Kamis, 19 September 2013

Super Woman di Masa Sulit (part 1)

          Saya memiliki seorang sahabat, sebut saja WS. Namanya tidak jauh berbeda dengan nama saya, hanya huruf belakangnya saja yang berbeda. Saya pernah menuliskan tentang dirinya di salah satu artikel saya sekitar 2 bulan yang lalu. “Kecil-kecil cabe rawit”, itulah jargon yang cocok untuknya. Bukan, bukan tubuhnya yang kecil. Jujur saja, ukuran tubuhnya tidak jauh berbeda dari saya, kami sama-sama Kelas Berat. Pengertian “kecil” yang saya maksud ialah “usia” dari WS. Di usianya yang masih muda, tepatnya 21 tahun, ia bisa menduduki posisi sebagai Junior Producer di sebuah radio yang merupakan anak perusahaan dari “KG Group”, yaitu sebuah perusahaan media massa yang sangat besar, yang sudah 50 tahun berdiri dengan direktur utama bernama JO.


          Saya akui, WS adalah orang yang hyperactive dan memiliki penyakit insomnia. Setiap hari dia tidur pukul 3 subuh dan bangun pukul 5 pagi lalu berangkat kuliah karena rumahnya sangat jauh dari kampus. Namun setelah Mata Kuliah yang ia ambil sudah menipis dan ia mengambil pekerjaan di radio tersebut serta menempati sebuah kamar kost di dekat kantornya, maka ia sering bangun pukul 9 pagi lalu pergi ke kantor, atau bangun jam 7 pagi kemudian pergi ke kampus. Dia memiliki banyak pekerjaan di kantornya, pekerjaan itu membutuhkan kreativitas dan ketelatenan. Ia pernah beberapa kali mengeluh dengan intonasi suara yang lemas, “Gue capeeekkk…” kepada saya, tapi itulah resiko yang harus ia emban karena ia telah memilih untuk mencoba berkarier di radio tersebut.


          Jujur, saya iri terhadapnya. Ia sangat mengenal dunia luar dan memiliki banyak pengalaman, sedangkan saya ? Hanya memiliki sedikit pengalaman di dunia luar karena dididik “Setelah kuliah langsung pulang, lulus kuliah dulu baru kerja”, seolah menjadi katak dalam tempurung dan tidak bisa bersosialisasi dengan dunia luar, ya karena di rumah juga harus sambil merawat orang sakit jadi tidak bisa mobile secara leluasa di dunia luar. Mungkin tujuan dari prinsip didikan dari orang tua saya ialah baik, lulus kuliah dulu baru kerja, karena ketika seseorang sudah sanggup untuk mencari uang, ia akan cenderung melupakan pendidikan akademiknya, karena tujuan dari pendidikan akademik ialah mencari uang. Ya, ini adalah pilihan pribadi untuk memilih kuliah ataupun langsung kerja atau bahkan kuliah sambil kerja, tapi orang tua saya menerapkan peraturan seperti itu.


          Ketika WS mengeluh dengan intonasi suara yang lemas, “Gue capeeekkk,,,” kepada saya, saya pun meresponnya, “Harusnya lo bersyukur ketika lo ditempatkan di lingkungan yang baru, lo jadi punya pengalaman baru, punya kenalan baru, dan jadi semakin tahu banyak hal. Dari pada gue ? Gak boleh tuh kemana-mana. Sampe 23 tahun hidup di Jakarta, gue gak pernah tuh ngunjungin semua daerah di Jakarta. Ditinggalin di kantor lo aja, gue bisa nangis garuk-garuk tanah karena buta wilayah. Untung masih di Indonesia, masih bisa tanya orang-orang sekitar pake Bahasa Indonesia. Kalo pake bahasa asing, minimal pake Bahasa Inggris yang gue paham setengah-setengah doank, makin missed communication dan makin nyasar gue. Ke daerah kantor lo aja gue baru pertama kali ke sana. Lo gak lihat muka gue jadi blo’on banget kayak nyasar ke planet laen waktu gue ikut ke kantor lo ?”.


          Kemudian WS tertawa dan balas menasehati saya, “Hahaha,,, Somplak lo! Harusnya lo juga bersyukur, karena waktu yang lo punya, banyak yang lo kerahkan untuk keluarga lo, khususnya untuk orang tua lo. Justru gue pengen banget punya banyak waktu buat keluarga gue, tapi gue gak bisa, banyak kerjaan dan banyak aktivitas. Waktu gue mau balik ke kostan, Nyokap gue pengen ikut gue loh, tinggal bareng gue di kostan karena di rumah gak ada temen buat curhat. Ya lo tau lah kan, psikologis wanita kayak gimana, Nyokap gue berasa kehilangan gue gitu. Awal-awalnya Bokap gue juga khawatir sih kalo gue harus ngekost, ya anak cewek kan rawan jadi korban kejahatan. Asli, gue pengen banget ngabisin waktu sama Bokap dan Nyokap gue, ngerawat mereka dengan baik.”. Entah dia berkata demikian dari dasar hatinya atau hanya ingin menghibur saya. Namun sepertinya, sekarang ini keinginan dia yang terdahulu itu telah terkabul, meskipun terasa agak pahit.


          Sejak akhir bulan Agustus 2013 saya mulai sering mendengar curhatannya mengenai keluarganya, khususnya kedua orang tuanya yang sedang sakit secara bersamaan. Kini Ibunya harus menjalani therapy berkelanjutan untuk menyembuhkan syaraf yang terjepit di bagian pinggangnya. Ayahnya mengidap penyakit maag kronis, dan sepertinya sudah mengalami komplikasi yang lainnya. Banyak cerita yang ia tumpahkan kepada saya. Isi hatinya mengenai pekerjaannya yang menumpuk bahkan menjadi kacau karena pikirannya terfokus ke keluarganya, kondisi keuangan keluarganya yang penghabisan karena harus mengobati kedua orang tuanya dengan pemasukan hanya dari 2 orang, serta kelelahannya karena harus pulang-pergi dari Bogor ke Palem Merah selama 2 minggu. Selama itu juga kamar kostnya kosong karena ia lebih memilih tinggal di rumahnya untuk merawat dan melihat perkembangan kondisi dari kedua orang tuanya.


“Gue gak peduli sama gaji dan tabungan gue yang keluar atau bahkan abis karena ngobatin Bo-Nyok gue, yang penting mereka sembuh. Kalo gue gak kuat iman, gue udah jadi pasien Rumah Sakit Jiwa kayaknya”, akunya saat saya menelepon WS untuk melepas rindu.

“Ya emang lo udah gila kali, gak sadar lo?”, jawab saya sambil meledeknya.

“Hahaha,,, Somplak lo! Sumpeh loh, gue baru pertama kali lihat Bokap gue yang pucet sepucet-pucetnya, keringet-sekeringetnya, dingin sedingin-dinginnya, lemes selemes-lemesnya, dan muntah semuntah-muntahnya di taxi itu. Dan cuma gue yang anterin Bokap karena Nyokap gue gak mungkin anterin Bokap, untuk jalan aja terseok-seok, Abang gue kuliah dan Adek gue sekolah, jadi gue izin dari kantor. Untung supir taxinya quick response bantuin gue, ngasih plastik yang dia punya buat nampung muntahan Bokap gue karena plastik obat yang gue pake gak cukup lagi. Asli gue panik, mana macet pula. Gue udah takut aja Bokap gue “lewat” di jalan tol yang macet itu. Gue langsung bawa Bokap lagi ke RS, padahal itu baru keluar dari RS setelah Bokap gue pingsan di kantornya. Dan ituuhh,, gue benci bangeett,, sama Dokter Jantung yang gak bisa berkomunikasi dengan baik, pake bahasa ilmiah yang gak gue ngerti, tapi marah-marah waktu gue tanya tentang kondisi Bokap gue. Lah abis dia bilang, “Ada yang mau ditanyakan?”, ya gue tanya donk, eh dia malah marah-marah, “Kan tadi saya sudah bilang, bla..bla..bla..”. Mana itu dokter langsung nembak Bokap gue, memvonis penyakitnya udah stadium berat. Itu dia ngomong di depan Bokap gue yang lagi lemes loh, ya Bokap gue tambah lemes lah, kayak gak ada pengharapan gitu. Asli loh, gue marah-marah setelah di luar Ruang Periksanya sampe semua pasien di luar Ruang Periksa denger. Gak kayak Dokter Penyakit Dalam yang ngobatin Bokap gue, dia bisa berkomunikasi dengan baik. Mana Bokap harus Rekam Jantung pula, kena 900 rebu, dan asuransi dari kantor Bokap gue juga lagi gangguan. Udah diurus sama temen kantor Bokap gue, udah bisa dipake kata mereka, tapi gak bisa ter-cover, ya gue narik duit gue dulu lah. Bokap keluar-masuk RS dan entah udah berapa biayanya. Obatnya di rumah tuh banyak banget, sedikit-sedikit makan obat. Selama 2 minggu kostan gue kosong, gue balik ke rumah jam 8 malem dari kantor, sampe rumah udah malem banget donk. Gue berharapnya setelah sampe rumah bisa langsung tidur karena gue capek banget, tapi ternyata gue harus ngurutin Bokap gue karena dia ngeluh pegel-pegel, gue urutin betisnya, gue urutin pundaknya. Udah deh, gue gak peduli sama rasa capek gue, yang penting Bo-Nyok gue dulu nih diurusin. Skripsi gue juga ter-pending 3 minggu, yang penting keluarga gue dulu lah. Asli, gue lagi dibentuk banget sama Tuhan. Udah uang menipis, pengobatan masih harus berjalan, pemasukan cuma dari 2 orang dari gue dan Bokap gue, pengeluaran banyak buat berobat kedua orang tua gue dan biaya pendidikan Abang sama Adek gue. Huaaahhhh,, Bantu gue lewat doa ya, semoga gue kuat buat menghadapi kondisi ini. But over all, I thank God, karena pertolongan Tuhan pasti datang tepat waktu.”, ucapnya tanpa jeda untuk bernapas, seolah sedang mengeluarkan batu besar yang selama ini dia pikul, batu yang membebaninya dalam melangkah.


           Saya pun tidak tahu bagaimana harus merespon curhatannya yang sangat panjang itu, karena saya speechless dengan kondisi keluarganya, saya speechless dengan usahanya untuk mengurus keluarganya, saya speechless dengan kekuatannya dalam menjalani kehidupan, sepertinya ia sudah terbiasa untuk tidur 3 jam sehari. Kemudian saya teringat dengan kondisi saya pada April 2011 silam, saya mengalami hal yang serupa, sedang dibentuk oleh Tuhan. Tetapi bedanya, kasus yang dialami WS ini melebihi kasus yang saya alami, karena saya masih memiliki 1 orang Kakak, 2 orang Abang, dan 1 orang Ayah untuk mengurusi Ibu saya. Dan saya pun tidak harus kuliah sambil mencari uang, tapi harus mengurusi sumur (mencuci pakaian kotor karena pembantu saya sedang pulang kampung), dapur (memasak makanan untuk anggota keluarga), sekaligus sesekali ikut mengambil shift jaga malam di RS. Sampai seorang dosen kesayangan saya heran dengan nilai UTS saya, “Tumben nilainya segitu, biasanya bagus”, saya pun hanya tersenyum kecil, tepatnya terpaksa untuk tersenyum setelah tadi pagi saya membasahi mata saya dengan air alami yang turun dari Kelenjar Air Mata karena tekanan kondisi yang saya alami saat itu. Memang nilai UTS saya tidak terlalu buruk, tetapi seharusnya bisa sedikit melebihi nilai yang saya dapatkan saat itu.


          Mungkin belum ada waktu yang tepat untuk menceritakan seluruh kejadian yang saya alami kepada WS, tetapi saya harus bersyukur saat sudah melewati masa sulit itu. WS pun mengaku bahwa nanti ia akan mengalami kepuasan batin dan kemenangan setelah ia melewati masa sulit ini. Setiap orang memiliki masa sulitnya masing-masing, dan semua orang harus menghadapi masa sulit itu, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap.


          Memang, kita akan jauh lebih bersyukur bila menemukan masa sulit orang lain yang lebih parah dari pada yang kita alami. Tetapi, mensyukuri masa sulit yang kita alami tidak harus selalu membandingkannya dengan masa sulit orang lain terlebih dahulu. Bersyukur karena masih bisa menghirup udara secara gratis saja sudah cukup, karena kita tidak harus membayar setiap hembusan nafas di setiap detik. Kita juga tidak harus membayar waktu yang kita miliki, waktu yang terus berjalan, detik ke menit, menit ke jam. Bayangkan jika kita harus membayarnya, mungkin kondisi keuangan kita akan semakin menipis di masa kritis perekonomian keluarga. Bersyukur juga karena tangan Tuhan tidak akan pernah terlambat untuk menolong, Dia buka jalan saat tiada jalan. Tuhan tidak akan membiarkan anak-anaknya jatuh terhempas ke tanah, tetapi Ia akan segera menopang kita sebelum kita benar-benar menyentuh tanah.


          Memang hidup itu seperti roda, kadang terlindas di bawah, kadang terbang di atas. Dan kita harus tetap bersyukur meskipun sedang berada di bawah. Meski sakit dan perih, ujian dari Tuhan bertujuan untuk menguatkan kita, bukan untuk menjatuhkan kita. Ujian tersebut juga untuk meningkatkan iman percaya kita kepada-Nya, bukan untuk membelokkan kepercayaan kita kepada hal lain karena kita telah kecewa terhadap Tuhan yang memberikan ujian berat. Akan ada pelangi sehabis hujan, akan ada masa bahagia setelah kita melewati masa sulit. Seperti emas yang dimurnikan dengan cara dibakar dan ditempa, seperti tanah liat yang dibentuk menjadi bejana yang indah oleh tukang periuk, seperti itulah hidup manusia di tangan Tuhan. Dan semua yang diperbuat Tuhan adalah baik, karena semua akan indah pada waktu-Nya.


1 Petrus 1 : 6 – 7 = (6) Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. (7) Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu – yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api – sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.


Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar