Selasa, 26 Agustus 2014

The Black Feeling

          Saya pernah mendengarkan suatu statement dari salah satu peramal di televisi yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya setiap orang memiliki Indra Keenam. Hanya saja, beberapa orang di antara mereka lebih peka menangkap sinyal-sinyal dari lingkungannya dan bisa mengasah kemampuan Indra Keenam-nya. Sedangkan sebagian yang lain hanya menerima sinyal-sinyal tersebut sambil lalu dan tidak peka terhadap Indra Keenam-nya”. Entah Indra Keenam atau bukan, yang jelas saya merasakan ada hal yang aneh pada diri saya, dan ini berlangsung selama beberapa kali. Saya lebih suka menyebutnya sebagai black feeling, karena feeling tersebut memprediksikan atau menggambarkan hal yang negatif mengenai orang lain yang tidak saya inginkan, dan saya juga tidak ingin bahwa “kemampuan” itu selalu “membayangi” saya. Black feeling yang saya maksudkan di sini ialah perasaan yang sangat yakin atau men-judge bahwa seseorang akan meninggal saat itu juga. Sesungguhnya saya merasa berdosa saat mengatakan dalam hati, “meninggal”, dan orang yang saya maksudkan benar-benar meninggal. Seolah saya yang menentukan kapan seseorang tersebut akan meninggal, bahkan saya terkesan “menyuruh” agar orang tersebut meninggal. Memang seram, tetapi itulah hal mistis yang pernah saya alami.


          Pertama kalinya saya merasakan black feeling ialah saat Ibu dari salah satu sahabat saya meninggal dunia. Satu minggu sebelum hari “keberangkatan” beliau, saya tahu bahwa beliau sedang sakit dan sudah keluar masuk Rumah Sakit beberapa kali. Dua hari sebelum hari “keberangkatan” beliau, saya sudah mem-planning-kan bahwa besok harus datang menjenguk. Entah kenapa saya sangat ingin menjenguk, dalam batin saya berkata, “Besok lo harus jenguk Nyokap sahabat lo”. Tetapi karena lokasi yang sangat jauh dan tidak ada teman untuk pergi ke sana, akhirnya saya membatalkan “panggilan hati” tersebut. Malam harinya saya bermimpi bahwa saat petang saya menggayuh sepeda ke rumah sahabat saya tersebut karena Ibunya sudah pulang dari Rumah Sakit. Lokasi yang sangat jauh pun saya tempuh tanpa rasa lelah, bahkan secara logika tidak mungkin saya menggayuh sepeda sejauh itu. Dalam perjalanan pergi, saya berpapasan dengan para Senior saya di kampus yang sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sahabat saya tersebut. Kondisinya sangat ramai, namun saya hanya melihat dengan jelas segerombolan Senior saya di kampus. Sampai di rumah sahabat saya, saya pun bertemu wajah dengan Ibu dari sahabat saya. Meski saya tidak mengenal wajahnya dan di dalam mimpi tersebut pun tidak jelas bagaimana wajahnya, namun beliau sangat gembira saat melihat saya datang. Wajahnya yang ramah mempersilahkan saya untuk masuk ke rumah mereka, padahal saya juga belum pernah menginjakkan kaki di rumah tersebut. Dalam mimpi tersebut saya melihat bahwa Ibu dari sahabat saya tersebut sudah segar bugar karena sudah keluar dari Rumah Sakit. Lalu saya terbangun dari mimpi saya yang jalan ceritanya tidak finish tersebut. Keesokan harinya, sekitar pukul 14.00 WIB, saya mendapat telepon dari sahabat saya yang lain, dia mengabarkan bahwa Ibu dari sahabat saya tersebut meninggal dunia. Saat itu saya sangat menyesal karena tidak menjenguk beliau (meski tidak kenal dekat, bahkan belum pernah bertemu sama sekali). Saya mengabaikan “panggilan hati” yang ternyata mengisyaratkan “sesuatu”.


          Saat malam harinya saya datang melayat bersama dengan sahabat-sahabat saya yang lain, saya pun menceritakan mimpi saya kepada sahabat saya yang berduka tersebut. Dia membenarkan bahwa sebenarnya Ibunya sudah sempat pulang ke rumah karena kondisinya sudah sehat, tetapi penyakit beliau kambuh di rumah dan tidak sempat dibawa ke Rumah Sakit kembali. Setelah saya pikir-pikir, mimpi tersebut memang bermakna “sesuatu”. Ternyata kumpulan orang-orang yang datang untuk bersukacita karena Ibu dari sahabat saya tersebut telah pulang dari Rumah Sakit bukan datang untuk merayakan karena beliau sudah pulang ke rumah, tetapi untuk berbela sungkawa karena beliau telah “pulang” ke tempat peristiharahatannya yang terakhir. Dan kedatangan saya dengan bersepeda saat petang dan berpapasan dengan para Senior yang sedang berjalan pulang dari rumah sahabat saya tersebut, mengartikan bahwa saya memang datang saat semua pelayat sudah pulang. Mengingat ada acara lain yang harus kami hadiri sejak siang sampai malam, kami sampai di rumah sahabat saya tersebut sekitar pukul 11 malam.


          Kedua kalinya saya merasakan black feeling ialah saat Ibu dari teman satu kelas saya meninggal dunia. Teman saya tersebut mengganti-ganti Display Picture di Smart Phone-nya selama 4 hari berturut-turut, dan Personal Message-nya dengan kata-kata penyemangat untuk Ibunya, sehingga kami tahu bahwa Ibunya sedang berada di Rumah Sakit. Saat itu saya “mati rasa” dan masa bodoh, di benak saya berkata, “ah, paling Ibunya cuma sakit biasa”. Beberapa hari kemudian salah satu teman sekelas kami mengabarkan bahwa tadi dia sudah menjenguk Ibu dari teman saya tersebut. Teman-teman satu kelas pun segera rapat di Smart Phone untuk menentukan kapan menjenguk beliau, naik kendaraan apa, berkumpul dimana, siapa saja yang ingin ikut, dan lain sebagainya. Jujur, saat saya mendengar kabar bahwa ada teman saya yang lain sudah menjenguk, saya pun merasa ingin menjenguk karena ada “panggilan hati” yang mengisyaratkan “sesuatu”. Kalau boleh jujur, sebenarnya saya adalah orang yang paling cuek ketika mendengar kabar bahwa orang lain sedang sakit dan saya sangat jarang untuk menjenguk orang sakit. Jadi saat pertama kali melihat Display Picture teman saya yang menggambarkan bahwa Ibunya sedang dirawat di Rumah Sakit, saya merasa bahwa tidak ada “sesuatu” yang perlu dikhawatirkan. Pada malam hari saat teman-teman saya rapat di Smart Phone , teman saya mengganti Display Picture lagi, Display Picture yang pernah saya lihat kemarin-kemarin. Di Display Picture tersebut saya melihat bahwa beliau sedang menggunakan Selang Oksigen sambil tertidur dan saya langsung berkata di dalam hati, “meninggal”. Padahal saat kemarin-kemarin teman saya mengganti Display Picture dengan foto tersebut, perasaan saya datar-datar saja, tidak ada “sesuatu” yang patut dikhawatirkan. Setelah 2 jam pembicaraan panjang dalam rapat di Smart Phone pun kami mendengar kabar bahwa beliau sudah “dijenguk Tuhan” sebelum kami menjenguknya.


          Ketiga kalinya saya merasakan black feeling ialah saat Ayah dari senior saya di kampus meninggal dunia. Malam itu ia mengganti Display Picture di Smart Phone-nya dan Personal Message-nya dengan kata-kata penyemangat untuk Ayahnya. Display Picture di Smart Phone tersebut menggambarkan seorang pria yang sedang menggunakan Selang Oksigen sambil tertidur. Entah mengapa saya langsung berkata di dalam hati, “meninggal”. Sekitar 2 jam kemudian saya melihat Personal Message-nya berubah menjadi “Selamat jalan Papa”.


          Pada kasus kedua dan ketiga (Ibu dari teman saya dan Ayah dari Senior saya), saya melihat Display Picture yang sama. Beliau menggunakan Selang Oksigen sambil tertidur di kasurnya, tanpa ada objek gambar yang menjelaskan bahwa beliau sedang tidur di Ruang ICU (Intensive Care Unit) atau tidak. Namun semua orang yang berada di Rumah Sakit pasti tidak selalu mengalami penyakit yang serius jika ia menggunakan Selang Oksigen. Dalam arti, keberadaan Selang Oksigen yang ditempelkan di hidung pasien tidak mengindikasikan bahwa pasien kekurangan udara atau sesak nafas lalu meninggal. Keberadaan Selang Oksigen di hidung pasien juga tidak mengindikasikan bahwa pasien tersebut mengidap penyakit yang parah. Bahkan pasien yang ingin menghirup Oksigen dari tabung meski tidak mengalami sesak juga diperbolehkan, tetapi akan ada tambahan biaya untuk membayar Oksigen tersebut. Dan usia dari beliau (Ibu dari teman saya dan Bapak dari Senior saya) pun tidak mengindikasikan bahwa mereka pantas untuk meninggal di usia demikian, usia 40 tahunan dan 60 tahunan. Karena usia manusia tidak dapat ditentukan oleh siapapun, bahkan anak yang baru lahir satu hari pun bisa meninggal dunia, tidak hanya mereka yang sudah manula yang harus meninggal dunia. Pada kasus kedua dan ketiga pun saya tidak tahu mengenai riwayat penyakit beliau (Ibu dari teman saya dan Bapak dari Senior saya), karena pada dasarnya saya tidak pernah terlibat obrolan serius mengenai penyakit beliau. Tetapi black feeling menghadirkan “kemampuan” yang aneh pada diri saya, meski hanya beberapa kali dan entah sampai kapan.


          Di sisi lain, saya juga mengalami hal yang kontradiktif dengan black feeling. Saat saya mengantarkan Ibu saya ke sebuah Rumah Sakit untuk dirawat inap, para pasien yang baru datang secara otomatis akan ditempatkan di Ruang UGD (Unit Gawat Darurat), kemudian dicek oleh para Tenaga Medis mengenai kondisi dan riwayat sakit pasien, lalu pasien ditempatkan ke kamar inap untuk melanjutkan perawatan. Saat Ibu saya menjalani pemeriksaan, tiba-tiba ada seorang Ibu yang menangis histeris masuk ke dalam Ruang UGD. Ia menggendong anaknya yang masih balita, yang sedang sesak nafas sampai kejang-kejang, sepertinya anak tersebut terkena Step (demam tinggi sampai menimbulkan kejang-kejang). Secara refleks, beberapa Tenaga Medis langsung memberikan pertolongan, mulai dari tabung oksigen dan selangnya, sampai memasukkan jarum untuk infus. Karena pertama kali melihat hal yang demikian, saya pun merasa sangat ketakutan, jantung saya berdegup kencang, ditambah lagi Ibu dari anak tersebut menangis histeris karena sangat takut. Jujur, saya takut anak tersebut tidak tertolong. Namun di dalam hati saya berkata, “Gak”, artinya anak tersebut tidak akan “pulang” saat itu juga, anak itu akan selamat. Benar saja, anak tersebut tidak kejang-kejang lagi setelah 20 menit ditangani oleh Tim Medis. Entah apa yang dilakukan oleh Tim Medis, yang jelas saya sangat bersyukur ketika ritme jantung balita 1 tahun itu sudah kembali normal. Hal lainnya, ketika saya melihat foto dari Senior saya yang masuk ICU (Intensive Care Unit) karena kecelakaan motor sampai beberapa kali operasi tulang, saya tidak merasakan ada “sesuatu” selain rasa kasihan (mengingat Senior saya yang satu itu adalah orang baik-baik). Saya tidak merasakan black feeling meskipun pada faktanya kecelakaan juga dapat merenggut nyawa manusia dengan seketika, tidak hanya penyakit parah saja yang dapat merenggut nyawa manusia. Saya tidak merasakan black feeling meskipun saya mendengar kabar bahwa dia sempat tidak sadarkan diri selama 1 hari, kemudian menjalani 10 jam operasi tulang, membutuhkan transfusi darah, dan beberapa minggu perawatan di Rumah Sakit. Saat saya menjenguk pun dia tidak bisa berbicara, hanya tidur dan mendengar para penjenguk yang berbicara.


          Dari beberapa kejadian di atas, yang saya pergumulkan adalah ada energi yang kuat dan pasti saat saya mengatakan “Gak” dan “Meninggal” di dalam hati saya, seolah ada tekanan feeling yang keluar dari tubuh saya. Namun tidak semuanya “kepulangan” bisa saya prediksi dengan black feeling. Sebagai contoh, Ayah dari sahabat saya tiba-tiba saja meninggal. Memang ternyata beliau mengidap penyakit jantung yang terlambat dideteksi. Semenjak saya mengetahui bahwa beliau sudah berkali-kali keluar masuk Rumah Sakit, saya ingin menjenguk, tetapi  tidak ada “panggilan hati” yang sangat mendesak seolah ingin mengisyaratkan “sesuatu”. Sekitar satu minggu setelah merencanakan untuk menjenguk, kami mendengar kabar bahwa kami harus ke Kabupaten lain untuk melayat beliau, bukan menjenguk beliau. Kondisi yang sama pun berlaku dengan Ibu dari sahabat saya yang sudah pulang ke rumah karena sudah sehat, tetapi akhirnya meninggal di tempat lain dan bukan di Rumah Sakit. Contoh lainnya ialah tetangga saya yang saya kasihi, yaitu Pakde Reno, suami dari Bude Reno. Saya sempat menjenguk ke rumahnya, bukan karena ada black feeling, tetapi karena saya rindu untuk bertemu sekaligus ingin memastikan bagaimana kondisinya karena selama ini saya hanya bisa mendengar kabar yang beredar dari mulut ke mulut.


          Sesungguhnya saya merasa takut dan horror karena black feeling yang saya miliki, lalu saya pun menceritakan kepada Sang Pria Terkasih. Dia hanya menyebutkan satu kalimat sakti, “Jangan melangkahi Tuhan, umur itu kan Tuhan yang tentukan”, saat saya menceritakan hal mistis yang saya alami. Memang benar, umur di tangan Tuhan, hidup dan mati juga sudah diatur oleh Tuhan. Mungkin manusia bisa memiliki black feeling atau firasat atau pertanda, atau indra keenam atau apapun namanya, namun keputusan terakhir berada di tangan Tuhan dan bukan di tangan manusia. Seperti black feeling yang saya alami, itu hanyalah “sinyal” yang saya terima dari lingkungan atau bahkan “sinyal” yang diterima oleh suara hati saya. Bukannya saya yang menentukan bahwa orang tersebut akan meninggal atau harus meninggal saat itu juga. Tetapi saya malah merasa sangat berdosa karena hanya dengan melihat foto, saya bisa menentukan bahwa ia akan meninggal. Apapun namanya, black feeling atau pertanda atau firasat atau indra keenam atau ramalan, saya tidak akan bisa mengubah apa yang sudah Tuhan perintahkan untuk terjadi. Karena black feeling yang saya miliki hanya keluar di detik-detik terakhir, satu minggu bahkan dua jam sebelum beliau-beliau “menghadap” Tuhan. Artinya, ketika saya memiliki firasat, hal itu hanya menginformasikan kepada saya sendiri bahwa beliau-beliau akan dipanggil Tuhan, saya tidak punya wewenang untuk memberitakan kepada orang lain bahwa beliau-beliau akan “berpulang”, bahkan saya tidak dapat menghentikan atau membatalkan maut yang menjemput dengan adanya black feeling. Karena semua yang saya terima hanyalah “berita”, tanpa ada wewenang untuk mengganti “isi berita”.


Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.