Saya memiliki seorang sahabat, sebut saja WS. Namanya tidak jauh berbeda
dengan nama saya, hanya huruf belakangnya saja yang berbeda. Saya pernah
menuliskan tentang dirinya di salah satu artikel saya sekitar 2 bulan yang
lalu. “Kecil-kecil cabe rawit”, itulah jargon yang cocok untuknya. Bukan, bukan
tubuhnya yang kecil. Jujur saja, ukuran tubuhnya tidak jauh berbeda dari saya,
kami sama-sama Kelas Berat. Pengertian “kecil” yang saya maksud ialah “usia”
dari WS. Di usianya yang masih muda, tepatnya 21 tahun, ia bisa menduduki
posisi sebagai Junior Producer di
sebuah radio yang merupakan anak perusahaan dari “KG Group”, yaitu sebuah perusahaan
media massa yang sangat besar, yang sudah 50 tahun berdiri dengan direktur
utama bernama JO.
Saya akui, WS adalah orang yang hyperactive
dan memiliki penyakit insomnia. Setiap hari dia tidur pukul 3 subuh dan bangun pukul
5 pagi lalu berangkat kuliah karena rumahnya sangat jauh dari kampus. Namun setelah
Mata Kuliah yang ia ambil sudah menipis dan ia mengambil pekerjaan di radio
tersebut serta menempati sebuah kamar kost di dekat kantornya, maka ia sering
bangun pukul 9 pagi lalu pergi ke kantor, atau bangun jam 7 pagi kemudian pergi ke kampus. Dia memiliki banyak pekerjaan di
kantornya, pekerjaan itu membutuhkan kreativitas dan ketelatenan. Ia pernah
beberapa kali mengeluh dengan intonasi suara yang lemas, “Gue capeeekkk…” kepada saya, tapi itulah resiko yang harus
ia emban karena ia telah memilih untuk mencoba berkarier di radio tersebut.
Jujur, saya iri terhadapnya. Ia sangat
mengenal dunia luar dan memiliki banyak pengalaman, sedangkan saya ? Hanya memiliki
sedikit pengalaman di dunia luar karena dididik “Setelah kuliah langsung
pulang, lulus kuliah dulu baru kerja”, seolah menjadi katak dalam tempurung dan
tidak bisa bersosialisasi dengan dunia luar, ya karena di rumah juga harus sambil
merawat orang sakit jadi tidak bisa mobile
secara leluasa di dunia luar. Mungkin tujuan dari prinsip didikan dari orang
tua saya ialah baik, lulus kuliah dulu baru kerja, karena ketika seseorang sudah
sanggup untuk mencari uang, ia akan cenderung melupakan pendidikan akademiknya,
karena tujuan dari pendidikan akademik ialah mencari uang. Ya, ini adalah
pilihan pribadi untuk memilih kuliah ataupun langsung kerja atau bahkan kuliah
sambil kerja, tapi orang tua saya menerapkan peraturan seperti itu.
Ketika WS mengeluh dengan intonasi suara yang lemas, “Gue capeeekkk,,,”
kepada saya, saya pun meresponnya, “Harusnya lo bersyukur ketika lo ditempatkan
di lingkungan yang baru, lo jadi punya pengalaman baru, punya kenalan baru, dan
jadi semakin tahu banyak hal. Dari pada gue ? Gak boleh tuh kemana-mana. Sampe 23
tahun hidup di Jakarta, gue gak pernah tuh ngunjungin semua daerah di Jakarta. Ditinggalin
di kantor lo aja, gue bisa nangis garuk-garuk tanah karena buta wilayah. Untung
masih di Indonesia, masih bisa tanya orang-orang sekitar pake Bahasa Indonesia.
Kalo pake bahasa asing, minimal pake Bahasa Inggris yang gue paham setengah-setengah
doank, makin missed communication dan
makin nyasar gue. Ke daerah kantor lo aja gue baru pertama kali ke sana. Lo gak
lihat muka gue jadi blo’on banget kayak nyasar ke planet laen waktu gue ikut ke
kantor lo ?”.
Kemudian WS tertawa dan balas menasehati saya, “Hahaha,,, Somplak lo! Harusnya
lo juga bersyukur, karena waktu yang lo punya, banyak yang lo kerahkan untuk
keluarga lo, khususnya untuk orang tua lo. Justru gue pengen banget punya
banyak waktu buat keluarga gue, tapi gue gak bisa, banyak kerjaan dan banyak
aktivitas. Waktu gue mau balik ke kostan, Nyokap gue pengen ikut gue loh,
tinggal bareng gue di kostan karena di rumah gak ada temen buat curhat. Ya lo tau
lah kan, psikologis wanita kayak gimana, Nyokap gue berasa kehilangan gue gitu.
Awal-awalnya Bokap gue juga khawatir sih kalo gue harus ngekost, ya anak cewek kan
rawan jadi korban kejahatan. Asli, gue pengen banget ngabisin waktu sama Bokap
dan Nyokap gue, ngerawat mereka dengan baik.”. Entah dia berkata demikian dari
dasar hatinya atau hanya ingin menghibur saya. Namun sepertinya, sekarang ini keinginan
dia yang terdahulu itu telah terkabul, meskipun terasa agak pahit.
Sejak akhir bulan Agustus 2013 saya mulai sering mendengar curhatannya
mengenai keluarganya, khususnya kedua orang tuanya yang sedang sakit secara
bersamaan. Kini Ibunya harus menjalani therapy berkelanjutan untuk menyembuhkan syaraf yang
terjepit di bagian pinggangnya. Ayahnya mengidap penyakit maag kronis, dan
sepertinya sudah mengalami komplikasi yang lainnya. Banyak cerita yang ia
tumpahkan kepada saya. Isi hatinya mengenai pekerjaannya yang menumpuk bahkan
menjadi kacau karena pikirannya terfokus ke keluarganya, kondisi keuangan
keluarganya yang penghabisan karena harus mengobati kedua orang tuanya dengan
pemasukan hanya dari 2 orang, serta kelelahannya karena harus pulang-pergi dari
Bogor ke Palem Merah selama 2 minggu. Selama itu juga kamar kostnya kosong
karena ia lebih memilih tinggal di rumahnya untuk merawat dan melihat
perkembangan kondisi dari kedua orang tuanya.
“Gue gak peduli sama gaji dan tabungan gue yang keluar atau bahkan abis
karena ngobatin Bo-Nyok gue, yang penting mereka sembuh. Kalo gue gak kuat
iman, gue udah jadi pasien Rumah Sakit Jiwa kayaknya”, akunya saat saya menelepon
WS untuk melepas rindu.
“Ya emang lo udah gila kali, gak sadar lo?”, jawab saya sambil meledeknya.
“Hahaha,,, Somplak lo! Sumpeh loh, gue baru pertama kali lihat Bokap gue
yang pucet sepucet-pucetnya, keringet-sekeringetnya, dingin sedingin-dinginnya,
lemes selemes-lemesnya, dan muntah semuntah-muntahnya di taxi itu. Dan cuma gue
yang anterin Bokap karena Nyokap gue gak mungkin anterin Bokap, untuk
jalan aja terseok-seok, Abang gue kuliah dan Adek gue sekolah, jadi gue izin dari
kantor. Untung supir taxinya quick
response bantuin gue, ngasih plastik yang dia punya buat nampung muntahan
Bokap gue karena plastik obat yang gue pake gak cukup lagi. Asli gue panik,
mana macet pula. Gue udah takut aja Bokap gue “lewat” di jalan tol yang macet
itu. Gue langsung bawa Bokap lagi ke RS, padahal itu baru keluar dari RS setelah
Bokap gue pingsan di kantornya. Dan ituuhh,, gue benci bangeett,, sama Dokter Jantung
yang gak bisa berkomunikasi dengan baik, pake bahasa ilmiah yang gak gue
ngerti, tapi marah-marah waktu gue tanya tentang kondisi Bokap gue. Lah abis
dia bilang, “Ada yang mau ditanyakan?”, ya gue tanya donk, eh dia malah
marah-marah, “Kan tadi saya sudah bilang, bla..bla..bla..”. Mana itu dokter langsung “nembak” Bokap gue, memvonis penyakitnya udah stadium berat. Itu dia ngomong di depan Bokap gue yang lagi lemes loh, ya Bokap gue tambah lemes lah, kayak gak ada pengharapan gitu. Asli loh, gue
marah-marah setelah di luar Ruang Periksanya sampe semua pasien di luar Ruang
Periksa denger. Gak kayak Dokter Penyakit Dalam yang ngobatin Bokap gue, dia
bisa berkomunikasi dengan baik. Mana Bokap harus Rekam Jantung pula, kena 900
rebu, dan asuransi dari kantor Bokap gue juga lagi gangguan. Udah diurus sama temen
kantor Bokap gue, udah bisa dipake kata mereka, tapi gak bisa ter-cover, ya gue narik duit gue dulu lah. Bokap
keluar-masuk RS dan entah udah berapa biayanya. Obatnya di rumah tuh banyak
banget, sedikit-sedikit makan obat. Selama 2 minggu kostan gue kosong, gue
balik ke rumah jam 8 malem dari kantor, sampe rumah udah malem banget donk. Gue
berharapnya setelah sampe rumah bisa langsung tidur karena gue capek banget,
tapi ternyata gue harus ngurutin Bokap gue karena dia ngeluh pegel-pegel, gue urutin
betisnya, gue urutin pundaknya. Udah deh, gue gak peduli sama rasa capek gue,
yang penting Bo-Nyok gue dulu nih diurusin. Skripsi gue juga ter-pending 3 minggu, yang penting keluarga
gue dulu lah. Asli, gue lagi dibentuk banget sama Tuhan. Udah uang menipis,
pengobatan masih harus berjalan, pemasukan cuma dari 2 orang dari gue dan Bokap
gue, pengeluaran banyak buat berobat kedua orang tua gue dan biaya pendidikan
Abang sama Adek gue. Huaaahhhh,, Bantu gue lewat doa ya, semoga gue kuat buat
menghadapi kondisi ini. But over all, I thank
God, karena pertolongan Tuhan pasti datang tepat waktu.”, ucapnya tanpa
jeda untuk bernapas, seolah sedang mengeluarkan batu besar yang selama ini dia
pikul, batu yang membebaninya dalam melangkah.
Saya pun tidak tahu bagaimana harus merespon curhatannya yang sangat
panjang itu, karena saya speechless
dengan kondisi keluarganya, saya speechless
dengan usahanya untuk mengurus keluarganya, saya speechless dengan kekuatannya dalam menjalani kehidupan, sepertinya
ia sudah terbiasa untuk tidur 3 jam sehari. Kemudian saya teringat dengan
kondisi saya pada April 2011 silam, saya mengalami hal yang serupa, sedang
dibentuk oleh Tuhan. Tetapi bedanya, kasus yang dialami WS ini melebihi kasus
yang saya alami, karena saya masih memiliki 1 orang Kakak, 2 orang Abang, dan 1
orang Ayah untuk mengurusi Ibu saya. Dan saya pun tidak harus kuliah sambil mencari
uang, tapi harus mengurusi sumur (mencuci pakaian kotor karena pembantu saya
sedang pulang kampung), dapur (memasak makanan untuk anggota keluarga),
sekaligus sesekali ikut mengambil shift
jaga malam di RS. Sampai seorang dosen kesayangan saya heran dengan nilai UTS
saya, “Tumben nilainya segitu, biasanya bagus”, saya pun hanya tersenyum kecil,
tepatnya terpaksa untuk tersenyum setelah tadi pagi saya membasahi mata saya dengan
air alami yang turun dari Kelenjar Air Mata karena tekanan kondisi yang saya alami saat itu. Memang nilai UTS saya tidak
terlalu buruk, tetapi seharusnya bisa sedikit melebihi nilai yang saya
dapatkan saat itu.
Mungkin belum ada waktu yang tepat untuk menceritakan seluruh kejadian yang
saya alami kepada WS, tetapi saya harus bersyukur saat sudah melewati masa
sulit itu. WS pun mengaku bahwa nanti ia akan mengalami kepuasan batin dan
kemenangan setelah ia melewati masa sulit ini. Setiap orang memiliki masa
sulitnya masing-masing, dan semua orang harus menghadapi masa sulit itu, mau
atau tidak mau, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap.
Memang, kita akan jauh lebih bersyukur bila menemukan masa sulit orang lain
yang lebih parah dari pada yang kita alami. Tetapi, mensyukuri masa sulit yang
kita alami tidak harus selalu membandingkannya dengan masa sulit orang lain
terlebih dahulu. Bersyukur karena masih bisa menghirup udara secara gratis saja
sudah cukup, karena kita tidak harus membayar setiap hembusan nafas di setiap
detik. Kita juga tidak harus membayar waktu yang kita miliki, waktu yang terus
berjalan, detik ke menit, menit ke jam. Bayangkan jika kita harus membayarnya,
mungkin kondisi keuangan kita akan semakin menipis di masa kritis perekonomian
keluarga. Bersyukur juga karena tangan Tuhan tidak akan pernah terlambat untuk
menolong, Dia buka jalan saat tiada jalan. Tuhan tidak akan membiarkan anak-anaknya
jatuh terhempas ke tanah, tetapi Ia akan segera menopang kita sebelum kita
benar-benar menyentuh tanah.
Memang hidup itu seperti roda, kadang terlindas di bawah, kadang terbang di
atas. Dan kita harus tetap bersyukur meskipun sedang berada di bawah. Meski sakit
dan perih, ujian dari Tuhan bertujuan untuk menguatkan kita, bukan untuk
menjatuhkan kita. Ujian tersebut juga untuk meningkatkan iman percaya kita
kepada-Nya, bukan untuk membelokkan kepercayaan kita kepada hal lain karena
kita telah kecewa terhadap Tuhan yang memberikan ujian berat. Akan ada pelangi
sehabis hujan, akan ada masa bahagia setelah kita melewati masa sulit. Seperti emas
yang dimurnikan dengan cara dibakar dan ditempa, seperti tanah liat yang dibentuk
menjadi bejana yang indah oleh tukang periuk, seperti itulah hidup manusia di tangan Tuhan.
Dan semua yang diperbuat Tuhan adalah baik, karena semua akan indah pada waktu-Nya.
1 Petrus 1 : 6 – 7 = (6) Bergembiralah akan hal
itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai
pencobaan. (7) Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan
kemurnian imanmu – yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana,
yang diuji kemurniannya dengan api – sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan
kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.
Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar