Jumat, 10 Mei 2013

Tekanan Batin Berbanding Lurus dengan Keberanian Untuk Curhat (Kamis, 23 Februari 2012)


          Untuk ketiga kalinya saya mendengarkan curhatan orang yang tidak saya kenal sama sekali. Orang pertama ialah seorang pemuda, ia adalah pedagang kecap dan saus di sebuah pasar tradisional di daerah Jakarta Selatan. Saat itu saya sedang mencari kardus bekas untuk membungkus barang - barang saya, saya bertanya kepada pemuda itu apakah dia menjual kardus bekas atau tidak. Akhirnya pemuda tersebut memberikan 2 buah kardus bekas secara gratis kepada saya. Sepertinya kardus itu tidak dibutuhkan oleh si pemuda tersebut, maka ia menghibahkannya secara gratis kepada saya. Saya akui, saya adalah tipe orang yang ramah (jika orang lain yang memulai percakapan), murah senyum, cukup terbuka, humoris dan cablak. Jadi ketika pemuda tersebut mengajak saya untuk bercanda, saya menanggapinya dengan senang hati. Percakapan pun berlanjut. Pemuda tersebut bertanya mengenai domisili saya dimana. Saya pun menjawab pertanyaan pemuda itu dengan sedikit tertutup, lagi pula untuk apa dia mengetahui rumah saya ? Kami tidak mengenal secara dekat dan saya berhak menjaga wilayah pribadi saya.

"Oh, rumah Mbak di daerah situ ya ? Yang ada Halte Busnya kan ? Mbak, saya pernah ada kejadian yang gak enak di situ", pemuda tersebut memulai kisahnya.
"Kejadian apaan Mas ?", jawab saya.
"Waktu bulan Puasa, saya dan pacar saya lagi ngobrol - ngobrol di halte itu. Terus tiba - tiba pacar saya kesurupan, ia teriak – teriak dan berlari ke jembatan yang ada di belakang halte itu Mbak. Saya mengejar pacar saya, saya panik, gak tau mau berbuat apa. Saya pun menghalangi pacar saya untuk meloncat ke bawah jembatan. Saya peluk dia, saya bacain doa, dan akhirnya setannya keluar. Tapi setelah pacar saya sadar, dia berpikir bahwa saya menodai dia. Karena kebetulan tempat itu gelap, sepi dan posisinya saya sedang memeluk dia. Akhirnya saya diputusin Mbak.", pemuda tersebut bercerita dengan wajah yang sendu.
Saya pun bingung mau merespon seperti apa. "Wah, tabah aja ya Mas. Yang penting Mas tidak menodai pacar Mas. Tapi pacar Mas tau kan kalau Mas tidak berbuat apa - apa terhadapnya ? Mas sudah menceritakan apa yang terjadi kepada pacar Mas kan ?", respon saya kemudian.
"Udah Mbak, saya sudah cerita ke dia kalo tadi dia kesurupan. Saya bukannya mau menodai dia, saya malah menolong dia. Sumpah deh Mbak. Saya sayang sama dia, saya gak akan menodai dia.", jawabnya dengan wajah yang masih sendu.
"Ya udah Mas, yang penting Mas sudah jujur sama dia.", respon saya lagi.
Kemudian kami membahas topik lain (masih hal - hal yang bersifat general), setelah itu saya pulang ke rumah dan pemuda tersebut mengundang saya untuk berbincang – bincang dengannya kembali jika saya memiliki waktu luang.
“Kapan – kapan mampir ke sini ya Mbak”, ucap si pemuda. Saya menjawab dengan anggukan dan senyuman.

          Orang kedua adalah seorang ibu yang pernah saya ceritakan di Catatan saya yang dibuat pada Kamis, 25 November 2010. Ini link – nya : http://www.facebook.com/note.php?note_id=464832938610

          Hari ini, saya mendapat kisah yang hampir serupa. Seorang ibu - ibu sekitar umur 30 tahun bercerita secara lancar kepada saya. Jangankan berkenalan terlebih dahulu, melihat wajahnya saja baru 10 detik yang lalu. Seperti biasa, saya lebih suka duduk di belakang, dan kebetulan ibu itu sudah menempati sebuah posisi di bangku belakang sebelum saya naik ke dalam angkutan umum itu. Di Pengkolan, angkutan umum yang saya tumpangi berhenti sejenak, menunggu penumpang yang berdatangan untuk kemudian menyewa salah satu tempat duduk hingga sampai ke tempat tujuan mereka. Saya memperhatikan bahwa Ibu tersebut memasang lagu di MP3 Handphone - nya dengan volume suara yang sangat keras. Sepertinya penumpang yang duduk paling depan pasti mendengar lagu tersebut. Saat itu saya negatif thinking, sepertinya Ibu ini mengalami tekanan batin. Wajahnya sedikit kusam dan matanya sayu. "Jangan - jangan dia orang gila", pikir saya. "Tapi pakaiannya bagus dan bersih, wajahnya juga nampak terawat.", gumam saya berusaha positif thinking.

          Awalnya saya tidak sengaja untuk berbicara dengan ibu tersebut. Hal ini dimulai dengan kejadian di saat saya tertawa melihat ekspresi para supir Metromini langganan saya yang sedang bernyanyi dengan volume suara yang keras (berteriak - teriak), “Gabe ma ho,, (sai gabe, sai gabe), gabe ma ho,, (sai gabe, sai gabe), Gabe ma ho,, (sai gabe, sai gabe)”. Para supir angkutan umum tersebut sedang berkumpul di sebuah lapo (rumah makan bagi orang Batak), mereka sedang melepas penat dengan cara bernyanyi bersama. Ya, teriak memang bisa melepaskan emosi terpendam di dalam diri kita.

Lalu Ibu tersebut bertanya kepada saya, “Kenapa ketawa Mbak ? Itu bahasa apa sih ?”.
“Bahasa Batak, Bu.”, jawab saya dengan halus.
“Oo,, Mbak orang Batak ya ? Emang artinya lagu itu apa ?”, tanya si Ibu.
“Iya, saya orang Batak. Mmm,, “gabe ma ho” itu apa ya ? Mmm,, “gabe” itu setahu saya “jadilah”. Kalau “gabe ma ho”, ya “jadilah engkau”. Menurut saya, itu adalah ungkapan doa, “jadilah engkau yang baik”, seperti itu mungkin Bu.”
“Ooo.. ”.

          Ternyata saya salah dalam memberikan informasi kepada ibu tersebut. Pengertian “gabe” yang sebenarnya adalah “beranak – bercucu” sehingga seseorang bisa berbahagia. Syarat seseorang untuk menempati posisi “gabe” adalah memiliki anak laki – laki dan anak perempuan. Jika hanya memiliki anak laki – laki saja atau anak perempuan saja, belum bisa dikatakan sebagai “gabe”. Saya menanyakan hal ini kepada orang tua saya.

           Metromini yang setiap hari mengantar – jemput saya dari kampus hingga rumah tersebut mempertemukan saya dengan si ibu yang menurut saya cukup berlebihan dalam menghadapi masalah. Intinya, dia mengalami cinta yang bertepuk sebelah tangan. Saya memang tidak menanyakan sudah berapa lama dia mencintai seorang pria yang sebenarnya tidak mencintai dia, karena saat itu saya sedang tidak berkonsentrasi. Bahkan si ibu tersebut harus mengulang statement – statement – nya supaya saya mengerti jalan ceritanya.

“Mbak, maaf ya kalau saya curhat, kita kan sesama wanita. Boleh kan saya curhat ke Mbak ?”, lanjutnya kemudian.
“Oh, boleh Bu, silahkan.”, jawab saya kemudian.
Saat itu saya tetap berjaga – jaga, saya mendekap tas saya dengan sangat erat. Saya takut disaat ibu itu sedang mengajak saya mengobrol, ternyata teman dari si ibu tersebut merogoh tas saya dan memindahkan HP beserta dompet saya ke tangan dia. Tapi untungnya saya duduk di sebelah kondektur yang tidak mungkin berteman dengan si ibu tersebut. Lagi pula, si kondektur sedang bertugas, mana mungkin sempat merogoh tas saya ? Di sebelah kiri saya ada sang kondektur sedangkan di sebelah kanan saya si ibu tersebut.

“Jadi gini Mbak, saya kan kerja di toko X di Pasar Y (maaf, nama perusahaan saya sembunyikan). Nah, saya punya teman namanya F (maaf, nama orang saya sembunyikan). Si F ini mengirim SMS kepada saya, dia melarang saya untuk mengirimkan SMS atau bahkan menelpon dia lagi. Tapi si Bos – nya F ini mengirimkan SMS kepada saya, ia menyuruh saya untuk mengirimkan SMS dan menelepon si F, karena kalau saya tidak menghubungi si F sekarang, mungkin besok saya tidak akan melihat dia lagi. Saya bingung Mbak, menurut Mbak gimana donk ?”, kisah ibu itu pun mulai bergulir.

“Mmm,, Coba Ibu tanya ke si F, mengapa dia melarang Ibu untuk menelpon/mengirim SMS kepadanya. Lalu Ibu tanya kepada Bos – nya si F, apa maksud dia mengirimkan SMS itu ke Ibu. Memangnya si F ini mau pergi kemana ? Sampai Ibu tidak bisa bertemu dengan dia lagi ?”, jawab saya dengan sedikit bijaksana.

“Tapi Bos – nya si F bilang kalau si F mau menikah lagi. Terus bos – nya F bilang kalau masih banyak pria lain selain F, jadi saya tidak perlu sedih ataupun khawatir. Tapi menurut saya, sebelum janur kuning berkibar, saya bisa merebut F. Waktu itu saya ke Orang Pintar, meminta supaya hatinya F dibukakan untuk saya. Saya bayar Rp 200.000 ke Orang Pintar itu, akhirnya F mau mengirimkan SMS kepada saya, menjalin komunikasi lagi dengan saya. Awalnya memang saya berteman akrab dengan F. Kemudian kami bertengkar adu mulut, setelah itu si F tidak pernah menegur saya lagi, padahal toko kami depan – depanan. Saya sudah meminta maaf ke F, saya mau mengirimkan SMS ke F, tapi saya takut.”, urai si ibu.

 “Memangnya Ibu mau mengirimkan SMS seperti apa ke si F ? Memangnya Ibu ada “rasa” ya dengan si F ?”, saya mulai bisa menebak jalan cerita si Ibu.
“Hahaha,, Iya Mbak, saya suka sama si F. Awalnya saya gak suka sama dia. Tapi setelah saya bertengkar sama dia, saya malah suka sama dia.”, si ibu mengaku dengan wajah yang memerah.

“Saya sih mau tanya ke si F, kenapa dia tidak pernah menyapa saya lagi, padahal toko kami sangat dekat. Bahkan bos saya dengan bos si F itu kakak – beradik. Kalau memang saya salah, saya akan meminta maaf lagi, tapi saya tidak suka sifat dinginnya, dia tidak pernah menyapa saya lagi. Saya kan butuh teman untuk mengobrol, saya sebatang kara di Jakarta ini Mbak.”, paparnya kemudian.
“Ya sudah, Ibu coba saja untuk mengirimkan SMS kepada si F.”, jawab saya.
“Tapi kira – kira si F itu bales gak ya ? Terus, kira – kira menurut Mbak, si F itu balesnya apa ?”, ujar si ibu penasaran.
“Ya, saya sih tidak tahu secara persis perasaan si F itu seperti apa, tapi Ibu coba saja menghubungi dia.”, respon saya kemudian.
“Aduh Mbak, gimana ya ? Saya takut F masih marah kepada saya.”, lanjut si Ibu dengan wajah yang senang tapi takut.

“Oh iya, memang benar kalau sebelum janur kuning berkibar si F itu milik siapa saja. Tapi Ibu juga harus menghargai perasaan si F. Kalaupun dia sudah memutuskan untuk menikah dengan perempuan lain, Ibu tidak bisa memaksa F untuk mencintai Ibu. Jangan sampai Ibu dan si F ini menikah atas dasar kasihan, bukan atas dasar cinta. Suasana rumah tangganya akan lebih tidak enak. Bisa saja nanti setelah Ibu berumahtangga dengan si F, kemudian kalian tidak saling menyapa. Lalu Ibu mengeluh mengapa si F tidak pernah menyapa Ibu yang saat itu sudah menjadi istrinya F.”, papar saya kemudian.

“Ya ampun Mbak, langit tinggipun akan saya jelajahi supaya F membalas cinta saya. Saya akan lakukan apa saja supaya F mencintai saya. Emang bener kata orang ya Mbak, cinta itu buta.”, ujarnya lagi.
“Ya, menurut saya sih, Ibu boleh melakukan segala sesuatu untuk membuat F jatuh cinta kepada Ibu, tapi harus dengan cara – cara yang positif. Misalnya Ibu memberikan perhatian yang lebih kepada F, membantu dia di saat dia sedang mengalami kesulitan, tapi tidak dengan cara mengadu domba antara F dan calon istrinya. Karena dengan demikian, Ibu juga akan terkena dosa.”, saya menjelaskan dengan cukup detail.
“Saya akan berdoa untuk F deh Mbak. Saya benar – benar mencintai dia. Saya kenal sama dia sejak bulan 5 di tahun 2011”, lanjutnya lagi
“Ya, doakan saja yang terbaik ya Bu. Mari Bu, saya duluan.”, jawab saya kemudian. Percakapan berakhir karena saya sudah sampai ke tempat tujuan saya.

          Dari ketiga contoh kisah di atas, memang benar kenyataannya bahwa setiap orang membutuhkan orang lain untuk berbagi kisah, terutama jika orang tersebut sedang mengalami masalah atau bahkan tekanan batin. Jujur, saya pun bingung mengapa ketiga orang tersebut memilih saya untuk menjadi “tong sampah” curahan hatinya, padahal mereka belum mengenal saya dengan baik. Tapi siapapun teman bicara yang mereka pilih, yang terpenting adalah mereka sudah mengeluarkan uneg – uneg / isi hati mereka. Saya pun hanya bisa menjadi pendengar yang baik, tidak bisa menjadi pemberi solusi yang tepat, karena saya tidak terlalu memahami pokok pembicaraan mereka dan saya tidak memahami kondisi yang mereka alami secara spesifik. Tapi sebenarnya kita harus mengenal lawan bicara kita terlebih dahulu sebelum kita membuka kisah kita, untuk menjaga kerahasiaan kisah kita tentunya.

Semoga bermanfaat. Tuhan memberkati.



Notes :
Hasil copy paste dari Notes di Facebook "Windy Sitinjak" dengan judul "Tekanan Batin Berbanding Lurus dengan Keberanian Untuk Curhat (Kamis, 23 Februari 2012) oleh Windy Sitinjak (Catatan) pada 23 Februari 2012 pukul 22:07"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar