Jumat, 10 Mei 2013

Film “Geng Sepeda Peace dan Kakek Dirman” (TVRI, pukul 10.30 – 11.30 WIB)


Minggu, 30 September 2012.

          Saya tidak menyaksikan kejadian awal film ini seperti apa. Tapi yang saya lihat di sana, banyak nilai-nilai moral dan perjuangan. Film ini mengisahkan Geng Sepeda Peace dan Kakek Dirman, serta masalah sosial yang biasa kita temui di dalam sebuah masyarakat.

          Awal cerita yang saya saksikan, di sebuah jalan raya, Geng Sepeda Peace bertemu dengan Kakek Dirman yang sedang memperbaiki sepedanya. Salah satu anak GSP tersebut memperkenalkan diri, diikuti oleh ketiga anak lainnya. Mereka juga memperkenalkan diri mereka sebagai sebuah geng. Namun Kakek Dirmannegative thinking, ia pikir bahwa mereka satu geng untuk tawuran. Seketika itu juga, salah satu dari anak GSP mengkonfirmasi bahwa mereka adalah anak Geng Sepeda Peace yang cinta kedamaian, si Kakek pun mengerti. Ya, keempat anak laki-laki yang berumur sekitar 7-12 tahun ini bukan penduduk asli Bali (tempatshooting film ini), tetapi mereka pendatang dari luar kota yang sedang bermukim di Bali.

          Anggota GSP bingung, mengapa di sepeda Kakek Dirman ditempeli ornamen kebangsaan Indonesia seperti lambang Burung Garuda Pancasila dan Bendera Merah Putih yang terdapat di bagian depan sepedanya, serta tulisan Bhinneka Tunggal Ika di bagian belakang sepedanya. Ternyata, sang Kakek adalah mantan pejuang kemerdekaan Indonesia. Pada zaman perang kemerdekaan, ia turut berperang di Surabaya (kota kelahirannya), tetapi ia juga ikut berperang di Bali. Kakek Dirman dulunya berjuang melawan penjajah, tetapi sekarang ia berjuang melawan lupa. Masyarakat Indonesia pada zaman sekarang sudah banyak yang lupa mengenai Burung Garuda Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, serta Bendera Merah Putih. Maka dari itu Kakek Dirman berkeliling Indonesia dengan menggunakan sepeda yang ditempeli ketiga ornamen tersebut untuk mengingatkan kepada masyarakat Indonesia tentang ketiga simbol negara Indonesia tersebut.

           Ketika GSP beserta Iin (adik dari salah satu anggota GSP) sedang berjalan-jalan, mereka bertemu dengan Kakek Dirman. Lalu Kakek Dirman mentraktir mereka makan Ayam Betutu khas Bali. GSP dan Iin memuji kenikmatan Ayam Betutu, lalu Kakek Dirman menjelaskan bahwa sesungguhnya negara Indonesia memiliki keragaman budaya yang sangat banyak. Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki ribuan pulau yang dipisah oleh perairan. Karena itulah, Indonesia memiliki banyak suku budaya atau bahkan sub suku yang masing-masing sub kultur memiliki ciri khas tersendiri. Negara Indonesia memiliki banyak tarian daerah, pakaian daerah, acara adat yang menjadi tradisi setiap suku, alat musik daerah, dan makanan khas tiap daerah. Inilah salah satu dari banyak fakta positif mengenai Indonesia yang diangkat dalam film ini.

          Saat GSP dan Iin sedang berenang di pantai, mereka melihat seorang anak laki-laki sedang berlari ketakutan lalu bersembunyi di belakang kapal nelayan. Kemudian seorang Bapak yang setengah mabuk menghampiri mereka, menanyakan apakah mereka melihat Lar alias Larastu. Mereka menggeleng sesuai dengan perintah anak laki-laki yang tadi berlari sambil memberikan kode “tutup mulut” dengan meletakkan jari telunjuknya di bibirnya sambil sedikit memonyongkan bibirnya.

           Setelah Bapak itu pergi, anak laki-laki yang mengumpat di belakang kapal nelayan itu keluar dari tempat persembunyiannya dan bergabung dengan GSP. Mereka berkenalan dan berenang bersama. Anak yang bernama Lar itu bercerita bahwa setelah Ibunya meninggal, Ayahnya sering mabuk-mabukan dan tidak mempedulikan kondisi Lar beserta adiknya. Lalu Lar mengajak mereka berenang ajak menjauh dari tepi pantai. Tanpa sepengetahuan GSP dan Iin, Lar pun mencuri keempat sepeda milik GSP beserta sebuah sepeda milik Iin.

           Mau tidak mau, GSP berjalan pulang dengan berjalan kaki. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan segerombolan anak yang sedang mengusung dua buah layangan Bebelan (layangan besar yang berbentuk ikan). Lalu mereka berkenalan dan bermain Bebelan bersama di pantai. “Untung saja sepeda kita hilang, jadi kita bisa bertemu mereka dan melihat Bebelan secara langsung, tidak hanya menyaksikan di televisi”, ucap salah seorang anggota GSP.

           Setelah itu mereka berkunjung ke sebuah rumah teman mereka. Anak laki-laki itu meminjamkan sepedanya kepada GSP dan Iin. Anak laki-laki itupun menghimpun ketiga temannya dalam meminjamkan sepeda mereka kepada GSP dan Iin agar mereka dapat pulang ke rumah mereka masing-masing. Meskipun sepeda yang dipinjamkan hanya 4 buah, tetapi GSP dan Iin bersyukur dan berterima kasih kepada mereka. Kehidupan masyarakat Indonesia yang ramah dan saling tolong menolong pun diangkat dalam film ini.

          Di tengah jalan pulang, GSP dan Iin melihat sebuah truk barang yang kecepatannya melebihi normal. Tidak beberapa lama kemudian, kelima anak ini melihat sebuah kecelakaan, ternyata Kakek Dirman yang tertabrak truk, lalu kemudian supir truk itu lari dengan truknya tanpa mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.

            Dengan bantuan penduduk sekitar dan GSP beserta Iin, Kakek Dirman dibawa ke RSUD Kabupaten Bandung dan dirawat di sana. Ia mengalami cedera di bagian kepala dan kaki. Untuk sementara, Kakek Dirman tidak bisa berkeliling dengan sepedanya. Tetapi tiba-tiba Kakek Dirman terbangun dari tidurnya dan menanyakan kemana sepedanya beserta ornamen yang menempel pada sepedanya, apakah baik-baik saja atau sudah rusak. Lalu GSP dan Iin menceritakan bahwa sepeda Kakek Dirman sudah diamankan oleh pihak kepolisian dan Lambang Burung Garuda sudah disimpan rapih di lemari.

            Lalu Iin meminjam kamera ponsel ibunya dan memfoto Kakek Dirman yang sedang terkapar tak berdaya di RS. Pada malam harinya, Iin mem-publish foto Kakek Dirman beserta cerita perjuangannya melawan penjajah. Hal ini sejalan dengan pemikiran Abang dari Iin, sehingga ada seorang Ibu dan anak yang datang ke RSUD untuk menjenguk Sang Pahlawan tersebut karena melihat ulasan dan foto yang di publish oleh Iin di media sosial Facebook.

          Pagi harinya, salah satu anggota GSP melihat Lar sedang duduk meminta-minta di sebuah pasar tradisional. Setelah mencuri sepeda GSP dan Iin, Lar memang menghilang entah kemana. Namun sayang, kini Lar melarikan diri lagi setelah dipanggil oleh salah satu anggota GSP tersebut. Dia lari ketakutan karena tidak siap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

           Pada kesempatan berikutnya, tiga orang anggota GSP secara tidak sengaja melihat Lar sedang berusaha untuk mencuri kaca spion sebuah motor di pasar tradisional. Kemudian Lar diteriaki oleh Penjaga Keamanan di pasar tradisional itu, lalu ia lari ketakutan. Ketiga anggota GSP pun mengejar Lar. Sampai pada akhirnya Lar tertangkap oleh ketiga anggota GSP. Lar pun membawa mereka bertiga ke sebuah rumah sakit, untuk menjenguk Suli, adik dari Lar. Itulah alasan utama Lar mencuri sepeda milik GSP dan Iin serta barang berharga lainnya. Suli dirawat di RSUD dan membutuhkan cuci darah. Semua biaya ditanggung oleh Lar, mulai dari biaya rawat inap, obat-obatan, sampai biaya cuci darah. Hal ini terjadi karena Bapak dari Lar tidak mempedulikan Lar dan Suli, ia hanya bisa mabuk-mabukan.

          Suli terbangun dari tidurnya lalu bercerita mengenai mimpinya kepada Lar. Suli bermimpi bertemu ibu mereka yang sudah lama meninggal. Di dalam mimpinya, Sang Ibu meminta Lar agar berhenti mencuri dan tidak boleh nakal lagi. Suli pun tidak perlu diurus oleh Lar lagi. Lalu pada detik itu juga, setelah Suli menceritakan isi mimpinya, Suli menghembuskan napas terakhirnya, ia menutup matanya untuk selama-lamanya.

          Beberapa hari setelah Suli meninggal, Lar duduk menyendiri di tepi pantai, hatinya masih sedih karena Suli telah tiada. GSP dan Iin datang untuk memberikan semangat kepada Lar. Kemudian Bapak dari Lar datang menghampiri mereka. Ia meminta maaf kepada Lar dan berjanji untuk tidak minum minuman beralkohol lagi, mengganti semua barang yang Lar curi, dan menyuruh Lar agar sekolah lagi, seperti GSP dan Iin yang masih berkewajiban untuk sekolah dan menuntut ilmu.

          Setelah beberapa minggu di rawat di RSUD, Kakek Dirman sembuh dan diperbolehkan untuk keluar dari RS. Setelah itu ia melanjutkan perjuangannya melawan lupa. Ia kembali bersepeda keliling Indonesia untuk mengingatkan masyarakat Indonesia tentang 3 simbol negara Indonesia yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, yaitu Bendera Merah Putih, Burung Garuda Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.

          Itulah cerita dari film yang saya saksikan di TVRI. Jujur saja, saya memang tidak pernah menonton TVRI lagi karena gambar TVRI yang sering terganggu akibat buruknya sinyal pemancar, dan saya juga tidak memiliki waktu untuk menonton televisi. Jika ingin mencari berita, saya lebih suka mencari berita melalui internet, dimana kita tidak perlu menonton iklan yang memotong penyiaran berita, dan kita bisa memilih judul berita yang ingin kita baca. Jika saya ingin menonton acara hiburan, saya lebih suka menyaksikan acara OVJ dan Tahan Tawa di Trans7 dan di Trans TV.

          Saya memang bukan pecinta Sinetron dan FTV (meskipun saya pernah beberapa kali menonton FTV di SCTV dan menonton beberapa episode dari rangkaian episode Sinetron yang panjang), tetapi saya memang suka tayangan televisi yang bersifat cerita dan narasi seperti film (bukan Reality Show atau kuis). Maka dari itu setelah sedikit menyaksikan film GSP dan Kakek Dirman ini, saya langsung menetapkan channel televisi saya dan menyaksikan film ini sampai usai.

          Yang saya salut dengan TVRI adalah, stasiun televisi milik pemerintah Indonesia ini sangat concern dalam dunia pendidikan. Meskipun mayoritas televisi hanya menyajikan sinetron yang temanya tidak jauh dari percintaan, permusuhan, iri dengki, balas dendam, kehidupan glamour, imajinasi buruk, tapi TVRI tetap berjalan di dalam relnya. Mungkin banyak orang yang menganggap bahwa TVRI sudah ditutup atau tak terdengar lagi kiprahnya di dunia pertelevisian Indonesia, dan banyak orang lagi yang menganggap TVRI “antara ada dan tiada”, tapi saya SANGAT SALUT dengan TVRI yang terus memegang teguh nilai moral bangsa Indonesia. TVRI tetap berdiri untuk mensosialisasikan nilai moral, pendidikan, agama, perjuangan bangsa Indonesia di tengah pertumbuhan masyarakat yang sangat cepat dan dihimpit oleh berbagai nilai dan norma baru yang berasal dari luar Indonesia.

Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.



Notes :
Hasil copy paste dari Notes di Facebook "Windy Sitinjak" dengan judul "Film "Geng Sepeda Peace dan Kakek Dirman" (TVRI, Pukul 10.30 - 11.30 WIB) oleh Windy Sitinjak (Catatan) pada 30 September 2012 pukul 14:15"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar