Jumat, 10 Mei 2013

Dangdut is the Best, Yes or No ? (Kamis, 6 Desember 2012)

          Dangdut. Mayoritas orang memandang rendah dan merasa anti pada aliran musik ini. Dangdut dianggap sebagai ‘musik-nya orang kelas bawah’, yakni para supir angkot, kernet bus, kuli panggul di pasar, tukang becak, pedagang asongan, tukang sapu jalanan, pembantu rumah tangga, tukang kebun, Office Boy, Office Girl, dan pekerjaan kelas bawah lainnya. Musik Dangdut dianggap sebagai musiknya para orang pinggiran yang tidak tersentuh oleh peradaban. Banyak orang yang memandang bahwa Dangdut adalah musik yang kampungan, jelek, norak, tidak jelas, aneh, bahkan menjijikkan. Ada saja orang yang langsung melirik sinis sambil komat-kamit merepet karena mendengar alunan musik Dangdut.

          “Dangdut ??? Gak level kaleee,,, Please deh, kayak gak ada musik yang laen aja ! Kalo semua musik di dunia ini udah musnah dan cuma Dangdut yang tersisa, gak akan deh gue dengerin itu musik. Iiihh,, Anti banget gue sama itu musik ! Jauh-jauh deh dari kehidupan gue !”, mungkin inilah tanggapan banyak orang jika ada pertanyaan “Lo suka musik dangdut gak ?”. Ya, mungkin mayoritas orang akan tertawa terbahak-bahak, meremehkan seseorang jika mendengar seseorang tersebut berkata “I love Dangdut”.

          Entah karena terpengaruh efek modernisasi yang menggiring banyak orang agar mencintai (atau pura-pura mencintai) aliran musik luar negeri (seperti Jazz dan Rock & Roll) atau benar-benar menyukai kedua aliran musik tersebut, yang jelas banyak orang mendiskreditkan musik Dangdut. Dangdut is primitive, isn’t it ?

Tapi pernahkah kita memandang musik Dangdut dari sudut pandang yang berbeda ?

          Bagi saya, musik Dangdut adalah musik yang ramah. Percaya / tidak, aliran musik ini sanggup merobohkan dinding pembatas antara golongan atas dan golongan bawah. Hal ini saya lihat untuk yang pertama kalinya saat acara syukuran di kantor ayah saya sekitar tahun 2000, saat saya masih SD. Saat acara tersebut dimulai, para pejabat tingkat tinggi duduk rapih di bagian depan, sedangkan para karyawan dan keluarganya duduk di bagian belakang. Sangat terlihat kesenjangan sosial di dalamnya. Namun saat acara hiburan yang diisi oleh lagu Dangdut, para pejabat maupun karyawan bahkan office boy terlihat berjoget bersamaan, mencari pasangan masing-masing untuk berjoget membaur satu sama lain, tenggelam dalam irama gendang dan suling yang menyatu. Semua orang pun ikut “turun” membaur tanpa malu  untuk meliuk-liukkan tubuhnya.

           Hal yang serupa saya lihat pada bulan November 2012 di kampus. Saat saya merasa bosan menunggu teman-teman saya menuntaskan kelasnya, saya iseng-iseng menyanyikan sedikit lirik dari lagu Dangdut yang saya hafal. Seketika itu juga, salah satu Office Girl dan pembantu fakultas di kampus malah “pasang gaya” dan berjoget berpasangan. Sang Office Girl pun berjoget sambil tetap memegang sapu ijuk dan pengki di tangannya. Sang pembantu fakultas pun tetap meliuk-liukkan tubuhnya meski mulut saya tidak lagi menyanyikan lagu itu. Mereka berdua malah me-request, “Lanjutin donk lagunya, lagi asik goyang nih”. Saya hanya tertawa dan melanjutkan lirik yang saya potong tadi. Selanjutnya, kami berjoget bertiga, tidak ada kata malu karena “pasang gaya” di lobby yang disoroti puluhan pasang mata. Ya, saat itu tidak ada tembok pembatas antara mahasiswi dan Office Girl serta pembantu kampus. Semua membaur menjadi satu.

           Selain itu, percaya / tidak, musik Dangdut juga mampu melepaskan stress dan membakar kalori. Mungkin ini dampak dari irama gendang dan suling yang menyatu dengan sangat khas, sehingga mampu menghipnotis para pendengarnya agar ikut berjoget melepaskan tekanan hidup. Hal ini sudah saya amati sejak saya berkumpul untuk karaoke dengan teman-teman saya. Saat menyanyikan lagu pilihan sendiri, semua orang terkesan autis dan egois. Ketika saya hanya menyukai dan memilih lagu Pop yang mellowuntuk saya nyanyikan, di sisi lain teman saya ingin memasang lagu Rock yang upbeat. Ujung-ujungnya ketika saya menyanyikan lagu pilihan saya, hanya saya yang menyukainya, teman-teman saya yang lain belum tentu suka atau bahkan tidak mengenal lagunya, dan memilih untuk diam atau autis dengan telepon genggamnya, menunggu lagu pilihannya diputar untuk kemudian diyanyikannya dengan autis dan egois. Tetapi ketika saya menyanyikan lagu Dangdut, teman-teman saya yang tidak mengenal lagunya pun akan ikut berjoget karena hipnotis dari suara gendang dan suling yang menyatu. Semuanya menjadi “gila” saat berjoget, tertawa dan melepaskan stress. Tidak se-serius menyanyikan lagu kesukaan kami masing-masing. Goyang Dangdut itulah yang membakar kalori dari makanan dan minuman yang telah kami konsumsi sebelumnya.

          Musik adalah seni, dan tidak ada seni yang buruk. Musik adalah selera setiap orang yang bisa saja berbeda, tidak ada orang yang boleh melarang perbedaan minat tersebut. Tetapi, lihatlah sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Tidak semua yang dianggap buruk pada kenyataannya memang buruk. Di sini saya tidak berdiri sebagai Dangdut Lovers dan bukan sebagai Dangdut Haters, tetapi saya kagum dengan musik Dangdut yang bisa merobohkan jurang pemisah karena adanya perbedaan jabatan, kekayaan, kekuasaan, kepintaran, usia, agama, suku, ras, dan jenis kelamin. Dangdut is the Best, Yes or No ?

Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.




Notes :
Hasil copy paste dari Notes di Facebook "Windy Sitinjak" dengan judul "Dangdut is the Best, Yes or No ? (Kamis, 6 Desember 2012) oleh Windy Sitinjak (Catatan) pada 6 Desember 2012 pukul 20:53"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar