Jumat, 10 Mei 2013

Semuanya Terasa Sia - Sia, Hanya Yesus Sumber Kehidupanku (Senin, 2 Juli 2012)


          Aku adalah pria berumur 27 tahun, anak tunggal dari sebuah keluarga kaya raya. Aku lahir di Jerman tetapi aku tumbuh dan berkembang di Jakarta. Aku menetap di Jakarta sejak usiaku 5 tahun. Saat itu keluarga kami terpaksa pindah ke Jakarta karena ayahku harus mengurusi bisnisnya yang hampir collapse di Jakarta. Ayahku memiliki sebuah perusahaan terkemuka di Jakarta, sebut saja PT Wisastra, yang berkembang di bidang manufaktur, pembuatan mesin – mesin mobil. Omset perusahaan ayahku kini 100 juta / bulan. Ayahku mengambil alih perusahaan itu sejak 25 tahun yang lalu, ketika kakekku meninggal dunia dan jabatan sebagai Direktur Utama menjadi berpindah tangan ke ayahku. Saat aku berusia 23 tahun, ayahku ingin mempekerjakanku di PT. Wisastra, karena aku dianggap berkompeten untuk menjadi seorang Presiden Direktur, meski usiaku tidak pantas untuk menduduki jabatan itu. Sepertinya jiwa kepemimpinan yang dimiliki oleh  kakekku menurun ke ayahku dan berlanjut ke kehidupanku. Tapi tentu saja aku menolak permintaan ayahku karena aku tidak berminat untuk berkecimpung di dunia manufaktur. Aku lebih menyukai bisnis di dunia kuliner. Saat ayahku memintaku untuk bekerja di perusahaannya, saat itu pula aku meminta modal untuk membangun dan mengembangkan sebuah restoran. Dalam waktu 5 tahun, Charesto yang aku kembangkan sudah memiliki 3 cabang. Satu di daerah Puncak, satu di daerah Kuningan, satu lagi di daerah Ancol. Tentu saja ini adalah sebuah perkembangan yang dahsyat menurutku. Ditambah lagi, Charesto adalah restoran yang sangat diminati oleh kalangan masyarakat menengah ke atas. Wajar bila pendapatanku dalam sebulan sekitar 50 juta rupiah. Eksekutif muda, demikian pandangan orang – orang terhadapku. Dalam usia 27 tahun, aku sudah bisa memiliki rumah di kawasan Pondok Indah dengan sebuah mobil seharga 2 miliar.

          Sebenarnya aku sengaja menolak permintaan ayahku, aku tidak mau membantunya untuk mempertahankan kesuksesan PT. Wisastra, karena aku tidak merasa terpanggil untuk berkecimpung di dunia itu, dan aku sudah lelah untuk mengikuti semua kemauan ayah. Bisa dibilang, aku mulai membangkang, karena sejak kecil kehidupanku seperti dikendalikan oleh ayahku. Aku seperti tidak memiliki kuasa atas kehidupanku. Aku disuruh mengikuti les ini dan itu, sering – sering berkunjung ke rumah sakit milik pamanku agar aku akrab dengan dunia kedokteran, mengikuti lomba cerdas cermat dan mengambil kelas IPA lalu melanjutkan kuliah di jurusan kedokteran. Ah, aku cukup menyesal melakukan itu semua. Tapi demi menyenangkan hati ayah, aku melakukan semuanya itu. Sekarang aku sudah menamatkan pendidikanku di salah satu Universitas Idola di Jakarta. Dengan menyandang gelar “Dokter”, aku sudah melunasi permintaan ayahku. Memang, otakku sanggup untuk mengikuti semua mata kuliah di universitas itu, dan aku pun mendapat IP terbaik di antara mahasiswa/i lainnya. Ya, secara kepintaran dan jiwa kepemimpinan, aku memang unggul. Dari segi fisik pun aku tampan. Banyak wanita yang memintaku untuk menjadi pacarnya, atau sekedar mendekatiku karena mereka memujaku. Bukannya aku mau menyombongkan diri, tetapi aku hanya melihat reaksi orang – orang di sekitarku.

          Mungkin jika dilihat oleh mata kepala, aku memang sempurna. Wajahku tampan, tinggi, putih bersih, gigiku rapih dan terawat, berat dan tinggi tubuhku ideal, tubuhku terlahir normal dengan anggota tubuh yang lengkap. Di sisi lain, aku pun pintar, bisa menjadi Dokter yang lulus dengan nilai cum laude,  bisnisku di bidang kuliner pun lancar. Aku kaya, mapan secara materi, humoris, rendah hati, ramah terhadap sesama. SEMPURNA, itulah yang orang pikirkan tentang diriku. Tapi, mereka tidak mengetahui tentang pergumulanku.

           Memang, aku memiliki segalanya. Kekayaan, ketampanan dan kepribadian yang positif. Tapi tidak ada seorangpun yang tahu bahwa hidupku ini terasa hampa. Ya, mereka hanya melihat senyum di wajahku dan tawa riangku ketika kami bertemu. Tetapi mereka tidak mengetahui kalau aku dipaksa oleh ayahku untuk menjadi Dokter, mereka tidak tahu kalau aku tumbuh dengan kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuaku karena mereka sibuk bekerja, mereka tidak tahu bahwa selama ini aku hanya menjalankan kewajiban tanpa menerima kebahagiaan.

          Jujur saja, aku sudah terbiasa untuk tidak memegang uang cash, karena kartu debet dan kartu kredit dapat membeli apa saja yang aku inginkan, barang ataupun jasa. Aku sudah terbiasa untuk memiliki gadgetkeluaran terbaru, sedangkan gadget yang lama ku berikan kepada teman – temanku atau ke saudara – saudaraku. Aku sudah terbiasa untuk selalu menikmati makanan di luar rumah, dengan berbagai harga, rasa dan dari berbagai negara. Aku sudah terbiasa untuk terbang ke luar negeri, sekedar mengunjungi saudaraku ataupun keperluan lain. Aku sudah terbiasa untuk pergi ke mall ataupun night club, menyisihkan waktuku untuk berkumpul dengan teman – temanku, bersenang – senang dengan mereka. Namun aku merasa hampa, semua yang aku lakukan seperti tidak ada gunanya. Aku merasa hampa bukan karena aku tidak memiliki pacar. Ya, seperti yang sudah ku bilang tadi, banyak wanita yang mengejarku, tapi aku tetap selektif untuk memilih di antara mereka. Karena aku tidak ingin sebagian kekayaanku berpindah tangan ke pacarku, mengerti kan maksudku ? Sudah dua tahun aku berpacaran dengan artis tercantik di Indonesia, tapi itu semua terasa tidak cukup.

          Aku sudah terbiasa untuk mempersembahkan 10 % dari penghasilan perbulanku sebagai Perpuluhan di gereja. Bahkan keluargaku sudah terbiasa untuk menjadi penyumbang utama di event – event yang dilaksanakan oleh gerejaku atau untuk acara pemuda/i di gerejaku. Aku menyumbang materi, hanya itu yang bisa aku persembahkan, karena aku tidak memiliki waktu untuk terlibat pelayanan. Aku terlalu sibuk untuk bekerja. Aku praktek di rumah sakit milik pamanku dan sesekali menyempatkan diri untuk berkunjung ke restoran milikku yang aku percayakan pengelolaannya kepada saudara – saudaraku sebagai manajernya, ikut rapat perusahaan bila diperlukan. Aku pun harus menyempatkan waktu untuk berkumpul dengan teman – temanku  dan berkencan dengan pacarku. Jadi, dengan kesibukanku yang sebanyak itu, aku rasa hanya menyumbang materi saja sudah cukup, itukan yang dibutuhkan oleh Tuhan untuk mengembangkan gereja – Nya ? Memang, dulu teman gerejaku sempat mengajakku untuk terlibat dalam pelayanan di gereja. Temanku menasehatiku, ia berkata bahwa uang bukanlah persembahan utama yang harus aku berikan untuk Tuhan. Tapi aku bekerja mencari uang untuk aku persembahkan kepada Tuhan, untuk event – eventdi gereja, untuk membangun rumah Tuhan dan membayar pelayan – pelayan – Nya. Semuanya untuk Tuhan. Dan kini aku terkungkung oleh semua aktifitas – aktifitasku yang membosankan, demi uang. Hambar, tawar dan datar, itulah kehidupanku yang sekarang.

           Pada suatu hari, perusahaan ayahku benar – benar bangkrut dan keuntungan yang aku peroleh dari restoranku aku usahakan untuk menutupi kerugian perusahaan ayahku. Akhirnya kedua restoranku pun terpaksa gulung tikar, mengikuti jejak perusahaan ayahku. Hari itu, disaat aku sedang mengalami banyak tekanan, aku melihat pacarku melakukan hubungan intim dengan pria lain. Dua tahun kami menjalin kasih dan beberapa hartaku ku berikan padanya secara cuma – cuma, itulah balasan yang dia berikan. Memang, pacarku bukan wanita yang gila harta, tetapi aku sebagai pria merasa wajib untuk memberikan apa yang dia minta.

            Hari itu, tepat ketika aku sedang mengalami banyak masalah, aku menyupir mobilku dengan kecepatan tinggi. Seketika itu juga,, BRAAAKKK !!! Dan semuanya terasa gelap.

          Tiba – tiba aku terbangun dan melihat sesosok bayangan putih yang tinggi, Ia menuntunku ke sebuah televisi layar lebar, sangat lebar. Di sana aku menonton diriku sendiri. Aku melihat semua aktifitas – aktifitas yang telah aku lakukan di dunia. Semuanya. Mulai dari aku lahir, aku tumbuh di tengah orang tua yang sangat sibuk bekerja sehingga di saat aku dewasa akupun terlalu sibuk untuk bekerja, aku melihat diriku yang diwisuda menjadi Dokter dengan ekspresi wajah yang sangat datar tidak ada rasa bahagia sama sekali, aku menonton usahaku untuk membangun dan mempertahankan restoran milikku, aku melihat kesibukanku yang di luar batas sampai tidak sempat makan dan beberapa kali absen ke gereja, aku melihat banyak orang – orang yang mengagumiku dan menganggap aku sempurna, aku melihat wajahku yang datar dan sombong ketika aku menyerahkan perpuluhan ke gereja atau disaat menyumbang untuk acara di gereja, aku melihat diriku yang sedang dinasehati oleh temanku tetapi aku membantah pemikirannya bahwa uang itu bukanlah persembahan yang utama, aku melihat pacarku yang sedang selingkuh terlalu jauh dengan pria lain, aku melihat teman – temanku sedang menikmati suasana “remang” di night club lalu tak lama kemudian aku bergabung dengan mereka, sampai pada akhirnya aku melihat mobilku menabrak sebuah truk besar, dan seketika itu juga televisi layar lebar itu pun mati. Satu hal yang paling menarik dari semua yang aku lihat di televisi layar lebar itu adalah, aku melihat Yesus di setiap aktifitas yang aku kerjakan. Aku melihat Sang Juru Selamatku itu berada di sampingku. Aku melihat wajah Allahku itu sangat sedih, entah kenapa.

          Setelah potongan – potongan gambar di televisi layar lebar itu berakhir, aku tersadar dan mendapati diriku sedang berada di sebuah ruangan, dengan berbagai alat – alat kedokteran yang biasa aku sentuh setiap harinya. Infus, EKG, tabung oksigen, selang pernafasan, dan semuanya. Harum khas rumah sakit yang selalu aku hirup setiap hari, kini aku hirup lagi setelah aku menonton Televisi Kehidupanku itu. Lalu aku melihat ayah dan ibuku berlari ke arahku, menangis terharu, entah ada apa, aku belum sadar betul apa yang telah aku alami. Mengapa aku berada di Ruang UGD ? Aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, aku hanya bisa mendengar bahwa ibuku mengatakan bahwa, “Syukurlah Nak, kamu sudah sadar. Sudah 3 hari kamu koma”.

          Esoknya, ketika aku sudah dipindahkan ke Ruang Rawat Inap, seorang pria masuk ke kamarku dan meghampiri tempat tidurku.

“Syalom”, sapa pria itu.

“Syalom”, sahutku. Aku tahu, dia pasti seorang pendeta, aku melihat ada Alkitab di tangannya. Memang, di rumah sakit itu pasti ada Pelayan Iman bagi orang sakit. Apapun agama si pasien, pasti ada pelayannya. Orang yang menyemangati si pasien secara rohani. Aku tidak mengenal pendeta ini sebelumnya, mungkin dia pelayan baru di rumah sakit tempat aku bekerja ini.

“Apa kabar ?”, lanjutnya.

“Baik Pak Pendeta”, jawabku.

“Tetap semangat ya, harus semakin bertumbuh di dalam Kristus. Meski raga sedang sakit, tapi Roh Allah yang bekerja di dalam kehidupan Saudara tetap ada”, balasnya sambil tersenyum. Akupun ikut tersenyum.

“Saya salah satu pelayan di rumah sakit ini. Saat ini saya ingin membagikan berkat melalui Firman Allah. Langsung saja kita buka dari Roma 12 ayat 1. Saya bacakan ya. Karena itu, saudara – saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah; itu adalah ibadahmu yang sejati”, sahut pendeta itu.
“Oh Tuhan, ini adalah nasehat yang diberikan oleh teman di gerejaku, mengapa Engkau mengulanginya lagi kepadaku melalui pendeta ini ?”, gumamku.

“Nah, saya punya cerita yang menarik untuk Saudara. Ini adalah sharing dari sahabat saya. Saya memiliki sahabat, ia seorang wanita, ia sangat terobsesi untuk menjadi kaya raya, karena dari lahir ia sudah menderita secara ekonomi. Dia berusaha sekuat tenaga untuk menjadi kaya, mengubah kondisi ekonomi keluarganya. Kemudian ia berhasiI menjadi wanita karir yang sukses. Hartanya melimpah, mobilnya ada tiga, rumahnya ada dua, besar – besar semua, tapi ia lupa bahwa Tuhan membantunya untuk mengumpulkan harta di dunia. Ia menjadi kaya bukan hanya karena usaha yang ia lakukan untuk menjadi kaya, tapi Tangan Tuhan juga turut bekerja di dalam usahanya. Tapi itulah Saudara, ia hanya memikirkan perkara yang di dunia yaitu bagaimana menjadi kaya dan mengubah kondisi ekonomi keluarganya. Ia memang melupakan masa lalunya yang sulit, tetapi ia juga melupakan Tangan Tuhan yang sudah membantu dia. Dan lebih parahnya lagi, ia terlalu giat bekerja, sampai – sampai ia melupakan kesehatannya. Ia sempat dirawat di rumah sakit karena penyakit maag – nya kambuh. Yang ada dipikirannya hanya uang, uang dan uang. Kesehatan itu prioritas yang kesekian. Setelah kaya, dia lupa mengkonsumsi makanan yang sehat pula. Makan junkfood terus, daging, makanan instan, supaya cepat kalau makan dan bisa secepatnya kembali bekerja, demi uang. Untuk yang kesekian kalinya dia masuk ke rumah sakit, dirawat dengan jenis penyakit yang lain. Dia kena tifus, Saudara. Dia menyi – nyiakan tubuhnya hanya untuk uang. Padahal kita tahu bahwa kesehatan itu jauh lebih mahal dari pada uang itu sendiri. Dan lagi Saudara, di dalam keberhasilan yang ia raih, dia tidak mempersembahakan tubuh dan waktunya kepada Allah. Dia hanya mempersembahkan uang kepada Allah. Padahal, Allah kita itu jauh lebih kaya loh dari pada kita. Dia yang punya semuanya, bumi, laut, udara, matahari, bulan, bahkan hidup Saudara. Tapi kenapa kita membuat Allah seperti membutuhkan uang kita ? Kenapa kita membuat Tuhan itu seperti pengemis di jalanan yang minta uang receh untuk makan ? Jangan salah loh Saudara, Tuhan kita itu sebenernya gak butuh uang kita. Tapi Dia butuh jiwa dan raga kita untuk melayani Dia. Melayani Dia dengan tulus, sesuai dengan Firman Tuhan di Lukas 10 ayat 27, kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Kita melayani Allah sebagai respon kita atas Anugerah Keselamatan yang Allah berikan kepada kita, bukan karena kewajiban atau untuk mendapat keselamatan itu sendiri. Kalau pelayanan kita itu sebagai kewajiban, ada saja loh orang yang merasa harus melayani karena tuntutan jabatan atau karena ingin dipandang sebagai orang baik, tapi hatinya tidak siap untuk melayani. Sahabat saya itu bercerita bahwa di Ibadah Sore, ia diingatkan oleh Tuhan melalui Firman – Nya. Saya sangat bersyukur ketika ia tersadar. Khotbah itu diambil dari Matius 6 ayat 19 sampai dengan 20. Saya bacakan. Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Dari situlah dia tersadar dan tidak mengutamakan uang di dalam hidupnya. Dahsyat sekali ya Tuhan kita itu bekerja. Cuma dua ayat yang dibacakan dari Alkitab dan dalam khotbah selama 30 menit, pola pikir dan gaya hidup seseorang yang sudah bertahan dalam hitungan tahun bisa berubah dengan cepat”, ucap sang pendeta menutup khotbahnya.
“Makasih Pak Pendeta, saya sangat terberkati melalui Firman Tuhan yang telah Pak Pendeta bagikan”, sahutku sambil tersenyum.

“Baiklah Saudara, segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran, seperti yang tertulis di 2 Timotius 3 ayat 16. Semoga Saudara cepat sembuh dan semakin rajin melayani Tuhan. Apakah ada pergumulan lain yang ingin kita doakan bersama ?”, responnya lagi.

“Ada Pak Pendeta, saya ingin agar saya bisa melayani Tuhan dengan jiwa, raga, waktu, pikiran, dan semua yang telah Tuhan karuniakan untuk saya, tidak dengan uang yang saya cari dengan kerja keras saya”, ujarku dengan penuh kesadaran. Inilah dasar permasalahanku selama ini. Hidupku tawar, hambar dan datar karena aku hanya memikirkan permasalahan di dunia. Aku hanya memikirkan bagaimana mempersembahkan uang untuk Tuhan, tapi tubuhku tetap menghamba pada hal lain. Uang, kesenangan duniawi, rutinitas yang membosankan, dan semua yang aku anggap sia – sia. Inilah cara Tuhan menegurku. Mulai dari perusahaan ayahku yang gulung tikar, perusahaanku yang menyusul perusahaan ayah, pacar yang selingkuh, kecelakaan yang membuatku koma selama 3 hari, sampai pada detik di saat bapak pendeta tadi mengingatkanku akan persembahan yang hidup. Bapak pendeta itu telah menjadi alat Tuhan agar aku berubah.

          Kami pun berdoa bersama, bapak pendeta yang memimpin. Seketika itu juga ada kekuatan yang dahsyat yang memasuki jiwa dan ragaku. Sebuah gerbang kehidupan yang baru telah terbuka untuk ku jalani. Setelah bapak pendeta itu keluar dari kamarku, akupun bernazar.

“Tuhan, ketika aku sudah sembuh dan keluar dari rumah sakit ini, aku akan melayani – Mu dengan segenap hatiku, dengan segenap jiwaku, dengan segenap kekuatanku dan dengan segenap akal budiku. Karena itulah yang harus ku lakukan sebagai respon atas Anugerah Keselamatan dari – Mu. Ketika suatu saat nanti aku kembali menonton Televisi Kehidupanku bersama dengan – Mu, aku akan melihat wajah – Mu yang tersenyum ketika Engkau menemaniku melakukan setiap aktifitas – aktifitasku”.

          Dua minggu kemudian, aku keluar dari rumah sakit. Aku bersyukur ketika Tuhan membangunkanku setelah koma selama 3 hari. Aku bersyukur ketika Tuhan mengizinkan aku untuk bertobat dan kembali menghamba kepada – Nya. Aku bersyukur ketika Tuhan menyembuhkanku dengan cepat. Aku pun mulai bergabung dengan pemuda/i di gerejaku untuk bersama – sama melayani Allah. Dan hidupku menjadi lebih bermakna jika ku lalui bersama Allah. Terpujilah Tuhan.



Notes :
Hasil copy paste dari Notes di Facebook "Windy Sitinjak" dengan judul "Semuanya Terasa Sia - Sia, Hanya Yesus Sumber Kehidupanku (Senin, 2 Juli 2012) oleh Windy Sitinjak (Catatan) pada 2 Juli 2012 pukul 23:22"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar