Minggu, 08 September 2013

Sweet Life Like A Baby (part 1)

          Semua manusia pernah menjadi seorang bayi sebelum ia tumbuh menjadi orang dewasa, itulah pertumbuhan manusia secara normal. Seperti yang kita ketahui, bayi memiliki kecenderungan untuk menangis dalam menghadapi apapun. Baik ketika ia sedang lapar dan haus, sesudah membuang air besar ataupun kecil, ketika ia sedang merasa gerah atau ingin tidur. Menangis adalah salah satu cara dia berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Tangisan adalah tanda bahwa ia sedang mengalami kondisi yang tidak nyaman, dan memanggil orang dewasa untuk membuatnya merasa nyaman kembali. Dia sangat ketergantungan kepada orang-orang di sekitarnya. Bayi adalah sosok yang lemah dan seolah tidak berdaya bila tidak ditopang oleh orang dewasa.

          Kita pun seperti demikian. Tanpa kita sadari, kita hanyalah bayi yang lemah dan tak berdaya, meskipun kita sudah menginjak umur 17 tahun ke atas. Tetapi sadarkah kita bahwa kita adalah manusia yang rapuh dan lemah ? Banyak di antara kita yang ketika mengalami masalah sepele, langsung menangis seperti bayi karena tidak kuat menahan tekanan. Mayoritas dari kita pun merasa tak sanggup bila menghadapi ribuan masalah, lalu kepribadian kita yang kelihatannya kokoh menjadi rapuh ketika terpuruk dalam menghadapi masalah besar. Tidak sedikit pula dari antara kita yang hidupnya hanya bisa bergantung kepada orang lain, selayaknya bayi yang tidak bisa berbuat banyak demi kelangsungan hidupnya. Meskipun banyak di antara kita yang memiliki kepribadian arogan (tetap tegak berdiri meski sering “diterpa badai”), atau beberapa di antara kita merasa kuat dalam menghadapi permasalahan hidup (atau lebih tepatnya “berpura-pura kuat”), dan mayoritas dari kita merasa sanggup menjalani kehidupan dengan berdiri di atas kaki sendiri (tanpa meminta bantuan orang lain, apa lagi Tuhan), tetapi hakikat manusia adalah lemah.

          Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang lemah dan rapuh, karena manusia memiliki banyak keterbatasan meskipun dikenal sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena memiliki akal, budi, dan nurani. Seperti yang tertulis di dalam Alkitab, manusia terbuat dari debu tanah. Dibentuk sedemikian rupa oleh Allah dan dihembuskan nafas kehidupan sehingga manusia itu bisa hidup (seperti yang tercantum dalam Kejadian 2:7, “Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup”). Dan juga seperti puisi yang pernah saya tulis (dapat dibaca di http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150700570718611 / http://www.windysitinjak.blogspot.com/2013/05/aku-dan-dia-senin-16-april-2012.html), manusia hanyalah debu tanah yang mudah tertiup oleh semilir angin kecil. Itu menandakan bahwa manusia tidak memiliki kekutan apapun jika dibandingkan dengan penciptanya.

          Seiring dengan bertambahnya usia, manusia memiliki kekuatan, meskipun terbatas. Kekuatan ini diberikan oleh Tuhan agar manusia sanggup untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), untuk melanjutkan kehidupan dan mengelola isi bumi. Yang menjadi permasalahannya ialah, ketika seorang manusia merasa sanggup dalam melakukan suatu hal dan terbukti berhasil dengan apa yang dilakukannya, ia langsung memegahkan diri. Manusia sering mengandalkan kekuatannya sendiri dan merasa sanggup untuk menjalani kehidupannya tanpa Tuhan yang menyertai. Manusia merasa dirinya hebat dan cenderung bersandar kepada pengertiannya sendiri, merasa bahwa Tuhan bukanlah pribadi yang benar-benar hadir dan tidak bisa melakukan apapun untuk menyejahterakan manusia. Merasa bahwa semua yang dicapai oleh manusia hanyalah karena hasil jerih payah manusia itu sendiri, sehingga “dada yang membusung” dan “kepala yang membesar” tidak dapat terelakkan lagi. Hal itu bertentangan dengan ajaran Tuhan dalam Alkitab (Amsal 3:5 “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri”).

          Manusia sering melupakan Tuhan dan segala Anugerah yang telah Dia berikan kepadanya. Manusia sering merasa dirinya kuat, bahkan melebihi kekuatan Tuhan, namun tidak menyadari bahwa ketika manusia itu tersandung batu kecil saja, ia sudah mengeluh dan menangis seperti seorang bayi. Manusia tidak sadar bahwa ketika ia kuat maka ia melupakan kehadiran Tuhan, tetapi saat ia dilanda permasalahan hidup maka ia menangis kepada Tuhan, memanggil Tuhan seperti seorang bayi yang menangis memanggil orang dewasa agar membuatnya kembali menjadi nyaman. Manusia tidak menyadari akan kekuatannya yang terbatas, sehingga sedikit saja ia tergoncang maka kehidupannya juga terpuruk.

          Untuk itulah kita harus kembali menjadi seorang bayi. Bayi yang lemah dan tak berdaya bila tidak ditopang oleh orang dewasa, yaitu Allah. Kita harus kembali pada prinsip Kristosentris, dimana seluruh kehidupan kita berpusat pada Kristus. Apapun yang kita lakukan adalah untuk kemuliaan Allah, bukan untuk kemuliaan diri kita sendiri. Apapun yang kita terima adalah pemberian dari Allah, bukan hanya karena usaha kita. Hal apapun yang kita sanggup lakukan adalah kekuatan yang berasal dari Allah, bukan karena kuat dan gagah kita.

          Kini hanya pelukan Allah yang membuat kita nyaman, sama seperti dulu, sewaktu bayi kita merasa nyaman saat dipeluk oleh Ayah dan Ibu kita. Kini hanya senyuman Allah yang sanggup membuat kita tersenyum, sama seperti dulu, sewaktu bayi kita ikut tersenyum ketika kita melihat Ayah dan Ibu kita tersenyum. Kini hanya genggaman tangan Allah yang selalu aman melindungi kita, sama seperti dulu, sewaktu bayi tangan kita selalu dipegang oleh Ayah dan Ibu kita saat kita berjalan, sehingga kita tidak terjatuh.

          Dalam kembali menjadi bayi, saya tidak menyarankan agar kita berkelakuan seperti seorang bayi yang sering menangis untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar, manja dan selalu ingin dilayani oleh orang dewasa, serta ketergantungan oleh orang lain. Karena Tuhan pun sudah menganugerahkan kekuatan fisik dan psikis agar kita mampu berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) setelah kita beranjak dewasa. Namun, arti dari kembali menjadi bayi ialah, meskipun kita sudah mampu berdikari tetapi kita harus tetap ingat kepada Tuhan. Kembali menjadi bayi artinya, kita harus seperti bayi yang ketergantungan kepada Tuhan, yakni terus hidup di dalam Tuhan dan melakukan prinsip Kristosentris, bukan berpangku tangan dan hanya menunggu mujizat Tuhan yang turun, seolah menunggu hujan uang dari langit. Karena sesungguhnya, hidup di dalam Tuhan sangatlah indah, sweet life like a baby.


Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar