat lagi untuk memasak seperti hari-hari biasanya. Setelah makan dan beristirahat sejenak, tepat pukul 18.30 WIB, Abang saya kembali ke rumah sakit dengan membawa berbagai perlengkapan untuk menginap di rumah sakit, sehingga saya menjadi seorang diri di rumah. Saat itu kondisi saya memang sangat tenang dan fokus saat mengerjakan Tugas Akhir saya di rumah. Namun hal itu hanya berlaku selama 15 menit. Selanjutnya, tanpa sadar tiba-tiba saya menangis, saya rindu dengan Ibu saya dan saya ingin ia kembali ke rumah kami. Hal ini bukan yang pertama kalinya, karena di masa lampau saya pun pernah menangis di rumah saat sendirian karena saya rindu dengan kondisi Ibu saya yang semestinya berada di rumah, bukan di rumah sakit. Setelah saya berdoa dengan khusyuk (sambil menangis) untuk kesembuhan Ibu saya, sekitar pukul 19.30 WIB Ayah saya melaporkan di Group What’s App kami bahwa Ibu saya dipindahkan ke Ruang ICU (Intensive Care Unit) dan saya beserta Abang saya harus segera ke sana karena kondisi Ibu saya sangat kritis. Jantung saya langsung berdetak cepat, saya merasa bersalah ketika pukul 16.00 WIB tadi meninggalkannya dan saya takut ini adalah “waktu-Nya” karena Ayah saya mengistruksikan agar kami semua berkumpul di rumah sakit karena kondisi Ibu saya sedang kritis. Saya yang sedang sendirian di rumah tidak memiliki pilihan lain, secepat kilat saya menelepon “teman” saya sambil mematikan komputer dan bersiap kembali ke rumah sakit. Pria Baik itu pun segera merespon saya dan langsung menuju ke rumah saya. Dalam perjalanan ke rumah sakit, saya hanya bisa menangis di atas motor yang melaju cepat.


Sesampainya di rumah sakit, Jam Besuk Pasien memang sudah habis dan Ruangan ICU sudah ditutup, namun Kakak saya memang sudah meminta izin kepada dokter dan perawat bahwa masih ada satu anaknya yang belum hadir dan harus melihat Ibu saya. Dengan diantarkan oleh Satpam Ruang ICU, saya pun berjalan ke dalam Ruang ICU dengan kondisi tubuh yang gemetar, wajah yang tegang, suasana hati yang cemas, kondisi jiwa yang shock, dan perasaan yang berkecamuk karena baru kali ini ada Keluarga Inti saya dirawat di Ruang ICU dengan kondisi yang sangat kritis. Akhirnya saya melihat Ibu saya tertidur pulas di atas kasur, dengan kondisi dipenuhi berbagai selang dan kabel (mulai dari infus yang bercabang, dua buah mesin pendeteksi jantung beserta ventilator sebagai bantuan pernapasan). Saya pun berdoa sambil menangis, tangan kiri saya memegang tangan kirinya dan tangan kanan saya memegang dahinya. Saya ungkapkan padanya bahwa ia harus bertahan, ia harus ikut serta memberikan Ulos Hela saat saya menikah nanti (sebagai pralambang bahwa orang tua dari pihak keluarga wanita menyerahkan putrinya kepada pihak keluarga pria). Ia juga harus melihat saya diwisuda untuk kedua kalinya karena kali ini ia yang menyekolahkan saya dengan uang tabungannya (yang diprovokasi oleh Kakak saya agar saya melanjutkan studi karena nilai akademik saya dianggap baik). Saya ingin ia melihat tuaian yang telah ia tabur, melihat Abang saya dan saya menikah, melihat semua cucu dari kami anak-anaknya. Setelah selesai berdoa, saya keluar Ruangan ICU karena waktu yang diberikan hanya 10 menit. Di luar Ruang ICU kami semua berkumpul membentuk lingkaran dan berdoa secara bergantian. Kami tidak melakukan Doa Penyerahan, tapi kami melakukan Doa Permohonan. Kami mengungkapkan harapan kami agar Ibu kami dapat sehat kembali dan pulang ke rumah serta melakukan aktifitasnya sehari-hari. Setelah itu kami semua pulang dan Kakak saya yang menjaga malam itu agar ia segera mengetahui perkembangan kesehatan Ibu saya. Dengan statusnya yang sama dengan para dokter, keluarga kami lagi-lagi mendapatkan status yang “lumayan”, karena Kakak saya lebih leluasa masuk ke ruangan khusus untuk berdiskusi dengan dokter yang merawat Ibu saya. Saat kami ingin pulang, Kakak saya pun dipanggil ke dalam Ruang ICU. Saya sangat khawatir ada kabar buruk yang kami terima, kami khawatir ini “waktu-Nya”. Wajah saya kembali tegang, jantung saya berpacu dengan sangat cepat, saya khawatir akan kehilangan Ibu saya karena saya baru saja melihat ia tertidur dengan ventilator dan itu semua membuat saya shock. Namun Tuhan masih memberikan Kesempatan Hidup Kedua bagi Ibu saya, kabar duka tidak datang pada malam itu.


Setelah berdoa bersama dan kondisi menjadi lebih tenang, kami pulang ke rumah. Malam pertama di Ruang ICU, Kakak saya yang menjaga Ibu saya agar pihak keluarga lebih quick response dalam menanggapi instruksi dari pihak dokter, Abang Pertama saya ternyata juga menginap di sana. Dalam perjalanan pulang, Ayah saya bercerita bahwa pada sekitar pukul 19.00 WIB, Ibu saya sempat berhenti bernapas, ia sempat “hilang” karena jantungnya berhenti memompa dan paru-parunya berhenti bekerja. Namun karena otaknya masih bekerja, maka otak tersebut masih merespon ventilator yang masuk ke dalam paru-parunya dan kembali menginstruksikan jantung beserta paru-paru agar kembali bekerja. Kami bersyukur karena Tuhan sudah menciptakan salah satu bagian fatal yang sangat kecil namun berperan sangat besar tersebut, sehingga kami masih bisa merasakan hidup bersama dengan Ibu kami. Kami bersyukur karena Tuhan sudah menyediakan dokter dan perawat yang siap siaga untuk mengambil tindakan memasukkan ventilator dan memindahkan Ibu saya ke Ruang ICU yang hanya satu lantai di bawah Ruang HCU. Kami bersyukur karena Tuhan sudah menyediakan beberapa keluarga yang stand by di rumah sakit untuk menjadi saksi bahwa Ibu saya mendapatkan Nyawa Kedua yang belum tentu didapatkan oleh semua pasien. Setiap saya berdoa di sebelah kirinya saat Jam Besuk di Ruang ICU pun, saya selalu menorehkan lambang salib di dahinya. Karena saya bersyukur otaknya masih bekerja untuk merespon ventilator yang masuk, sekaligus mengingatkan beliau bahwa Tuhan selalu bekerja di dalam setiap aspek kehidupan beliau.


Sekitar pukul 22.00 WIB kami sampai di rumah dan saya pun berusaha melanjutkan Tugas Akhir saya di tengah kondisi jiwa yang sangat labil. Saya tidak berhenti menangis sambil mengetik, pikiran saya bercabang namun saya harus membuat progress pada Tugas Akhir saya. Seketika itu juga sahabat saya yang bernama NY menelepon dan menanyakan kabar saya. Karena dia tahu bahwa saya yang sering merawat Ibu saya sehingga hubungan interpersonal di antara kami pasti lebih dekat. Sebagai informasi tambahan, saya memiliki beberapa sahabat dekat di Kampus Kedua, meskipun tidak sebanyak di Kampus Pertama. Dia adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang memiliki dua anak, pribadi yang seumuran dengan Kakak kandung saya dan kami pun memiliki chemistry tersendiri. Ia menelepon dan memberikan motivasi, saya pun tidak bisa menahan tangis. Dia adalah pihak pertama di Kampus Kedua yang mendengar saya menangis tersedu-sedu, karena selama Program Belajar Dua Tahun saya belum memiliki kesempatan untuk menunjukkan sisi rapuh saya di depan mereka. Saya ingat apa yang NY katakan melalui sambungan telepon :


“Yang harus lo lakukan sekarang adalah, selama di rumah sakit lo kerjain itu Tugas Akhir lo sambil jagain Nyokap lo. Lo bawa itu notebook punya lo, kalo ada Jam Besuk lo langsung bisa manfaatin, lo harus temenin Nyokap lo selama Jam Besuk. Nanti kalo Tugas Akhir lo udah selesai, lo kirim by email ke gue, biar gue print dan kasih ke Dosen Pembimbing lo, karena rumah gue lebih deket ke kampus dari pada lo yang harus ke kampus. Lo gak usah pikirin punya lo kebanyakan gambar yang harus di print terus printer gue jadi rusak. Lo tenang aja, printer gue hemat tinta dan kertas itu harganya murah. Gak usah perhitungan, gak usah ada rasa gak enakan. Pokoknya lo harus manfaatin semua kesempatan yang ada, gue yakin lo pasti bisa. Lo gak “kosong” amat kok, gue tau kemampuan lo. Besok lo gak usah presentasi, Bapak Dosennya pasti paham kok. Minta kelompok lain aja yang presentasi, atau bahkan bagian lo di-back up sama temen sekelompok lo. Pokoknya lo fokus aja jagain Nyokap lo sama kerjain Tugas Akhir lo, udah itu aja. Semangat Win, demi Nyokap lo, manfaatin semua waktu yang ada”.


Entah si NY memiliki feeling tertentu atau memang dia tidak merasakan firasat apapun, yang jelas pemikiran yang NY utarakan adalah benar, saya harus memanfaatkan semua waktu dan kesempatan yang ada. Saya berusaha untuk menjalani dua kondisi, menenangkan diri dari tangisan yang jarang berhenti, mendinginkan pikiran agar Tugas Akhir saya terselesaikan. Akhirnya saya mengusahakannya sampai pukul 03.00 WIB kemudian berdoa dan beristirahat. Seperti yang sering NY katakan kepada saya untuk menenangkan saya, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mepunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6:34). Saya bersyukur memiliki sahabat baik seperti NY, yang menelpon saya di waktu yang tepat dan mengucapkan kata yang sangat mengena di hati. Saya bersyukur memiliki Dosen Pembimbing yang sangat luar biasa yang bernama Mam NS, karena beliau sangat mengerti mengenai kondisi psikis mahasiswinya. Beliau mengatakan, “Take care of your Mom, it is more important”, kalimat yang singkat namun sangat berarti bagi saya. Saya juga bersyukur memiliki Dosen Pengajar yang baik dan teman satu kelompok yang luar biasa hebat karena mereka dapat mem-back up bagian dari presentasi saya sehingga saya bisa beristirahat di rumah dan membuat progress pada Tugas Akhir saya agar sore hari saya kembali ke rumah sakit.


Sabtu, 19 November 2016, pukul 15.00 WIB. Saya kembali ke rumah sakit dan bertemu dengan beberapa saudara dari pihak keluarga Ibu saya yang sedang menjenguk. Saya pun masuk ke dalam Ruang ICU dan berbicara dengan Ibu saya. Kondisinya sangat segar, bibirnya memerah, saya melihat kemajuan yang sangat pesat jika dibandingkan dengan kondisi semalam. Bahkan ia bisa berbicara secara verbal, namun kami hanya membaca gerakan bibirnya karena ia tidak bisa mengeluarkan suara akibat terganjal ventilator. Saya tidak merasakan firasat buruk dan kondisi hati saya mulai tenang. Namun kami sekeluarga tidak berhenti berdoa agar Ibu kami kembali ke rumah kami dan melakukan aktivitasnya sehari-hari. Setiap berdoa pun saya menitikkan air mata, karena saya shock merasakan kondisi yang tidak biasa seperti ini. Selama Jam Besuk, saya berada di dalam menemani Ibu saya, bercerita mengenai apapun agar otaknya kembali bekerja. Terkadang ia menangguk dan tersenyum, melihat kami dengan mata yang bersinar dan tetap “berisi”. Karena selama 24 jam di Ruangan ICU, Ibu saya hanya bisa berkomunikasi dengan pihak keluarga selama Jam Besuk, yakni pukul 11.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB dan pukul 17.00 WIB sampai dengan pukul 19.00 WIB. Selebihnya, ia tertidur pulas atau bahkan hanya dapat  melihat ke arah atap rumah sakit dengan posisi tidur yang terlentang.


Minggu, 20 November 2016, pukul 07.00 WIB. Saya mengikuti Ibadah Pagi bersama dengan Ayah saya agar kami bisa langsung ke rumah sakit dan memanfaatkan semua Jam Besuk (pukul 11.00 WIB dan pukul 17.00 WIB). Tidak disangka bahwa hari minggu tersebut adalah Acara Ujung Taon Parhuriaon, Parningotan di Angka Na Monding. Hari dimana seluruh Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di dunia memperingati jemaat gereja yang terlebih dahulu sudah meninggalkan dunia ini. Di dalam Tata Ibadah, disebutkan beberapa informasi mengenai mereka yang sudah marujung ngolu (meninggal dunia) seperti nama lengkap, usia terakhir, alamat rumah, dan wilayah / sektor / wijk tempat tinggal. Saat Acara Parningotanni na Monding dimulai, semua lagu dan bacaan pun mengarah ke “Kehidupan yang Kekal Setelah Kematian”. Jemaat diingatkan bahwa suatu saat nanti, semua manusia akan kembali kepada Pemilik Kerajaan Sorga, hanya saja waktu-Nya yang akan berbeda. Saya tidak bisa menahan tangis karena mengingat Ibu saya yang sedang tergeletak di Ruang ICU. Saya bergumam di dalam hati, “Tuhan, tahun depan aku gak mau ada nama Mama di dalam Buku Ibadah ini. Masih banyak hal yang harus kami tunggu, kasih kami waktu lebih banyak lagi ya Tuhan”. Ya, saya hanya bisa berdoa dan memohon kepada Tuhan Pencipta Manusia, tapi saya belum tentu bisa menegosiasikan kepada-Nya mengenai kapan “waktu-Nya” tiba. Saya hanya bisa berdoa dalam pengharapan penuh, seperti dalam Kolose 1:23a (“Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil). Setelah ibadah selesai, kami langsung menuju ke rumah sakit. Saya langsung memanfaatkan Jam Besuk, membawa Alkitab kecil milik saya dan Buku Ende (buku nyanyian dalam Bahasa Batak) milik Ibu saya yang tidak sengaja saya bawa karena tadi pagi terburu-buru ke gereja dan menganggap bahwa kami mengikuti Ibadah Bahasa Batak (padahal pukul 07.00 WIB adalah Ibadah Bahasa Indonesia).


Siang itu seluruh keluarga dari pihak Ayah saya datang menjenguk. Setiap mereka yang masuk ke dalam Ruang ICU saya minta untuk berdoa, saya pun masih menitikkan air mata karena Ibu saya tidak menunjukkan kemajuan pesat pada hari kedua di Ruang ICU. Hari Minggu memang sangat dimanfaatkan untuk datang menjenguk, demikian juga sahabat saya sewaktu SMA yang bernama LW dan sahabat saya dari Kampus Pertama yang bernama WS. Kami bertiga dan juga Ayah saya berdoa bersama yang dipimpin oleh WS di depan Ibu saya. Ibu saya masih merespon kami dengan tatapan mata yang “berisi” meski tidak tersenyum dan lebih sering menutup mata. Jika saya perhatikan, kemampuan meresponnya agak menurun dari pada hari kemarin. Ia lebih banyak menutup mata namun masih bisa mendengar dan terkadang melihat sekitar, kami menginstruksikan agar ia mengangguk dengan memberikan pertanyaan sederhana yang hanya bisa dijawab dengan mengangguk atau menggelengkan kepala.


Mengenai sahabat saya yang bernama WS, sebagai informasi tambahan, saat malam minggu ia memang menghubungi saya karena ingin melepas rindu sebelum program acaranya berjalan. Sebagai seorang Asisten Produser ia memang sangat sibuk dan memiliki waktu yang sangat terbatas. Ia berjanji kepada dirinya sendiri bahwa sebelum Natal ia harus bertemu dengan teman-teman lamanya, yakni PPM CKWE yang tidak lain adalah sahabat saya juga. Demikian juga LW yang sedang melanjutkan Program Belajar Dua Tahun, hari itu ia membawa serta suami dan anaknya, menyempatkan diri untuk datang ke rumah sakit yang sebenarnya jauh dari rumah mereka. Setelah Jam Besuk habis, kami bertiga keluar mengantarkan LW kemudian entah kenapa saya lebih memilih untuk mengobrol berdua dengan WS dibandingkan dengan menjamu saudara-saudara dari pihak Ayah saya. Mungkin karena WS berdomisili di tempat yang jauh dan lebih sulit ditemui dari pada saudara-saudara saya, tapi saya rasa bukan, menurut saya itu adalah rencana Tuhan lainnya. Kenyataannya Tuhan sudah mempersiapkan WS (untuk yang kesekian kalinya) sebagai alat-Nya untuk menjadi salah satu Guru Kehidupan saya. Ketika kondisi psikis saya drop karena mengurus Ibu saya semasa beliau sakit pada masa lampau, WS sering menyemangati saya melalui sambungan telepon. Kali ini ia menyemangati saya ketika Ibu saya sedang dalam masa yang (agak) kritis. Entah dia memiliki firasat tertentu atau bahkan merasakan hal yang biasa saja, yang jelas saya terkejut dengan satu-satunya bahan pembicaraan kami yang serius, yang membuat saya tidak berhenti menangis. Saya ingat apa yang WS katakan di sebuah Mini Market di depan rumah sakit itu :


“Twin, apapun yang terjadi, lo harus percaya bahwa Tuhan Yesus itu baik. Lo percaya kan kalo Tuhan Yesus itu baik ? Gue sih tetap berdoa supaya Inang cepet pulih, tapi untuk kedepannya kita gak ada yang tau. Lo harus persiapkan diri lo, apapun yang terjadi lo harus kuat. Inget, apapun yang terjadi, lo harus kuat”, katanya memulai percakapan.
“Tapi masih banyak banget yang harus ditunggu, Nong”, saya meresponnya.
“Lo mau tunggu sampe kapan, Twin ? Sampe 20 tahun lagi ? Lo gak kasihan sama Nyokap lo ? Gue tau Nyokap lo itu adalah Wanita Perkasa. Udah lama kan dia sakit, bahkan waktu kita kuliah dulu pun lo sering jagain dia dan nolak kalo kami ajak jalan. Gue yakin kalo lo itu bisa jadi Wanita Perkasa kayak Nyokap lo”
“Gue akan kangen banget sama semuanya kalo hal itu benar-benar terjadi, Nong”
“Lo pikir gue gak kangen sama Bokap gue ? Kejadiannya udah tiga tahun yang lalu, tapi gue masih inget tuh waktu dulu dia bersandar di dinding sambil pegangin dadanya karena sesak. Bahkan tiap ke rumah sakit dan tanpa sengaja lihat tulisan “Poli Jantung” pun gue ngerasa flashback ke masa lalu. Ada saatnya lo nangis meraung-raung karena inget semua kejadian indah kalian, tapi ada saatnya lo dalam kondisi yang sangat tenang. Lo akan rasain semuanya yang udah pernah gue rasain dan semuanya butuh proses Twin. Gue yakin lo pasti kuat, kayak Nyokap lo. Banyak berdoa, karena lo hanya bisa minta kekuatan ke Tuhan Yesus. Gue juga dulu gitu kok, berat banget ditinggalin Bokap gue secara tiba-tiba, tapi itu yang terbaik untuk Bokap gue. Seharusnya lo bersyukur Twin, lo dikasih kesempatan dan kepercayaan untuk ngerawat Nyokap lo secara intensif. Gue juga bersyukur bisa temenin Bokap gue bolak-balik ke rumah sakit sambil kerjain Skripsi gue. Tapi itulah kesempatan gue buat ngerawat Bokap gue, dan gue puas udah melakukan itu semua, meski gak terlalu intensif kayak lo ngerawat Nyokap lo. Bagian gue udah selesai gue kerjain Twin, sisanya Tuhan akan kerjain bagian-Nya. Kalo isi doa gue yang sekarang, gue bersyukur karena Bokap gue udah gak ngerasain sakit lagi. Di Surga gak ada penderitaan Twin, yang ada hanya bersenang-senang memuji Tuhan. Lagian Tuhan udah siapkan semuanya Twin. Lo inget kan pas Bokap gue meninggal, pas banget ada si DM dan si CC yang lagi dateng ke kost gue sampe akhirnya mereka yang temenin gue ke rumah sakit dan bantuin ngurusin semua berkasnya ? Gak ada satupun yang kebetulan di dunia ini Twin, Tuhan udah siapkan semuanya dan lo gak boleh khawatir. Apapun yang terjadi, Tuhan Yesus itu baik, lo harus percaya itu”.


Ya, apa yang WS katakan memang benar. Apapun yang terjadi, saya harus kuat karena Tuhan Yesus itu sangat baik. Setelah saya mengantarkan WS pulang, saya kembali ke rumah sakit dan memanfaatkan Jam Besuk pukul 17.00 WIB. Saya memandu Ibu saya untuk beribadah singkat, yakni berdoa, bernyanyi, dan membaca Alkitab. Meskipun tidak memiliki latar belakang sebagai Pelayan Tuhan yang formal seperti Sintua ataupun Pendeta, namun saya nekat memberikan Pelayanan Firman (meski dalam kondisi psikis yang terguncang dan tangisan yang sering datang). Saya pun membacakan Alkitab untuknya yang ayatnya saya pilih hanya singkat namun mengena di hati, tujuannya ialah memberikan pengharapan mengenai kesembuhan kepada Ibu saya. Kami menyanyi bersama, meskipun Ibu saya hanya memejamkan mata dalam diam tapi dia mengangguk ketika saya menanyakan apakah dia mengetahui lagu yang saya nyanyikan. Namun sayang ibadah non-formal tersebut sering terganggu oleh kedatangan tamu yang lainnya, tetapi tidak apa karena tujuannya adalah sama, yakni mendoakan kesembuhan bagi Ibu saya. Selama di Ruang ICU memang banyak saudara yang menjenguk jika dibandingkan saat Ibu saya di Ruang HCU. Setiap mereka yang menjenguk lagi-lagi saya minta untuk berdoa. Saya pun tidak boleh egois karena saya tidak lagi memiliki Me Time Khusus dengan Ibu saya, karena saudara lain pun ingin berbicara dengan Ibu saya. Ketika Jam Besuk habis, kami pun pulang ke rumah.


Selama di Ruang ICU, saya merasa bahwa Ibu saya semakin jauh dari saya. Karena selama kami di rumah, saya dapat bertemu dengannya selama 24 jam non-stop. Sementara di Ruangan ICU, saya hanya dapat memanfaatkan waktu selama 4 jam dari 24 jam, itupun diselingi oleh saudara lain yang datang. Namun seharusnya saya sudah puas merawatnya selama beliau hidup, mengantarnya berjemur setiap pagi, menyeduh susunya setelah berjemur, mengambilkan makanannya, memandikan dia setiap sore (jika kondisi badannya tidak kuat untuk mandi sendiri), mempersiapkan semua obat (pagi 5 jenis, siang 2 jenis, malam 4 jenis) lengkap dengan suntik insulinnya, mengganti pampersnya setiap hari (jika kondisi badannya tidak kuat untuk buang air kecil secara normal), mengecek kadar gula darah dan tensi darahnya, mengantarkannya untuk check up ke Rumah Sakit Pemerintah di daerah Salemba, bahkan memakaikan baju serta make up setiap kami pergi. Saya ingat beliau sering mengkomplain saya, “Kau kok kalo dandanin saya kasar amat sih ? Lembut dikit kenapa kayak Tukang Salon itu”, ujarnya sambil tersenyum menggoda. Kemudian saya jawab, “Maklum lah Mak, mantan Pekerja Proyek, jadi sifat laki-nya gak bisa terpendam, hahaha”, jawab saya sambil berlalu karena saya terburu-buru mengerjakan hal lain. Dia pun sering menggoda saya ketika saya sedang mematut-matutkan diri di depan cermin, “Udah cantik kok, tapi sayang bolbol (gemuk)”. Atau bahkan tertawa sambil berkata, “Ehee,, Na rittik do ho (Ya ampun, kau udah gila rupanya)” ketika melihat saya berjoget dangdut di dalam rumah jika Pengamen Dangdut Gerobak sedang lewat di dekat rumah kami. Sekarang saya sangat rindu dengan suara dan senyumannya.


Ibu saya memang sangat perhatian kepada saya dan kami anak-anaknya. Beliau akan berteriak kencang memanggil saya, hanya untuk berkata, “Di TV katanya besok Hujan Sedang, bawa payung ya”. Ya, akhir-akhir ini beliau selalu menyaksikan Tayangan Ramalan Cuaca di Stasiun TV Merah milik swasta yang satu group dengan Kampus Kedua saya. Setiap jam beliau memasang channel tersebut hanya untuk melihat Ramalan Cuaca yang sama setiap harinya. Beliau juga meyuruh saya mandi dengan menggunakan air panas yang saya siapkan ketika air panas tersebut masih tersisa setelah saya memandikannya, beliau berkata, “Supaya sekalian habis airnya, supaya kau gak kedinginan”. Atau bahkan karena beliau sangat khawatir melihat saya menggunakan daster yang basah, beliau sampai menyuruh saya untuk mengganti daster sambil menangis, “Ganti dulu dastermu, supaya gak sakit kau. Nanti kalau kau sakit, siapa lagi yang ngurus saya ?”. Saya memang sering mengeluh karena hampir 15-30 menit sekali, beliau memanggil nama saya yang terkadang tidak jelas menginstruksikan apa, mungkin ia hanya ingin ditemani berbicara, namun saya menolaknya karena ingin melakukan kegiatan lain. Karena rasa percayanya terhadap saya, sebanyak apapun penghuni rumah yang ada di sekitarnya, namun yang dipanggil hanyalah nama saya. Sampai ketika ia mengalami sakit saat membuang air seni pun, ia hanya memanggil nama saya. Karena terlalu kesal, saya pun berkata, “Jangan panggil gue mulu kenapa Mak, gue kan bukan Tuhan, gue juga bukan Dokter, mana gue tau cara nyembuhin Mama ?”. Ya, setiap manusia memang memiliki batas kesabarannya masing-masing. Saya juga tidak munafik bahwa saya sering memarahi dan membentak Ibu saya sampai ia berkata, “Kau galak amat sih ? Kalau Mama mati, kau nangis nanti”. Di mulut saya hanya berkata, “Biarin aja. Ayo ah, lama banget dari tadi gak jalan-jalan, udah keburu pergi mataharinya nanti. Kalo besok ujan, gak bisa berjemur, kedinginan pula”. Tapi di dalam hati saya berkata, “Jangankan nanti, sekarang aja gue udah nangis”, saya bergumam sambil menghapus air mata tanpa sepengetahuan beliau. Meski sedang marah pun, saya hanya sebentar merasakan emosi yang meluap itu. Biasanya saya meninggalkan Ibu saya sendirian selama 10 detik kemudian saya kembali lagi. Karena semarah apapun saya, saya akan tetap merawat Ibu saya. Sesungguhnya saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika suatu hari nanti beliau berpulang ke pangkuan-Nya. Sekarang saya sangat rindu dengan teriakan dan omelannya.


Senin, 21 November 2016, pukul 08.00 WIB. Saya enggan untuk mengerjakan progress Tugas Akhir saya, tetapi saya justru “terpanggil” untuk menuliskan Lagu Rohani Batak yang akan saya nyanyikan bersama dengan Ibu saya saat Jam Besuk nanti. Saya memilih lagu yang bagus untuk saya nyanyikan di depannya, dan saya yakin bahwa beliau juga ikut bernyanyi di dalam hatinya. Sekitar pukul 09.30 WIB Ayah saya memberikan kabar melalui Group What’s App kami ketika ia sudah sampai di rumah sakit. Ayah saya berkata bahwa tensi darah Ibu saya semakin menurun menjadi 90/50 mmHg (padahal tensi darah di hari-hari kemarin sangat normal, setidaknya terendah hanya 100/60 mmHg yang masih bisa dikatakan di ambang batas normal). Pagi itu saya bersiap ke rumah sakit, saya ingin segera memanfaatkan Jam Besuk pukul 11.00 WIB. Namun saya harus menunggu seorang Ibu Asisten Rumah Tangga yang harus membersihkan rumah saya. Saya pun mengurungkan niat untuk pergi karena Ibu tersebut segera datang disaat saya sudah rapih mengenakan pakaian yang sering saya gunakan saat mengantarkan Ibu saya check up ke Rumah Sakit Pemerintah di daerah Salemba. Saya sengaja untuk menggunakannya pada hari itu karena saya ingin menggodanya, merangsang otaknya mengenai pakaian yang sering saya gunakan tersebut. Ibu saya pasti masih ingat ketika saya sering mengantarkan beliau check up setiap sebulan sekali, beliau sering mengkomplain saya, “Bajunya ganti kenapa sih, itu-itu aja, malu dilihat orang kalo bajumu cuma itu”. Ya, saya sering menggunakannya bukan karena baju saya hanya sedikit, tetapi karena saya nyaman dengan bahan dan warnanya. Motif casual yang membuat saya bebas bergerak karena dituntut oleh kondisi administrasi rumah sakit dan “pasien saya” yang mewajibkan saya harus cekatan dalam bergerak. Bahkan pada esok hari saya berencana ingin menggunakan seragam beliau saat ia mengajar, saya akan berpura-pura menjadi Guru SD dan merangsang otaknya kembali berpikir saat ia menjadi Wanita Perkasa di zamannya. Saya juga berencana untuk membawakan kopi sachet yang berasal dari kotoran hewan dan wanginya bukan main, ia selalu minta kepada saya ketika saya menyeduhnya setiap hari. Ketika ia meminta, saya pun berpura-pura bahwa isi gelas itu hanyalah air putih (saya sengaja berbohong agar dia tidak meminum kopi karena takut menaikkan kadar gula darahnya). Tetapi dia merayu saya sambil tersenyum dan mengedipkan matanya. Beliau berkata, “Jangan cipoa (bohong), dosa bohongin orang tua. Mintalah kopinya, sedikiiittt,,, aja”. Saya sengaja menggodanya dengan hanya mengambil setetes kopi di atas sendok itu kemudian menyodorkannya. Dia pun berkata, “Agoyamang, songon ilu ni na mate (Ya ampun, kayak air matanya orang meninggal)”. Hal ini adalah kalimat kiasan karena mereka yang sudah meninggal tidak mungkin bisa menangis. Setelah saya suapi satu sendok, dia pasti berkata, “Aduh mek enak bangaatt.. Dikit lagi laahh,,”, lanjutnya sambil merayu saya. Dan saya pun hanya pergi sambil menggodanya, “Kan udah satu sendok, katanya dikiitt,,”. Dan kami pun tertawa. Itulah beberapa barang yang saya rencanakan untuk dibawa agar merangsang otaknya agar aktif kembali.


Siang itu saya melanjutkan menuliskan beberapa Lagu Rohani Batak dan menyempatkan diri untuk menonton televisi. Entah kenapa sejak pagi hari saya memiliki feeling tertentu kalau tensi darahnya akan semakin menurun. Tetapi saya berusaha untuk tenang dan tidak terburu-buru ke rumah sakit karena Jam Besuk Pagi sudah berakhir dan Jam Besuk Sore masih lama lagi. Sekitar pukul 14.00 WIB pun saya mulai memesan Transportasi Online agar saya bisa lebih cepat sampai di rumah sakit. Entah kenapa saya menjadi lebih pikun hari itu, kunci rumah saya hilang entah kemana, saya lupa menaruhnya dan saya mencarinya seperti seorang nenek yang mencari gigi palsunya. Perasaan saya lebih tidak enak lagi, karena saya heran mengapa saya tiba-tiba menjadi blank yang tidak pernah saya rasakan. Tapi saya berusaha untuk positive thinking, mungkin karena fisik dan psikis saya sedang lelah. Saya menolak diantarkan oleh “teman” saya karena dari perhitungan waktu yang saya lakukan jalur tersebut akan mengurangi Jam Besuk yang harus saya manfaatkan. Sesampainya di rumah sakit saya mampir di sebuah warung makan untuk mengisi perut, saya tidak memiliki feeling tertentu dan makan dengan tenang. Saya tiba di Ruang Tunggu ICU satu jam sebelum Jam Besuk. Ketika Jam Besuk tiba, saya membawa serta Alkitab kecil saya dan Buku Ende yang sering digunakan oleh Ibu saya, tidak lupa turut serta kertas yang sudah saya tuliskan beberapa Lagu Rohani Batak yang saya kerjakan tadi pagi. Sesampainya di Ruang ICU, saya kaget melihat alat yang terpasang sejak Jumat malam itu, karena tensi darahnya hanya 45/18 mmHg. Ibu saya memang memiliki riwayat hipertensi, sehingga tensi darah 150/100 mmHg atau 140/90 mmHg sudah biasa saya lihat ketika saya mengecek tensi darahnya di rumah, namun memang lebih sering berada di batas 120/80 mmHg. Saya pun menangis dan berbicara banyak hal kepada Ibu saya agar otaknya tetap bekerja, setidaknya otak tersebut masih mengistruksikan telinga untuk mendengarkan agar ia masih “ada” di sana. Ayah saya pun menginstruksikan agar semua Keluarga Inti kami berkumpul di rumah sakit karena kondisi Ibu saya semakin kritis, kami takut bahwa malam itu adalah “waktu-Nya”.


Saya melihat kondisi Ibu saya yang (mohon maaf) megap-megap namun bukan sesak nafas. Saya tidak bisa menahan air mata karena saya tidak pernah melihat Ibu saya seperti ini. Saya pun lebih banyak berdoa dan berbicara mengenai betapa luar biasanya dia selama hidupnya. Saya bercerita mengenai perjuangannya saat menjadi Guru SD, pendatang dari desa yang berhasil hidup di Jakarta bersama dengan Ayah saya, membantu menyokong ekonomi keluarga dengan segala perjuangannya dengan menjual ayam negeri dan es bonbon. Saya bercerita mengenai betapa baiknya dia kepada para tetangga kami, secara refleks membuatkan kopi dan makanan ringan saat ada kerja bakti di sekitar rumah. Saya juga bercerita mengenai tetangga kami, seorang Ibu yang sering bersenandung saat ia memandikan atau menyuapi anaknya, tepat ketika saya menggantikan pampers Ibu saya atau menyuapi Ibu saya. Dan anehnya, ketika saya selesai melakukan pekerjaan saya, Ibu tetangga itu pun juga selesai mengerjakan tugasnya. Saya berkata kepada Ibu saya bahwa saat itu (bahkan hampir setiap hari) Tuhan seolah berkata kepada saya bahwa pada waktu saya kecil, saya diasuh oleh Ibu saya (sama seperti tetangga saya yang mengasuh anaknya). Namun sekarang saya harus membalas jasa kepada Ibu saya dengan merawatnya, dan suatu saat nanti saya juga akan berperan seperti tetangga saya tersebut. Sekitar pukul 17.30 WIB, Ibu saya mengalami batuk yang hanya sekali. Tekanan saat batuk tersebut mendorong badannya sedikit bangkit dari kasur dan tangan kirinya menggenggam erat tangan kiri saya meski hanya satu detik (karena selama saya menjenguknya, tangan kiri saya selalu memegang tangan kirinya dan tangan kanan saya selalu memegang dahinya untuk menorehkan lambang salib di dahinya). Genggaman tangan kiri itulah yang menjadi respon terakhirnya yang terkuat, meski ia hanya bisa menutup mata dan menitikkan air mata yang hanya sedikit. Mungkin ini yang Ibu saya sebut “ilu ni na mate (air mata orang meninggal)”, karena kuantitasnya sangat sedikit (hanya satu atau dua tetes) namun tetap menetes perlahan.


Sekitar pukul 17.45 WIB Kakak saya datang dan berbicara kepada dokter, dokter itu juga menghampiri saya namun hanya berkata, “Kami sudah melakukan yang bisa kami lakukan, obat yang dimasukkan sudah maksimal, sisanya silahkan dibimbing saja”. Kalimat yang mengandung eufemisme (penghalusan kata-kata) tersebut sangat membuat saya pasrah. Saya pasrah dengan angka yang ditunjukkan oleh alat tersebut dan pasrah dengan ekspresi wajah Ibu saya yang sudah terlihat “di ujung tanduk”. Keluarga Inti kami pun berdatangan, kami berusaha untuk mengajaknya berbicara secara bergantian agar Ibu saya tidak “hilang” malam itu. Saat itu saya juga bercerita panjang lebar seolah meracau, bahkan selama seperempat abad saya hidup, baru kali ini saya dapat mengucapkan, “Windy sayang Mama, kami semua masih mau merawat Mama”. Keluarga kami bukanlah pribadi yang manis di mulut, tetapi langsung bertindak. Saya yakin Ibu saya selama ini pasti dapat melihat rasa sayang yang saya berikan kepadanya, yang tentunya tidak akan dapat membalas rasa sayangnya kepada kami anak-anaknya. Saya juga meminta maaf kepada Ibu saya jika kami anak-anaknya sering melakukan kesalahan, dalam bentuk apapun. Di dalam hati dan pikiran kami anak-anaknya, Ibu saya tidak memiliki kesalahan apapun pada kami. Baru kali itu saya meracau sambil menangis, saya sadar mengenai apa saja topik pembicaraan kami. Saya sampai kehabisan ide untuk menceritakan hal apa lagi agar Ibu saya tetap mendengarkan saya.


Sekitar pukul 19.00 WIB saudara saya dari pihak Ibu dan Ayah kembali berdatangan. Kami pun menyempatkan diri untuk berdoa di Ruang Tunggu, membuat lingkaran kemudian secara bergantian mengucapkan Doa Permohonan, saya menutupnya dengan Doa Bapa Kami. Setelah selesai berdoa, tiba-tiba hujan deras turun, namun hanya sekitar lima detik, kemudian berhenti. Padahal hari itu tidak setetespun hujan turun sejak pagi atau malam hari, bahkan cuacanya pun tidak mendung, aneh memang. Saya kembali ke dalam Ruang ICU karena Ibu saya masih bisa dijenguk, malam itu Jam Besuk sudah tidak berlaku bagi keluarga kami karena para dokter dan perawat sudah “menyerahkan” Ibu saya kepada pihak keluarga untuk “dibimbing”. Sekitar pukul 20.00 WIB Ayah saya mengumpulkan kembali semua adik kandungnya untuk berbagi tugas jika nanti “waktu-Nya” tiba dengan alasan, “Mumpung otak saya masih fresh, takutnya nanti tidak bisa berpikir lagi kalau sudah ada “jawaban” yang pasti”. Sepertinya beliau sudah dapat “membaca kondisi” dan segera melakukan rapat internal dengan adik-adiknya yang sangat membantu kami dalam urusan Adat dan Pangarapoton, baik di Rumah Duka Cijantung maupun di Pekuburan. Sekitar pukul 20.30 WIB saudara dari pihak Ibu mulai berdatangan, yakni anak dari adik kandung Ibu saya, mereka sangat dekat dengan Ibu saya. Malam itu, semua yang hadir mendoakan Ibu saya, baik di Ruang Tunggu ICU maupun di dalam Ruang ICU. Salah satu keponakan Ibu saya pun mengurut-urut kaki Ibu saya sambil berkata, “Mana yang mau didapol (diurut), Mak Tua ? Kaki ini ajalah ya aku dapol” sambil menangis dan bergemetar. Saya yakin bahwa mereka juga shock melihat Mak Tua mereka dalam kondisi kritis yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Saya pun merasakan degup jantung saya yang semakin meningkat, saya tidak bisa tenang, saya berjalan cepat ke Ruang Tunggu ICU kemudian kembali lagi ke Ruang ICU, tanpa jelas tujuannya. Saya merasa bahwa wajah saya tegang, jantung saya berdegup kencang, tubuh saya gemetar, saya takut malam ini menjadi “waktu-Nya”. Saya terus mendoakan Ibu saya dan terus berdiri di sebelah kirinya, saya tidak sempat untuk duduk. Saya lelah dengan ini semua, saya merasa bahwa saya tidak sanggup, tetapi Tuhan tidak berhenti menguatkan saya.


Sekitar pukul 21.00 WIB Kakak Ipar saya (istri dari Abang saya) datang ke Ruang ICU. Ia juga mendoakan Ibu saya dan menelepon Ibunya untuk mendoakan Ibu saya melalui sambungan telepon. Ia juga membacakan Mazmur 91 untuk kedua kalinya, setelah saya membacakannya sekitar satu jam yang lalu. Kami semua hanya bisa berdoa, bernyanyi, dan membaca Alkitab di hadapan Ibu saya yang menutup mata namun beberapa kali nampak air matanya mengalir sedikit. Mungkin inilah perjuangan terakhirnya yang beriringan dengan perjuangan kami semua, kami mengupayakan apapun agar ia tetap “ada” di ruangan itu. Bahkan Kakak saya berkali-kali berdoa dan menginstruksikan saya untuk tetap bernyanyi (sebagai back sound doanya) dari Buku Ende nomor 474 yang berjudul “Ingkon Jesus do Donganku” (Hanya Yesuslah Temanku) untuk mengingatkan Ibu saya bahwa Tuhan Yesus yang selalu berada di sampingnya dalam kondisi apapun. Kakak Ipar saya juga memasangkan lagu rohani di telepon genggam-nya, sambil berkali-kali ia mengucapkan Mazmur 91:16 (“Dengan panjang umur akan Kukenyangkan dia, dan akan Kuperlihatkan kepadanya keselamatan dari pada-Ku”) sambil mengelus dada Ibu saya. Bahkan kami bertiga sering mengucapkan “Darah Yesus” yang membuat saya semakin merasakan peperangan iman yang sangat besar dengan kekuatan lain. Kami bertiga berjuang bersama di Ruangan ICU di detik terakhir dan saya menyaksikan sendiri bahwa Ibu saya mendapatkan Nyawa Ketiga. Ketika itu, Kakak saya dan Kakak Ipar saya berada di sebelah kanan Ibu saya dan membelakangi alat pendeteksi detak jantung. Saya yang selalu berada di sebelah kiri Ibu saya dapat melihat dengan jelas mengenai tampilan alat tersebut di sebelah kanan saya dan tampilan jam dinding di sebelah kiri saya. Sekitar pukul 21.30 WIB, saya melihat garis zig-zag seperti Sandi Rumput di alat itu terus berjalan dari arah kiri ke kanan. Namun setelahnya sempat muncul garis lurus sampai di tengah alat itu. Saya semakin shock dan secara refleks berkata, “Tuhan Yesus Kristus” sambil menarik tangan kiri Ibu saya. Selanjutnya garis zig-zag itu muncul kembali, menandakan jantung yang masih berdetak dan roh Ibu saya yang masih berada di dalam tubuhnya. Kakak Ipar saya bertanya, “Kenapa Win ? Mama udah membaik belum ? Alatnya nunjukin apa ?”. Saya hanya berkata, “Gak ada apa-apa Kak” sambil memasang wajah yang kaku karena shock dengan apa yang saya lihat. Saya merasa bahwa Ibu saya sudah lelah berjuang, saya melihat dan membuktikan sendiri mengenai perkataan yang kemarin disebutkan oleh sahabat saya WS, “Lo gak kasihan lihat Nyokap lo kayak gitu, Twin ?”. Saat itu saya sadar dan bergumam, “Si Twinong bener, kasihan Mama”. Kami pun pihak keluarga sesungguhnya sudah sangat lelah berjuang, terutama Kakak saya, Kakak Ipar saya dan saya sendiri di saat saya melihat alat pendeteksi jantung itu sudah menunjukkan sebagian dari garis lurus. Sejujurnya saya sudah lelah berdoa untuk mempertahankan roh itu berada di dalam tubuh Ibu saya. Baru kali itu di dalam hidup saya, saya merasakan perjuangan iman yang sangat luar biasa. Saya merasakan betapa lelahnya tarik menarik roh, saya merasa lelah berjuang melawan kekuatan lain yang lebih besar dari pada kekuatan saya. Dan memang sejak dokter meminta kami untuk “membimbing” Ibu saya, seluruh doa yang saya ungkapkan menunjukkan betapa pasrahnya saya malam itu. Saya tidak seperti Kakak saya yang masih optimis di dalam doanya, namun saya tidak berani untuk mengucapkan Doa Pelepasan, tapi tetap mengucapkan Doa Permohonan. Semua yang kami (pihak keluarga) lakukan sejak pukul 17.00 WIB dapat menaikkan tensi darahnya. Saya menyaksikan sendiri dengan mata kepala saya, angka di alat pendeteksi jantung itu menunjukkan 60/40 mmHg, setidaknya jauh lebih baik dari pada 45/18 mmHg ketika pertama kali saya dan Ayah saya masuk ke Ruang ICU saat Jam Besuk Sore.


Selanjutnya saya ke Ruang Tunggu ICU atas instruksi dari Kakak saya, “Lo berdoa di sana dan gue berdoa di sini. Gue mau sendirian dulu di sini, tinggalin gue sendirian di sini”. Saya dan Kakak Ipar saya pun ke Ruang Tunggu ICU dan lagi-lagi saya hanya bisa berdoa dengan jantung yang bedegup kencang. Sekitar pukul 22.00 WIB Abang saya tidak sengaja menyenggol kabel stop kontak sehingga menimbulkan korslet dan mematikan listrik di Ruang Tunggu. Saya benar-benar khawatir mengenai kondisi di dalam Ruang ICU yang juga mati listrik dan mematikan ventilator sebagai alat bantu pernapasan bagi Ibu saya, tapi ternyata gangguan tersebut hanya berlaku di Ruang Tunggu saja karena saya melihat lampu Ruang ICU tetap menyala. Saya tidak memikirkan adanya genset (pembangkit listrik buatan) yang pasti dipasang di tempat yang fatal seperti rumah sakit. Setelah beberapa saat saya berjalan-jalan dalam gelap, Kakak saya keluar dari Ruang ICU dan menarik tangan saya di dalam kegelapan menuju ke depan toilet. Saya kaget dan jantung saya semakin berdegup kencang, saya takut mendengar kabar yang perlahan tapi dapat membuat saya pingsan. Setelah kami duduk berhadapan di depan toilet yang memang sempit dan sepi, Kakak saya meminta agar kami berdoa bersama. Dengan matanya yang membengkak dan suara yang sengau karena terlalu banyak menangis, ia berkata, “Lo aja yang berdoa Dek, gue gak kuat”. Entah kenapa saya menjadi lebih tenang dari pada Kakak saya saat itu, mungkin Tuhan sudah mempersiapkan saya sejak hari Minggu ketika sahabat saya WS berkunjung. Saya dan Kakak saya pun berpegangan tangan dan berdoa, lagi-lagi saya hanya mengucapkan Doa Permohonan yang cenderung pasrah. Selanjutnya saya menyuruh Kakak saya untuk berdoa, “Gantian, lo yang doa”. Setelah kami berdoa, saya kembali menutupnya dengan Doa Bapa Kami. Selanjutnya kami kembali ke Ruang Tunggu dan tidak lama kemudian lampu di ruangan tersebut menyala. Kami kembali ke dalam Ruang ICU untuk melihat Ibu kami, tepat pukul 22.30 WIB pihak keluarga diminta untuk benar-benar menunggu di luar dan pihak rumah sakit berjanji akan mengabari apapun yang terjadi pada Ibu saya. Dengan kesadaran penuh, saya pun mengecup dahi Ibu saya dan berpamitan sambil berucap, “Windy tunggu di luar ya Mak, kami semua akan jagain Mamak malam ini”. Kami pun menunggu di Ruang Tunggu ICU dan mulai beristirahat. Kami benar-benar mengharapkan mujizat terjadi esok hari.


Sekitar pukul 22.40 WIB Pendeta dari gereja Kakak saya datang berkunjung untuk berdoa di hadapan Ibu saya dengan ditemani Kakak saya, kemudian Kakak saya mengantarkan Pendeta tersebut keluar dari rumah sakit. Tepat pukul 23.30 WIB Kakak saya membangunkan saya yang sudah tertidur di kursi selama satu jam. Kakak saya menginstruksikan saya agar pulang dengan Abang Kedua saya. Sedangkan Ayah saya tetap ingin di sana, ia sudah berada di sana sejak pagi karena ia bersikukuh bahwa Senin malam ia akan menjaga Ibu saya di rumah sakit dan setiap hari ia berada di rumah sakit sejak pukul 08.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Saya akui bahwa Ayah saya adalah sosok yang sangat setia dan bertanggungjawab. Saya memang berencana untuk menginap di rumah sakit pada malam itu, namun Kakak saya mengistruksikan kami untuk pulang ke rumah, menjaga kesehatan dan tetap membantu melalui doa di rumah. Kakak saya berkata bahwa tensi darah Ibu saya sudah lumayan, yakni 100/60 mmHg, seolah semuanya akan berjalan baik-baik saja pada malam itu dan mujizat akan terjadi esok hari. Ketika kami sedang membereskan barang, tepat pukul 00.00 WIB pada Selasa, 22 November 2016 speaker rumah sakit berbunyi memanggil keluarga Ibu saya. Saya tidak sengaja mendengarkannya sambil menatap lurus ke depan, garis panjang dan garis pendek di dalam jam dinding di Ruang Tunggu ICU itu benar-benar menyatu. Dengan terhuyung-huyung setengah sadar pun saya kembali ke dalam Ruang ICU dan melihat Ibu saya seperti keadaan yang tadi, tidur dengan biasanya namun alat pendeteksi jantung masih melaporkan garis zig-zag. Secara refleks kami berdoa bersama. Ayah saya berada di sebelah kiri Ibu saya dan memegang tangan Ibu saya. Saya berada di bawah Ibu saya sambil memegang kedua kakinya. Kakak saya berada di sebelah kanan Ibu saya dimana tangan kirinya memegang kepala ibu saya dan tangan kirinya memegang dada Ibu saya. Kakak saya pun mengucapkan Doa Pelepasan, “Tuhan, kami serahkan Mama ke dalam Tangan-Mu, terimalah rohnya di dalam Kerajaan-Mu”. Secara perlahan Ibu saya menghembuskan nafas terakhirnya, garis lurus nampak perlahan muncul berjalan di dalam alat pendeteksi jantung itu, dari kiri ke kanan hingga akhir layar. Saya tidak “memanggilnya” kembali karena semuanya berjalan begitu cepat dengan kondisi fisik saya yang masih setengah sadar. Dokter pun melihat semua kejadian itu dan menyinari mata Ibu saya dengan senter miliknya. Ya, “waktu-Nya” sudah tiba, pupil matanya merespon sangat minim, garis di alat pendeteksi jantung sudah lurus total, dan semua angka tidak terlihat lagi di alat yang terpasang. Perjuangan panjangnya sudah berakhir pada subuh hari itu, dan saya beserta Kakak saya pun secara bergantian mengucapkan terima kasih kepada Ibu saya karena beliau sudah mau berjuang bersama kami pada malam yang sangat panjang dan melelahkan itu. Bahkan ketika saudara dari Ibu saya datang kembali pada subuh hari itu, entah kenapa saya bisa tenang dan dapat menenangkannya, “Udah Ito, kan waktu Namboru sadar hari Sabtu kemarin itu Ito udah jenguk dan ngobrol sama Namboru”. Demikian juga ketika saya menelepon Abang Pertama saya untuk memberitakan kabar duka yang sejak sore kami persiapkan untuk datang menghampiri kami. “Halo, halo. Hmm,, Udah gak ada”, saya berbicara perlahan dan hati-hati karena saya takut Abang Pertama saya shock dan mengalami kecelakaan di jalan karena ia sedang dalam perjalanan mengantarkan istrinya pulang. Namun ia merespon dengan datar dan kosong, “Ohh,, yaa.. Yaudah”. Saya sudah tenang saat itu, karena saya sudah rela melepaskan Ibu saya. Saya tidak mau melihat Ibu saya menderita lagi dengan penyakitnya, saya tidak mau tarik menarik roh lagi dengan Tuhan Sang Pencipta yang 100 % mempunyai Hak Kepemilikan Hidup terhadap Ibu saya. Tuhan tidak mengizinkan beliau untuk menambah rasa sakitnya melalui HD (Hemodialisa / Cuci Darah), karena Tuhan sudah menemani Ibu saya yang telah berjuang melawan penyakitnya selama belasan tahun.


Tuhan sudah mengatur semuanya, semua waktu yang tepat dengan kehadiran pribadi yang juga tepat. Tuhan sudah menganugerahkan Nyawa Kedua (saat di Ruang HCU) bahkan Nyawa Ketiga (saat di Ruang ICU) kepada Ibu saya. Kami menyadari bahwa Tuhan sudah mempersiapkan psikis kami semua pihak Keluarga Inti dengan menempatkan Ibu saya di Ruang HCU selama satu hari dan di Ruang ICU selama tiga hari serta memberikan berbagai kesempatan bagi kami semua. Ibu saya diberikan kesempatan untuk Peneguhan Iman selama empat hari, kami pihak keluarga pun diberikan kesempatan untuk menaikkan doa dan pujian kepada Allah Tritunggal, baik ketika masa kritisnya di Ruang ICU maupun di Rumah Duka Cijantung dan sampai ke Rumah Baru Ibu saya. Tuhan sudah memberikan kesempatan kepada kami bertiga (Kakak saya, Kakak Ipar saya, dan saya) berjuang bersama, mempertahankan rohnya tetap ada, sampai ia benar-benar didoakan oleh Pendeta yang berstatus formal sebagai Pendeta, tidak hanya kami para jemaat biasa. Saya tidak mengetahui apa yang Pendeta tersebut doakan karena saya sedang tertidur di Ruang Tunggu ICU. Tetapi saya bersyukur ketika Doa Penyerahan dipercayakan Tuhan kepada Kakak saya, pihak Keluarga Inti, bukan kepada Pendeta tersebut. Ibu saya menghembuskan nafas terakhirnya di depan kami yang merawatnya selama ini dan kami semua bersyukur diberikan kesempatan untuk berada di sampingnya saat ia berpulang ke pangkuan-Nya.


Secara perlahan Tuhan mengambil salah satu anak-Nya untuk kembali kepada-Nya. Tuhan sudah mengabulkan permohonan kami, menaikkan tensi darah Ibu saya dari 45/18 mmHg ke 100/60 mmHg. Dan kondisi tensi tersebut membuat saya berpikir bahwa Ibu saya sudah pergi dengan tenang karena beliau memperlihatkan kondisi tensi darahnya yang baik-baik saja. Tapi satu hal yang saya sadari bahwa segiat apapun kita meminta dalam doa, Tuhan belum tentu mengabulkan apa yang kita inginkan, tetapi Dia selalu memberikan apa yang kita butuhkan. Demikian juga ketika saya merasakan sendirian di rumah selama beberapa hari Ibu saya di rumah sakit, Tuhan sudah memberikan apa yang saya butuhkan. Sesungguhnya Tuhan sedang mengajari saya untuk beradaptasi dengan kondisi dimana Ibu saya tidak berada di rumah seperti hari biasanya. Saya juga diberikan pribadi yang khusus ditempatkan Tuhan untuk meneguhkan iman saya, yakni NY dan WS serta Dosen Pembimbing saya (yang bernama Mam NS) yang mengerti kondisi psikis saya saat itu. Tuhan juga memberikan Pria Baik yang dapat bergerak cepat mengantarkan saya kembali ke rumah sakit saat Jumat malam dan selalu stand by selama dua hari di Rumah Duka bahkan membantu mengangkat peti mati Ibu saya. Ketika di Rumah Duka pun saya merasa surprise karena banyak teman saya (dari Kampus Pertama dan Kampus Kedua) juga datang melayat. Mereka adalah NY, NPSSDU, SR (dari Kampus Kedua yang sangat jauh), WS, ADK, JAT, EA, OPS, SC, EH, Junior saya yang bernama IS, Senior saya yang bernama SMM dan Dosen saya yang bernama AOR, serta beberapa rekan kerja (dari Kampus Pertama). Bahkan Keluarga Inti dan beberapa saudara dari “teman” saya pun ikut melayat pada malam itu. Seminggu setelahnya banyak teman SMP dan teman SMA yang berkunjung ke rumah saya. Saya melihat betapa besar kasih mereka semua kepada saya dan saya bersyukur dipertemukan oleh mereka. Terlebih lagi ketika PPM CKWE (sahabat saya dari Kampus Pertama) mengajak saya bertemu di sebuah mall, mereka benar-benar mengusir kesedihan saya karena sesungguhnya saya merindukan mereka dan kami tidak memiliki kesempatan untuk berkumpul secara utuh. Dan salah seorang sahabat (di antara PPM CKWE) memberikan beberapa masukan kepada saya karena Ibunya terlebih dahulu “berpulang” sekitar empat tahun yang lalu.


Dengan adanya kejadian ini saya semakin menyadari bahwa Allah adalah Sumber Pengharapan (Roma 15:13) sekalipun tidak ada dasar untuk berharap tetapi kita tetap harus berharap dan percaya kepada Dia (Roma 4:18). Dengan kejadian ini juga, Tuhan telah mengajari saya untuk bermegah dalam kesengsaraan, karena kesengsaraan menimbulkan ketekunan, ketekunan menimbulkan tahan uji, tahan uji menimbulkan pengharapan, dan pengharapan tidak mengecewakan karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (Roma 5:3-5). Dengan adanya harapan yang kami untai dalam setiap Doa Permohonan, Ibu saya telah mendapatkan Nyawa Kedua dan Nyawa Ketiga, suatu anugerah kehidupan yang tidak dapat saya prediksi sama sekali. Meskipun pada akhirnya Tuhan membawanya kembali ke Kerajaan Sorga, tetapi anugerah waktu dan kesempatan yang Tuhan berikan sangatlah berharga bagi kami. Tuhan sudah memberikan banyak hal yang kami butuhkan, memberikan waktu dan kesempatan yang tidak akan datang untuk kedua kalinya. Karena Tuhan tahu apa yang kita butuhkan, siapa yang harus berada di sekitar kita, dan kapan waktu yang tepat agar Dia bertindak. Yang dapat kita lakukan hanyalah mengerjakan bagian kita, karena Tuhan pasti akan mengerjakan bagian-Nya. Terpujilah nama Tuhan.


Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar