Jika seorang Pendeta mencetuskan pertanyaan, “Siapakah dari Anda yang
pernah merasa bahwa hidup ini terasa hampa ?”, mungkin saya menjadi Jemaat yang
paling cepat mengangkat tangan. Sayangnya selama saya mendengarkan Khotbah di
beberapa gereja, belum ada Pendeta yang mencetuskan pertanyaan demikian, jadi
selama ini saya hanya menyimpan perasaan tersebut di dalam hati saya saja. Ya,
saya pernah merasa bahwa hidup ini terasa hampa, hambar, tawar, datar, malas
untuk melakukan hal ini dan hal itu, enggan untuk mengerjakan apapun dan merasa
tidak ada semangat dalam menjalani kehidupan. Bukan karena saya sedang
mengalami perkara hidup yang sangat besar dan berat sehingga saya kehilangan
motivasi untuk hidup, bahkan kondisi psikis saya saat itu sedang stabil tanpa
masalah. Tetapi ada di suatu titik dimana saya merasa bahwa hidup saya kosong
dan mati rasa, bagai raga tanpa jiwa, bagai badan tanpa roh.
Awalnya saya berpikir, kenapa saya merasa tawar, hambar dan datar ? Lalu
saya mengingat apa yang telah saya lakukan. Saat itu saya memang rajin Saat
Teduh setiap pagi, bernyanyi, berdoa dan membaca Alkitab. Saya melakukannya
sendiri di kamar saya dengan menggunakan sebuah Buku Saat Teduh sebagai
panduannya. Setiap malam juga saya berdoa sebelum tidur, mengucapkan terima
kasih kepada Tuhan karena masih diberi kesempatan untuk menjalani hidup dari
hari ke hari. Kemudian meminta agar Tuhan memberkati orang-orang yang saya
kasihi, yaitu orang-orang yang namanya saya sebutkan di dalam doa saya. Namun
kebiasaan baik tersebut tidak bertahan lama, kerajinan saya kendur hingga pada
suatu saat saya merasa bahwa hidup saya kosong.
Meskipun saat itu saya merasa bahwa kondisi psikis saya sedang stabil tanpa
masalah, sesungguhnya tanpa saya sadari, saya sedang mengalami masalah besar dalam
hal spiritual, kehidupan rohani saya sedang kacau. Lalu saya mengingat
kata-kata yang pernah diucapkan oleh PKK (Pemimpin Kelompok Kecil) saya saat
kuliah dahulu, “Kalau HPDA (Hubungan Pribadi Dengan Allah) kamu tidak baik,
maka HPDS (Hubungan Pribadi Dengan Sesama) kamu tidak akan baik juga”. Memang
benar, jika hubungan pribadi kita dengan Allah saja rusak, bagaimana hubungan
pribadi kita dengan sesama bisa langgeng ? Bagaimana kita bisa memiliki pedoman
dan tuntunan untuk membangun HPDS yang baik jika Allah tidak menjadi pusatnya ?
Tidak ada kasih yang bisa kita berikan kepada orang lain jika kita saja menjauhkan
diri dari Allah Bapa yang memberikan kasih. Tidak ada kedamaian yang kita
berikan kepada orang lain jika kita sendiri tidak merasa damai karena Allah Bapa
sebagai sumber kedamaian tidak hidup di dalam diri kita.
Jika hubungan pribadi saya dengan Allah tidak baik, sesungguhnya tidak
hanya hubungan pribadi saya dengan sesama saja yang rusak, bahkan hubungan
pribadi saya dengan diri sendiri pun terganggu. Saat itu saya memang tidak
mengalami konflik dengan sesama, jadi ketika hubungan pribadi saya dengan Allah
tidak baik, hal itu tidak serta merta membuat saya menjadi orang yang emosional
dan merusak kehidupan orang lain, merusak hubungan saya dengan orang-orang di
sekitar saya. Tetapi saya justru hanya berdiam diri, merasa hampa, tidak
bersemangat dan tidak memiliki harapan. Saya mengalami kerusakan hubungan dengan
diri sendiri. Hidup saya seperti genangan air di saat hujan, datar tanpa riak
dan hanya berdiam di tempat itu saja. Memang terlihat tenang tetapi seperti tidak
ada tanda-tanda kehidupan, seperti orang yang tidak bernyawa.
Dan sesungguhnya hal ini memang sesuai dengan apa yang telah dituliskan di
dalam Alkitab ribuan tahun sebelum saya hidup. Di dalam Yohanes 15:14-15
tertulis “Tinggallah
di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah
dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga
kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok
anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku
di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat
apa-apa.”.
Inilah yang saya
alami saat saya sedang dalam kondisi “emptiness”.
Ketika Allah tidak ada di dalam saya, maka saya tidak dapat berbuat apa-apa. Saya
merasa hampa dan kosong, tidak ada semangat hidup dan putus asa. Wajar, karena ketika Allah tidak hidup di dalam kita,
lalu siapa yang ada di dalam hati dan pikiran kita ? Kosong kan ? Ketika Allah tidak
ada di dalam hati dan pikiran saya, maka semuanya terasa hampa dan saya pun
tidak berbuah. Maksud dari “berbuah”
ialah menghasilkan segala sesuatu yang baik (ucapan, perkataan dan pikiran yang
memancarkan kasih dari Allah Bapa). Saat saya mengalami “emptiness”, saya tidak menghasilkan Buah-buah Roh seperti yang
tertera dalam Galatia 5:22-23, yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera,
kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.
Terutama, saya tidak memiliki Buah Roh yang kedua dan ketiga, yaitu sukacita
dan damai sejahtera. Bagaimana saya dapat merasakan sukacita jika saya sendiri merasa
bahwa hidup ini hambar ? Bagaimana saya bisa merasakan damai sejahtera jika
saya sendiri merasa bahwa hidup ini tawar ?
Dari sini dapat saya buktikan bahwa betapa
dahsyatnya Tuhan Allah karena menjadi “soul”
dari setiap manusia. Allah tidak hanya menjadi pencipta, tetapi juga menjadi
pengisi jiwa-jiwa yang kosong. Allah tidak hanya memberikan nafas, tetapi juga
hadir di dalam setiap hembusan nafas. Allah tidak hanya memberikan damai dan
sukacita, tetapi menjadi damai dan sukacita itu sendiri. Karena Allah adalah
Sumber Kehidupan bagi manusia. Barangsiapa yang tidak memiliki Sumber Kehidupan
itu, bagaimana ia bisa hidup ? Barangsiapa yang tidak hidup di dalam Sumber
Kehidupan itu, bagaimana ia bisa merasakan kehidupan yang sesungguhnya ? Dan
hal itu membuat kita sadar bahwa manusia bukanlah apa-apa jika tanpa
pencipta-Nya. Manusia hanyalah debu tanah yang tidak berarti tanpa sentuhan
tangan Allah Bapa. Manusia yang bisa menjadi “creator” (pencipta berbagai barang berteknologi canggih)
tidak akan berdaya jika tidak diciptakan oleh Sang Pencipta, dan tidak akan benar-benar hidup
jika tidak hidup di dalam Dia. Terpujilah Tuhan Allah, sebab hanya Dia yang
patut ditinggikan.
Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus
memberkati.