Manusia menghadapi berbagai kondisi yang menciptakan banyak perasaan di
dalam dirinya. Jika kita merasa sudah menjadi pribadi yang berhasil, memiliki
harta yang melimpah, memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, menjabat sebagai
Pemimpin di “Kursi Panas” dalam berbagai level, memiliki banyak pengalaman dan terlibat
dalam jaringan pertemanan dengan Kumpulan Orang Sukses, maka kita biasanya memiliki
sikap “I’m The Winner and You Are Nothing”.
Memang tidak semua pribadi mengalami hal ini, namun ada beberapa pribadi yang
merasa terlalu bangga (sehingga menjadi sombong) karena sudah naik jabatan,
mendapat warisan atau undian besar, naik level dalam jenjang pendidikan,
mendapatkan penilaian tertinggi dalam berbagai test, lulus dari universitas
ternama dengan predikat yang luar biasa memuaskan atau telah melewati hambatan
besar dalam hidupnya yang dia yakini bahwa tidak ada satupun orang lain yang
sanggup untuk “lulus” dari hambatan besar tersebut. Bangga adalah sikap yang
muncul secara wajar ketika kita menghadapi kondisi tersebut, karena kita
menghargai diri kita yang sudah bekerja keras (mengorbankan waktu, tenaga,
biaya, atau bahkan mengesampingkan urusan keluarga dan relasi khusus dengan para
sahabat) dan kemudian kita berhak untuk memetik Buah Keberhasilan pada akhir
perjuangan yang telah kita kerahkan. Tetapi hati-hati jika kita terlalu
berlebihan dalam membanggakan diri, sehingga kita menjadi tinggi hati dan lupa
daratan.
Kita pun sudah mengetahui konsep dasar Ilmu Kesombongan melalui Peribahasa
Indonesia, “Seperti ilmu padi, makin tua makin merunduk”. Ya, kita harus
belajar kepada tumbuhan Bahan Pangan tersebut melalui Ilmu Padi yang kita kenal.
Gaya grafitasi menyebabkan malai (untaian butir padi) menjadi merendahkan diri
ke tanah (karena sudah terisi butir padi). Namun jika tanaman padi terserang
penyakit atau hama, malai bisa menjadi rapuh dan menyebabkan butir padi menjadi
gagal terisi, kondisi inilah yang disebut “padi yang kosong”. Malai yang
terlanjur rapuh karena sudah terkena hama, tidak bisa berbuat apa-apa karena
dirinya sangat lemah, ia menjadi sangat ringan sehingga semakin mudah bergoyang
kemanapun angin meniupnya karena butir padi tidak terisi sepenuhnya, kemudian
malai tersebut jatuh ke tanah karena sudah terlalu lelah untuk digoyangkan
angin dan sudah terlalu rapuh untuk menopang dirinya sendiri (butir padi yang
hanya terisi sebagian).
Kesombongan itu juga sama seperti hama atau penyakit di dalam diri kita. Kita
menjadi malai yang “belum terisi penuh” karena dihambat oleh kesombongan yang kita
miliki. Percaya atau tidak, orang yang tinggi hati dan merasa dirinya hebat
pasti memiliki kecederungan untuk menjadi pribadi yang egosentris (menjadikan diri sendiri sebagai titik pusat pemikiran
atau perbuatan; berpusat pada diri sendiri, menilai segalanya dari sudut
pandang diri sendiri). Pribadi seperti inilah yang cenderung untuk menutup
diri, tidak mau mendengar dan belajar dari individu yang lain karena sudah
merasa “Saya ini orang hebat, siapa kamu sampai berhak untuk menasihati saya ?”
sehingga ia tidak mengalami perkembangan di dalam hidupnya karena tidak
bersedia untuk mempelajari hal-hal baru. Padahal sesungguhnya, manusia tidak
ada yang sempurna (no body is perfect)
dan hak untuk menasihati atau mengingatkan pun tidak terbatas oleh usia atau
jabatan, asalkan nasihat tersebut diberikan dengan maksud untuk saling membangun
dan disampaikan dengan cara yang sopan, karena setiap kita sesungguhnya
diwajibkan untuk mengingatkan individu lain (1 Tesalonika 5 : 11). Dan meskipun
kita menyombongkan diri karena telah menjadi pribadi yang berhasil dalam sebuah
bidang keahlian, kita belum tentu berhasil dalam bidang keahlian lain. Karena
setiap individu dikaruniai talenta yang berbeda dari Tuhan (Roma 12 : 6 – 8)
sehingga tidak ada satupun individu yang sanggup menyelesaikan berbagai perkara
di dunia ini tanpa bantuan individu lain yang memang ahli di dalam bidang
lainnya. Seperti halnya anggota tubuh yang terletak di tempatnya masing-masing
dengan fungsi spesialisasi yang berbeda dari setiap bagian namun tetap saling
bekerjasama (1 Korintus 12 : 18).
Ketika tanaman padi memiliki malai yang belum terisi penuh, itu artinya masih
ada padi yang kosong sehingga malai jauh lebih ringan dari ukuran normal. Kita
pun demikian, jika “hama” kesombongan terlanjur menggerogoti diri kita,
sesungguhnya kita belum “terisi penuh” sehingga kita mudah “digoyangkan angin”.
Jika kita menyombongkan diri kita dan menganggap bahwa kita adalah pribadi yang
hebat dan kuat, sesungguhnya kita sedang dalam kondisi yang sebaliknya. Karena
malai yang masih kosong akan mudah tegak berdiri (menjauhi tanah) akibat ditiup
angin, meski hanya semilir angin kecil. Ya, kita kalah oleh semilir angin yang
sangat kecil karena pada kenyataannya kita masih sangat ringan dan lemah. Kita
menjadi malai yang sangat ringan dan mudah tertiup angin, diombang-ambingkan oleh
Keberhasilan Sementara yang telah kita raih. Kemudian setelah beberapa saat,
angin yang membuat kita “melayang” pun membuat kita jatuh, malai akan patah
pada waktunya ketika ia sudah terlalu sering diterpa angin karena kondisinya
sangat rapuh setelah diserang hama. Kita pun demikian, ketika kita terlalu
sibuk “diterbangkan angin” (menyombongkan kemampuan kita atau berbagai hal yang
kita miliki di dunia ini), sesungguhnya itu hanya sementara. Akan tiba waktunya
kita akan jatuh, kembali ke tanah dan melihat realita yang ada bahwa
sesungguhnya kita tidak memiliki kekuatan yang patut untuk kita banggakan,
menyadari kondisi bahwa kita tidak terlalu kuat untuk menopang diri kita
sendiri karena pada kenyataannya kita hanyalah manusia yang lemah.
Setiap kita pun (secara sadar ataupun tidak sadar) pernah menjadi “padi
yang kosong” karena “hama” kesombongan membuat malai (iman) kita menjadi rapuh.
Dan pengajaran dalam Lukas 14 : 11 (“Sebab
barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan
diri, ia akan ditinggikan”) menjadi salah satu realitas hidup yang
sering kita temukan. Hal ini pun sudah dijelaskan secara eksplisit di dalam Amsal 11 : 2 (“Jikalau keangkuhan tiba,
tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati”); Amsal 16 :
18 – 19 (“Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului
kejatuhan. Lebih baik merendahkan diri dengan orang yang rendah hati dari pada
membagi rampasan dengan orang congkak”); Amsal 18 : 12 (“Tinggi hati mendahului
kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan”); Amsal 21 : 4 (“Mata yang
congkak dan hati yang sombong, yang menjadi pelita orang fasik, adalah dosa”);
karena Allah sendiri pun sesungguhnya membenci kesombongan atau kecongkakan
seperti yang tercantum dalam Amsal 6 : 16 – 19 (“Enam perkara ini yang dibenci
TUHAN, bahkan, tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya: mata sombong,
lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang
membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan,
seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan
pertengkaran saudara”).
Ingatlah bahwa kita adalah manusia yang
berasal dari debu tanah (Kejadian 2 : 7) yang kemudian akan kembali menjadi
debu tanah jika waktunya tiba (Pengkhotbah 12 : 7), dan Tuhan telah menciptakan
kita seturut dengan gambaran-Nya (Kejadian 1 : 7) agar kita mengusahakan
(memanfaatkan sekaligus menjaga kesinambungan hidup) tanah yang telah Tuhan
berikan (Kejadian 2 : 5; Mazmur 115 : 16). Sesungguhnya segala sesuatu yang ada
di dunia ini adalah milik Tuhan (Mazmur 24 : 1; 1 Korintus 10 : 26; Keluaran 19
: 5), termasuk kita manusia adalah milik Allah (2 Timotius 3 : 17). Sehingga
apapun yang kita miliki di dunia ini sesungguhnya adalah milik Tuhan yang
dititipkan secara sementara di hidup kita. Meskipun kita merasa bahwa hidup
kita akan sangat panjang jika dijalani (sampai puluhan tahun) dan kita memiliki
banyak hal selama kita hidup, akan tetapi kita tidak bisa memprediksi berapa
kali kita akan terjatuh, baik keterjatuhan sementara (sebagai tanda bahwa kita
harus introspeksi diri dan kembali belajar menjadi pribadi yang lebih baik
lagi) atau keterjatuhan selamanya (sebagai tanda bahwa perjuangan hidup kita di
dunia ini sudah selesai).
Kita dituntut untuk selalu rendah hati
karena Tuhan Yesus sendiri telah memberikan contoh yang demikian. Seperti yang
kita ketahui, Yesus adalah Anak Allah yang Kudus karena tidak berasal dari
Proses Penciptaan Biologis (Matius 1 : 18). Yesus merendahkan diri dari posisi
Anak Allah menjadi posisi manusia (Filipi 2 : 8 – 9) dan Ia pun mengajak
manusia agar belajar kepada-Nya agar selalu rendah hati (Matius 11 : 29). Dengan
demikian manusia sesungguhnya tidak patut untuk bermegah di dalam dirinya sendiri,
tetapi hendaklah manusia bermegah di dalam Tuhan (1 Korintus 1 : 29 – 31; Yeremia
9 : 23 – 24). Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang
kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya (1 Petrus 5 : 6).
Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.