Hari ini saya pulang kuliah pukul 14.30 WIB. Berbincang sejenak dengan teman kampus saya, kemudian pulang. Memang, saya bisa saja satu kali naik angkutan umum dari depan kampus hingga depan gang rumah saya. Tetapi saya terlalu malas untuk menunggu lama. Jujur saja, perasaan saya saat itu sedang tidak enak, penuh emosi dan merasa bosan. Entah mengapa akhir - akhir ini perasaan saya sedang tidak nyaman seperti itu. Dengan alasan "supaya cepat sampai di rumah", akhirnya saya memutuskan untuk dua kali naik angkot. Dari dekat kampus, saya naik M19, turun di Dewi Sartika, kemudian naik M16, turun di gang dekat rumah saya.
Saat saya sedang mencari angkot M16, saya melihat 2 orang banci yang keluar - masuk pertokoan kecil di daerah Dewi Sartika. Selain mereka, ada seorang pria yang memegangi radio yang menyetel musik dangdut, ya pria itu adalah teman mereka. Dua orang banci itu bergoyang - goyang lincah, meliuk - liukkan tubuh kekarnya, bermain mata dengan pria yang mereka temui, bahkan tidak malu - malu untuk masuk ke dalam toko kemudian merangkul pria - pria tersebut. Dengan gaya mereka yang dibuat seolah - olah centil bagaikan wanita, hampir semua orang yang melihat mereka tertawa. Saya pun tersenyum sambil menggeleng - gelengkan kepala. Saya bersyukur bisa tersenyum kembali setelah melipat wajah di kampus tadi karena kondisi hati yang sedang tidak mood.
Penampilan mereka cukup menghibur, meskipun terlihat menjijikkan. Kenapa mereka ingin menjadi orang lain ketika mereka dikaruniai sebuah tubuh yang 100 % milik mereka dan dapat mereka gunakan untuk hal - hal yang baik ? Mungkin sebagian orang merasa anti dengan mereka, atau memiliki pengalaman menyeramkan dengan mereka. Tapi bagi saya, hari ini mereka menghibur saya. Terdengar egois memang, tapi setidaknya bukan hanya saya yang terhibur, banyak orang yang melihat aksi mereka langsung tersenyum, bahkan ada yang langsung ikut menari bersama mereka. Menari untuk melepaskan penat atau bahkan melakukan pelecehan seksual dengan memegang / melihat dengan penuh "ke - nafsu - an" daerah terlarang pada tubuh mereka yang sebenarnya tidak membuat "nafsu". Tapi itulah resiko menjadi seorang banci, entah apalagi yang harus mereka tanggung dari "profesi" ilegal mereka ini. Yang saya tahu, ketika polisi datang, para penghuni Taman Lawang langsung mengambil langkah seribu / lari tunggang langgang, mungkin takut ditangkap dan dijebloskan ke Lapas. Atau setidaknya diikutsertakan dalam sebuah sosialisasi yang memakan waktu, padahal sebenarnya waktu yang berguna itu dapat mereka gunakan untuk mangkaldi Taman Lawang.
Secara tidak langsung, "profesi" sebagai Banci Ngamen adalah "pekerjaan" yang mendatangkan banyak pahala meskipun melanggar kodrat sebagai pria seutuhnya. Karena "pekerjaan" ini menghibur orang - orang, seperti yang terjadi pada saya sore tadi. Entah saya salah / tidak, menertawakan mereka yang sebenarnya terpaksa berbuat demikian demi mencari uang. Tapi tingkah laku mereka memang lucu. Dengan tubuh yang kekar, mereka bergaya seperti wanita feminin. Seperti biasa, dengan busana yang "kurang bahan" di bagian atas dan di bagian bawah, mereka sengaja menampilkan bagian tubuhnya yang sebenarnya tidak memunculkan "nafsu", malah menimbulkan rasa mual di perut.
Secara tidak langsung juga, orang - orang yang mengemban "profesi" ini juga dituntut untuk berpenampilan "wah" / eye catching, dengan make up yang cukup tebal, busana yang terlihat modis, rambut tambahan, bahkan menggunakan sepatu seksi. Penampilan ini membutuhkan biaya / pengeluaran, tidak seperti GePeng (Gelandangan dan Pengemis) yang menggunakan pakaian seadanya dan wajah yang tak terawat, bahkan sengaja menggunakan pakaian yang robek agar menimbulkan rasa iba bagi orang di sekitarnya.
"Profesi" ini juga menuntut sifat profesional, karena para "pekerja" wajib menjadi orang lain, menyembunyikan identitas sebenarnya, berlaku / bergaya seperti orang lain. Layaknya seorang artis / aktor yang harus memerankan peran sebagai orang lain.
Secara refleks, saya teringat dengan ucapan seorang Ibu yang sedang berbincang dengan sang supir di sebuah Mikrolet sekitar 2 hari yang lalu, sepertinya mereka memiliki hubungan intrapersonal sehingga setiap kata yang meluncur dari mulut mereka tidak mengalami proses penyaringan terlebih dahulu, sangat terkesan blak - blak - an.
"Di Jakarta sih, kalo gak mau nanggung malu, ya gak bisa makan. Saya aja jadi kenek gak masalah, yang penting kerja.", ucap si Ibu tomboy tersebut.
Memang benar, seperti kasus Banci Ngamen ini, sesungguhnya mereka menanggung malu karena harus menjadi pribadi yang lain, bukan diri mereka sebenarnya. Memang ada saja yang menjadi banci karena pengaruh keluarga / lingkungan, mungkin ia tidak menemukan sosok pria yang bisa ditiru di dalam keluarganya dan cenderung lebih sering berinteraksi dengan wanita sehingga mereka menjalani kehidupan sebagai wanita (sesuai contoh yang tersedia) dan merasa diri sebagai wanita. Ada juga yang mengalami kelainan genetik sehingga ada saja perasaan, "Aku adalah wanita yang terjebak dalam tubuh pria", sehingga memutuskan untuk menjadi Transgender, atau sekedar menjadi seorang Guy / Biseksual yang tetap berpenampilan sebagai pria padahal merasa dirinya wanita dan mencari pasangan seorang pria. Ada juga yang terdesak secara ekonomi seperti kasus yang saya ceritakan, terpaksa menjadi orang lain demi mencari uang. Ada juga pria yang normal (merasa bahwa dirinya pria) meskipun menampilkan gaya yang lemah gemulai seperti wanita. Hal ini tidak akan saya bahas secara spesifik karena saya tidak memiliki latar belakang ilmu Psikologi dan saya tidak berpengalaman dalam membahas kasus penyimpangan perilaku seperti ini.
Saya memang belum pernah berinteraksi secara langsung dengan para banci, karena belum ada kesempatan. Memang saya sedikit takut ketika ada seorang teman yang menawarkan ke Taman Lawang untuk sekedar "lewat". Tapi mengingat jam terbang mereka pada waktu malam, saya langsung mengurungkan niat. Saya juga belum tahu banyak tentang motifasi mereka untuk menjadi banci. Saya juga tidak tahu bagaimana caranya ada orang yang memberikan uang kepada mereka dengan gaya dan penampilan mereka yang seperti itu. Saya juga tidak tahu apa saja yang mereka lakukan untuk mendapatkan uang selain mengamen dan bergoyang, apakah mereka juga melakukan "tugas" sebagai seorang PSK ?
Seperti yang kita ketahui, para banci di Filipina tidak terlihat seperti banci, bahkan jauh lebih cantik dan terawat dibandingkan dengan para wanita sesungguhnya. Mereka memiliki uang untuk operasi, baik secara keseluruhan (wajah dan jenis kelamin), atau hanya wajah. Namun para banci di Jakarta jarang ada yang se - profesional itu. Mereka menggunakan make up seadanya dan memulai aksi dengan goyangan pinggul demi mencari uang. Mungkin ada saja kasus, "Awalnya hanya acting, tapi lama - lama menjadi melekat menjadi kepribadian", "Awalnya hanya pura - pura menjadi wanita, tetapi lama - lama menjadi merasa diri sebagai wanita". Hal ini terkait dengan kondisi ekonomi mereka yang di bawah garis normal. Jika saja mereka memiliki uang, mungkin mereka memilih menjadi Transgender, mengoperasi tubuh dan wajah mereka, itupun kalau mereka mengalami perasaan, "Aku adalah wanita yang terjebak di dalam tubuh pria".
Inilah salah satu potret kehidupan manusia, yang sudah kita tahu sejak lama. Mungkin sudah cukup banyak orang yang membahas atau bahkan meneliti penyimpangan perilaku ini. Sepertinya tidak hanya di Jakarta, di kota lain juga ada. Namun itu semua adalah pilihan setiap pribadi. Meski merasa aneh dan dikucilkan masyarakat, tapi "profesi" Banci lebih baik dari pada Pencopet / Jambret / Perampok. Setidaknya para Banci itu tidak melakukan tindakan kriminal, hanya meliuk - liukkan pinggulnya yang tak berlekuk kemudian mendapatkan uang. Setidaknya mereka mengajarkan kita untuk tidak mengambil pilihan terburuk di antara pilihan yang buruk.
Semoga bermanfaat. Tuhan memberkati.
Notes :
Hasil copy paste dari Notes di Facebook "Windy Sitinjak" dengan judul "Penyimpangan Perilaku Karena Terpaksa (Rabu, 14 Maret 2012) oleh Windy Sitinjak (Catatan) pada 14 Maret 2012 pukul 22:37"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar