Senin, 01 Agustus 2016

Belajarlah Kepada Padi dan Jadilah Bijak


          Manusia menghadapi berbagai kondisi yang menciptakan banyak perasaan di dalam dirinya. Jika kita merasa sudah menjadi pribadi yang berhasil, memiliki harta yang melimpah, memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, menjabat sebagai Pemimpin di “Kursi Panas” dalam berbagai level, memiliki banyak pengalaman dan terlibat dalam jaringan pertemanan dengan Kumpulan Orang Sukses, maka kita biasanya memiliki sikap “I’m The Winner and You Are Nothing”. Memang tidak semua pribadi mengalami hal ini, namun ada beberapa pribadi yang merasa terlalu bangga (sehingga menjadi sombong) karena sudah naik jabatan, mendapat warisan atau undian besar, naik level dalam jenjang pendidikan, mendapatkan penilaian tertinggi dalam berbagai test, lulus dari universitas ternama dengan predikat yang luar biasa memuaskan atau telah melewati hambatan besar dalam hidupnya yang dia yakini bahwa tidak ada satupun orang lain yang sanggup untuk “lulus” dari hambatan besar tersebut. Bangga adalah sikap yang muncul secara wajar ketika kita menghadapi kondisi tersebut, karena kita menghargai diri kita yang sudah bekerja keras (mengorbankan waktu, tenaga, biaya, atau bahkan mengesampingkan urusan keluarga dan relasi khusus dengan para sahabat) dan kemudian kita berhak untuk memetik Buah Keberhasilan pada akhir perjuangan yang telah kita kerahkan. Tetapi hati-hati jika kita terlalu berlebihan dalam membanggakan diri, sehingga kita menjadi tinggi hati dan lupa daratan.


          Kita pun sudah mengetahui konsep dasar Ilmu Kesombongan melalui Peribahasa Indonesia, “Seperti ilmu padi, makin tua makin merunduk”. Ya, kita harus belajar kepada tumbuhan Bahan Pangan tersebut melalui Ilmu Padi yang kita kenal. Gaya grafitasi menyebabkan malai (untaian butir padi) menjadi merendahkan diri ke tanah (karena sudah terisi butir padi). Namun jika tanaman padi terserang penyakit atau hama, malai bisa menjadi rapuh dan menyebabkan butir padi menjadi gagal terisi, kondisi inilah yang disebut “padi yang kosong”. Malai yang terlanjur rapuh karena sudah terkena hama, tidak bisa berbuat apa-apa karena dirinya sangat lemah, ia menjadi sangat ringan sehingga semakin mudah bergoyang kemanapun angin meniupnya karena butir padi tidak terisi sepenuhnya, kemudian malai tersebut jatuh ke tanah karena sudah terlalu lelah untuk digoyangkan angin dan sudah terlalu rapuh untuk menopang dirinya sendiri (butir padi yang hanya terisi sebagian).


          Kesombongan itu juga sama seperti hama atau penyakit di dalam diri kita. Kita menjadi malai yang “belum terisi penuh” karena dihambat oleh kesombongan yang kita miliki. Percaya atau tidak, orang yang tinggi hati dan merasa dirinya hebat pasti memiliki kecederungan untuk menjadi pribadi yang egosentris (menjadikan diri sendiri sebagai titik pusat pemikiran atau perbuatan; berpusat pada diri sendiri, menilai segalanya dari sudut pandang diri sendiri). Pribadi seperti inilah yang cenderung untuk menutup diri, tidak mau mendengar dan belajar dari individu yang lain karena sudah merasa “Saya ini orang hebat, siapa kamu sampai berhak untuk menasihati saya ?” sehingga ia tidak mengalami perkembangan di dalam hidupnya karena tidak bersedia untuk mempelajari hal-hal baru. Padahal sesungguhnya, manusia tidak ada yang sempurna (no body is perfect) dan hak untuk menasihati atau mengingatkan pun tidak terbatas oleh usia atau jabatan, asalkan nasihat tersebut diberikan dengan maksud untuk saling membangun dan disampaikan dengan cara yang sopan, karena setiap kita sesungguhnya diwajibkan untuk mengingatkan individu lain (1 Tesalonika 5 : 11). Dan meskipun kita menyombongkan diri karena telah menjadi pribadi yang berhasil dalam sebuah bidang keahlian, kita belum tentu berhasil dalam bidang keahlian lain. Karena setiap individu dikaruniai talenta yang berbeda dari Tuhan (Roma 12 : 6 – 8) sehingga tidak ada satupun individu yang sanggup menyelesaikan berbagai perkara di dunia ini tanpa bantuan individu lain yang memang ahli di dalam bidang lainnya. Seperti halnya anggota tubuh yang terletak di tempatnya masing-masing dengan fungsi spesialisasi yang berbeda dari setiap bagian namun tetap saling bekerjasama (1 Korintus 12 : 18).


          Ketika tanaman padi memiliki malai yang belum terisi penuh, itu artinya masih ada padi yang kosong sehingga malai jauh lebih ringan dari ukuran normal. Kita pun demikian, jika “hama” kesombongan terlanjur menggerogoti diri kita, sesungguhnya kita belum “terisi penuh” sehingga kita mudah “digoyangkan angin”. Jika kita menyombongkan diri kita dan menganggap bahwa kita adalah pribadi yang hebat dan kuat, sesungguhnya kita sedang dalam kondisi yang sebaliknya. Karena malai yang masih kosong akan mudah tegak berdiri (menjauhi tanah) akibat ditiup angin, meski hanya semilir angin kecil. Ya, kita kalah oleh semilir angin yang sangat kecil karena pada kenyataannya kita masih sangat ringan dan lemah. Kita menjadi malai yang sangat ringan dan mudah tertiup angin, diombang-ambingkan oleh Keberhasilan Sementara yang telah kita raih. Kemudian setelah beberapa saat, angin yang membuat kita “melayang” pun membuat kita jatuh, malai akan patah pada waktunya ketika ia sudah terlalu sering diterpa angin karena kondisinya sangat rapuh setelah diserang hama. Kita pun demikian, ketika kita terlalu sibuk “diterbangkan angin” (menyombongkan kemampuan kita atau berbagai hal yang kita miliki di dunia ini), sesungguhnya itu hanya sementara. Akan tiba waktunya kita akan jatuh, kembali ke tanah dan melihat realita yang ada bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki kekuatan yang patut untuk kita banggakan, menyadari kondisi bahwa kita tidak terlalu kuat untuk menopang diri kita sendiri karena pada kenyataannya kita hanyalah manusia yang lemah.


          Setiap kita pun (secara sadar ataupun tidak sadar) pernah menjadi “padi yang kosong” karena “hama” kesombongan membuat malai (iman) kita menjadi rapuh. Dan pengajaran dalam Lukas 14 : 11 (“Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan”) menjadi salah satu realitas hidup yang sering kita temukan. Hal ini pun sudah dijelaskan secara eksplisit di dalam Amsal 11 : 2 (“Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati”); Amsal 16 : 18 – 19 (“Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan. Lebih baik merendahkan diri dengan orang yang rendah hati dari pada membagi rampasan dengan orang congkak”); Amsal 18 : 12 (“Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan”); Amsal 21 : 4 (“Mata yang congkak dan hati yang sombong, yang menjadi pelita orang fasik, adalah dosa”); karena Allah sendiri pun sesungguhnya membenci kesombongan atau kecongkakan seperti yang tercantum dalam Amsal 6 : 16 – 19 (“Enam perkara ini yang dibenci TUHAN, bahkan, tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya: mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara”).


          Ingatlah bahwa kita adalah manusia yang berasal dari debu tanah (Kejadian 2 : 7) yang kemudian akan kembali menjadi debu tanah jika waktunya tiba (Pengkhotbah 12 : 7), dan Tuhan telah menciptakan kita seturut dengan gambaran-Nya (Kejadian 1 : 7) agar kita mengusahakan (memanfaatkan sekaligus menjaga kesinambungan hidup) tanah yang telah Tuhan berikan (Kejadian 2 : 5; Mazmur 115 : 16). Sesungguhnya segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan (Mazmur 24 : 1; 1 Korintus 10 : 26; Keluaran 19 : 5), termasuk kita manusia adalah milik Allah (2 Timotius 3 : 17). Sehingga apapun yang kita miliki di dunia ini sesungguhnya adalah milik Tuhan yang dititipkan secara sementara di hidup kita. Meskipun kita merasa bahwa hidup kita akan sangat panjang jika dijalani (sampai puluhan tahun) dan kita memiliki banyak hal selama kita hidup, akan tetapi kita tidak bisa memprediksi berapa kali kita akan terjatuh, baik keterjatuhan sementara (sebagai tanda bahwa kita harus introspeksi diri dan kembali belajar menjadi pribadi yang lebih baik lagi) atau keterjatuhan selamanya (sebagai tanda bahwa perjuangan hidup kita di dunia ini sudah selesai).


          Kita dituntut untuk selalu rendah hati karena Tuhan Yesus sendiri telah memberikan contoh yang demikian. Seperti yang kita ketahui, Yesus adalah Anak Allah yang Kudus karena tidak berasal dari Proses Penciptaan Biologis (Matius 1 : 18). Yesus merendahkan diri dari posisi Anak Allah menjadi posisi manusia (Filipi 2 : 8 – 9) dan Ia pun mengajak manusia agar belajar kepada-Nya agar selalu rendah hati (Matius 11 : 29). Dengan demikian manusia sesungguhnya tidak patut untuk bermegah di dalam dirinya sendiri, tetapi hendaklah manusia bermegah di dalam Tuhan (1 Korintus 1 : 29 – 31; Yeremia 9 : 23 – 24). Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya (1 Petrus 5 : 6).


Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.