Semua
manusia pernah menjadi seorang bayi sebelum ia tumbuh menjadi orang dewasa,
itulah pertumbuhan manusia secara normal. Seperti yang kita ketahui, bayi
memiliki kecenderungan untuk menangis dalam menghadapi apapun. Baik ketika ia
sedang lapar dan haus, sesudah membuang air besar ataupun kecil, ketika ia
sedang merasa gerah atau ingin tidur. Menangis adalah salah satu cara dia
berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Tangisan adalah tanda bahwa ia sedang
mengalami kondisi yang tidak nyaman, dan memanggil orang dewasa untuk
membuatnya merasa nyaman kembali. Dia sangat ketergantungan kepada orang-orang di
sekitarnya. Bayi adalah sosok yang lemah dan seolah tidak berdaya bila tidak
ditopang oleh orang dewasa.
Kita pun
seperti demikian. Tanpa kita sadari, kita hanyalah bayi yang lemah dan tak
berdaya, meskipun kita sudah menginjak umur 17 tahun ke atas. Tetapi sadarkah
kita bahwa kita adalah manusia yang rapuh dan lemah ? Banyak di antara kita
yang ketika mengalami masalah sepele, langsung menangis seperti bayi karena
tidak kuat menahan tekanan. Mayoritas dari kita pun merasa tak sanggup bila
menghadapi ribuan masalah, lalu kepribadian kita yang kelihatannya kokoh
menjadi rapuh ketika terpuruk dalam menghadapi masalah besar. Tidak sedikit pula
dari antara kita yang hidupnya hanya bisa bergantung kepada orang lain,
selayaknya bayi yang tidak bisa berbuat banyak demi kelangsungan hidupnya. Meskipun
banyak di antara kita yang memiliki kepribadian arogan (tetap tegak berdiri
meski sering “diterpa badai”), atau beberapa di antara kita merasa kuat dalam
menghadapi permasalahan hidup (atau lebih tepatnya “berpura-pura kuat”), dan
mayoritas dari kita merasa sanggup menjalani kehidupan dengan berdiri di atas
kaki sendiri (tanpa meminta bantuan orang lain, apa lagi Tuhan), tetapi hakikat
manusia adalah lemah.
Pada
dasarnya, manusia adalah makhluk yang lemah dan rapuh, karena manusia memiliki
banyak keterbatasan meskipun dikenal sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling
sempurna karena memiliki akal, budi, dan nurani. Seperti yang tertulis di dalam
Alkitab, manusia terbuat dari debu tanah. Dibentuk sedemikian rupa oleh Allah
dan dihembuskan nafas kehidupan sehingga manusia itu bisa hidup (seperti yang
tercantum dalam Kejadian 2:7, “Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari
debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah
manusia itu menjadi makhluk yang hidup”). Dan juga seperti puisi yang pernah
saya tulis (dapat dibaca di http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150700570718611
/ http://www.windysitinjak.blogspot.com/2013/05/aku-dan-dia-senin-16-april-2012.html),
manusia hanyalah debu tanah yang mudah tertiup oleh semilir angin kecil. Itu
menandakan bahwa manusia tidak memiliki kekutan apapun jika dibandingkan dengan
penciptanya.
Seiring
dengan bertambahnya usia, manusia memiliki kekuatan, meskipun terbatas.
Kekuatan ini diberikan oleh Tuhan agar manusia sanggup untuk berdikari (berdiri
di atas kaki sendiri), untuk melanjutkan kehidupan dan mengelola isi bumi. Yang
menjadi permasalahannya ialah, ketika seorang manusia merasa sanggup dalam
melakukan suatu hal dan terbukti berhasil dengan apa yang dilakukannya, ia langsung
memegahkan diri. Manusia sering mengandalkan kekuatannya sendiri dan merasa
sanggup untuk menjalani kehidupannya tanpa Tuhan yang menyertai. Manusia merasa
dirinya hebat dan cenderung bersandar kepada pengertiannya sendiri, merasa
bahwa Tuhan bukanlah pribadi yang benar-benar hadir dan tidak bisa melakukan
apapun untuk menyejahterakan manusia. Merasa bahwa semua yang dicapai oleh manusia
hanyalah karena hasil jerih payah manusia itu sendiri, sehingga “dada yang
membusung” dan “kepala yang membesar” tidak dapat terelakkan lagi. Hal itu
bertentangan dengan ajaran Tuhan dalam Alkitab (Amsal 3:5 “Percayalah kepada
TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu
sendiri”).
Manusia
sering melupakan Tuhan dan segala Anugerah yang telah Dia berikan kepadanya.
Manusia sering merasa dirinya kuat, bahkan melebihi kekuatan Tuhan, namun tidak
menyadari bahwa ketika manusia itu tersandung batu kecil saja, ia sudah
mengeluh dan menangis seperti seorang bayi. Manusia tidak sadar bahwa ketika ia
kuat maka ia melupakan kehadiran Tuhan, tetapi saat ia dilanda permasalahan
hidup maka ia menangis kepada Tuhan, memanggil Tuhan seperti seorang bayi yang
menangis memanggil orang dewasa agar membuatnya kembali menjadi nyaman. Manusia
tidak menyadari akan kekuatannya yang terbatas, sehingga sedikit saja ia
tergoncang maka kehidupannya juga terpuruk.
Untuk
itulah kita harus kembali menjadi seorang bayi. Bayi yang lemah dan tak berdaya
bila tidak ditopang oleh orang dewasa, yaitu Allah. Kita harus kembali pada
prinsip Kristosentris, dimana seluruh kehidupan kita berpusat pada Kristus.
Apapun yang kita lakukan adalah untuk kemuliaan Allah, bukan untuk kemuliaan
diri kita sendiri. Apapun yang kita terima adalah pemberian dari Allah, bukan
hanya karena usaha kita. Hal apapun yang kita sanggup lakukan adalah kekuatan
yang berasal dari Allah, bukan karena kuat dan gagah kita.
Kini
hanya pelukan Allah yang membuat kita nyaman, sama seperti dulu, sewaktu bayi
kita merasa nyaman saat dipeluk oleh Ayah dan Ibu kita. Kini hanya senyuman
Allah yang sanggup membuat kita tersenyum, sama seperti dulu, sewaktu bayi kita
ikut tersenyum ketika kita melihat Ayah dan Ibu kita tersenyum. Kini hanya
genggaman tangan Allah yang selalu aman melindungi kita, sama seperti dulu,
sewaktu bayi tangan kita selalu dipegang oleh Ayah dan Ibu kita saat kita
berjalan, sehingga kita tidak terjatuh.
Dalam
kembali menjadi bayi, saya tidak menyarankan agar kita berkelakuan seperti
seorang bayi yang sering menangis untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar,
manja dan selalu ingin dilayani oleh orang dewasa, serta ketergantungan oleh
orang lain. Karena Tuhan pun sudah menganugerahkan kekuatan fisik dan psikis
agar kita mampu berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) setelah kita beranjak
dewasa. Namun, arti dari kembali menjadi bayi ialah, meskipun kita sudah mampu
berdikari tetapi kita harus tetap ingat kepada Tuhan. Kembali menjadi bayi
artinya, kita harus seperti bayi yang ketergantungan kepada Tuhan, yakni terus
hidup di dalam Tuhan dan melakukan prinsip Kristosentris, bukan berpangku
tangan dan hanya menunggu mujizat Tuhan yang turun, seolah menunggu hujan uang
dari langit. Karena sesungguhnya, hidup di dalam Tuhan sangatlah indah, sweet life like a baby.
Semoga
bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar